Rabu, 21 Agustus 2013

Sampah Kita



Sabtu kemarin, untuk menutup bulan syukur Gereja dan acara tujuhbelasan, ada pensi kecil-kecilan di Gereja. Waktu diperjalanan, ada banyak banget buntelan sampah yang berhamburan di pinggir jalan. Zandro yang goncengin aku waktu itu tiba-tiba nyeletuk gini, “Wah, emang orang Indonesia itu suka buang sampah sembarangan.” Aku jawab sambil ketawa, “Ya udah kebiasaan kita, Ndro. Lagipula kita juga enggak ada pendidikan cinta lingkungan dan mengolah sampah. Anak ngikutin orang tua buang sampah di kali.”
            Seperti yang kita tahu, ada begitu banyak masalah tentang sampah di Indonesia. Di Jakarta, sampah memenuhi sungai. Di pantai-pantai, selalu ada sampah yang bertebaran yang mengurangi keindahan pantai. Di jalan-jalan kota besar, banyak sampah teronggok enggak terurus, enggak ada yang ngambiliin. Dan seperti yang kita tahu, kita tidak terbiasa memilah sampah agar bisa diolah. Bahkan, bak sampahnya pun enggak konsisten. Sehari warna kuning, besoknya jadi oranye. Jadi bingung juga mau buang sampah di bak yang mana.
            Ngomongin pendidikan Indonesia, memang belum semua orang bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Ada banyak anak yang terpaksa tidak sekolah karena keadaannya. Sekolah juga punya berbagai masalah dengan fasilitas karena ketiadaan biaya. Memang tingkat ekonomi menjadi salah satu tolak ukur tingkat pendidikan Indonesia yang rendah. Awalnya, aku berpikir tentang status ekonomi, tapi sebuah kejadian tadi pagi membuatku berpikir ulang.
            Tadi pagi, habis nganterin bunda kerja, aku mampir ATM bentar. ATM di jalan kaliurang. Nahh, waktu keluar dari pelataran parkir ATM, ada satu mobil yang berjalan di depanku. Tiba-tiba mobil itu berhenti, pintu belakangnya dibuka. Tahu apa yang dilakukan oleh pengendara mobil itu? Ia membuang sampah begitu saja di tepi jalan. Mak wer! Gitu aja langsung dibuang. Setelah ia membuang sampah, ia segera menutup pintu dan mobil itu berjalan kembali. Melihat itu aku mlongo.
            Kalo percakapanku dengan Zandro tentang sampah berhubungan dengan pendidikan yang juga dipengaruhi oleh ekonomi, ternyata masalah sampah bukan hanya sekedar itu. Kalo punya mobil, minimal mapan dong? Kalo gitu, untuk dapat pendidikan yang layak mampu dong yaa? Tapi kenapa buang sampah dengan begitu mudahnya dipinggir jalan?

           Oke, ternyata, masalah membuang sampah berhubungan dengan mental.
           Mental kita. Mental orang Indonesia.
          Mungkin mental kita tidak cukup baik untuk sadar akan lingkungan dan sadar membuang sampah pada tempatnya. Mungkin tidak seratus persen masalah kita-Indonesia bisa diselesaikan dengan pendidikan yang baik. Sampah-sampah di pasar, jalanan, tempat wisata, bahkan bak sampah yang tidak keruan lagi isinya padahal sudah diberi tulisan, sepertinya ini karena mental kita. Mental yang luweh-luweh tentang sampah dan tiba-tiba akan marah dan menyalahkan orang lain karena banjir, bau sampah, tenpat wisata yang kotor.
            Mungkin memang mental kita yang harus pertama kali disentuh agar peduli pada hal-hal remeh seperti itu.
        Mungkin, ini saatnya untuk aku belajar menyimpan sampah dan tidak buang sampah sembarangan. Saatnya untuk mulai memperbaiki mental diri masing-masing J

Gambar diambil dari abisubani33114.blogspot.com

Sabtu, 17 Agustus 2013

Bukak sithik josss~~



Gimana sih memaknai merdeka itu?
Apakah kalian bingung? Sama! Aku juga bingung.

Bingung banget bagiamana harus memaknai merdeka itu.
Apalagi liputan-liputan khas diberbagai berita hari ini seputar HUT RI. Judulnya doang yang seputar kemerdekaan RI, isinya tetep aja judging dan merasa bahwa Indonesia belom merdeka. Dilihat dari ekonominya, politiknya, pemerintahannya, korupsinya, kebebasannya.
Banyak orang yang membicarakan kemerdekaan Indonesia lalu disandingkan dengan berbagai kebobrokan dan keironisan Indonesia. Apakah merdeka memang sebegitu sulitnya untuk dirasakan? Sebegitu ribetnyakah untuk merasakan kemerdekaan? Apakah merdeka itu hanya bisa dilihat dari aspek ekonomi, politik, pertahanan nasional, atau anti korupsi?

Apakah kemerdekaan Indonesia yang sebenarnya? Dan bagaimana, aku yang biasa-biasa ini saja, Cuma anak kuliah ingusan yang berusaha jadi anak baik juga nasionalis, bisa memaknai merdeka?

Lalu, sebuah jawaban muncul dari speaker!
Tadaaaa~ saat sedang asik-asiknya dengerin Adek Sungha Jung melarikan jari-jari panjang dan indah di gitarnya. Saat sedang meresapi betapa ini adek ganteng sangat ajaib, speakersebelah meneriakkan sebuah lagu.
Pengenku smsan, wedi karo bojomu~~

Apa iniiii? Apa Adek Sungha Jung sekarang sudah mulai beralih dari K-popers menjadi dangduters?
Dan, ternyata, kampung yang lagi tirakatan ngadain dangdutan. Ah iyaa! Inget tadi Ayah ngajak ke tirakatan.
Pengen telfon telfonan, wedi karo bojomu~~

Aku sama adek Cuma bisa ketawa-ketawa denger mbak-mbak itu nyanyi lagu itu. Sampe gulung-gulung.
Ketawanya bukan karena merendahkan. Bukan karena merasa jijik sama lagu Dangdut yang katanya musik asli Indonesia tapi untuk kalangan kelas bawah.
Aku ketawa karena adek ternyata bisa ikutan mbaknya nyanyi lagu itu. Aku juga sering denger lagu itu.
Pengenku ngomong sayang, wedi karo bojomu~~

Daan, memang jawaban tentang merdeka itu datang dari sebuah speaker!
Merdeka, buat aku yang masih polos ini ternyata begitu simpel. Gak perlulah mikirin ekonomi, politik, korupsi, krisis kepemimpinan.

Merdeka ternyata bisa didapatkan dari sebuah speaker.
Speaker dari tengah desa yang sedang heboh dengan lagu dangdut dan speaker-ku yang sedang mengalunkan petikan gitar dari Sungha Jung.
Unik bukan?
Ternyata merdeka begitu simpel-nya, tapi juga begitu besar maknanya. Dan bisa kita dapatkan dari hal-hal kecil. Speaker ini mengajariku untuk merdeka dalam memilih selera musik dan tidak membandingkan atau melecehkan selera musik yang lain. Musik itu bahasa universal, tapi tentu saja selera tidak bisa dipaksakan, dan setiap musik punya massanya sendiri.

Berawal dari speakerini, aku harus bisa lebih merdeka lagi dalam menghadapi orang lain.
Merdeka untuk memandang orang lain. Merdeka akan suku, bahasa, agama, pekerjaan, warna kulit, warna mata, bentuk wajah, cara berpakaian, gaya potongan rambut dan apa pun yang menjadi pilihan orang tersebut.
Kalo yang ini aja kita gak pernah merdeka, gimana bisa kita menuntut merdeka dari sisi ekonomi, politik, budaya dan lain-lain? Kan rakyat Indonesia sangat beragam, dan kita harus bekerja keras bersama-sama. Gak bisa lagi picky atau menuntut agama, suku, bahasa orang lain untuk sama dengan kita supaya Indonesia bisa maju. Mau enggak mau, mereka orang Indonesia juga. Yang sama-sama punya keinginan seperti kita, jadi kita harus belajar menerima yang berbeda itu. Belajar untuk merdeka.

Terima kasih Adek Sungha Jung, berkat lagumu dan dirimu yang orang Korea itu, aku harus belajar sedikit tips-trik menjadi groupies Korea yang baik, juga nasionalis yang mendukung pemusik Indonesia.
Terima kasih, tirakatan desa, maaf gak bisa ikut tirakatan, maaf ternyata aku masih kurang cukup sadar budaya untuk ikut berserikat secara tradisional dan mencintai budaya Jawa, aku masih harus banyak belajar untuk mengenal berbagai kegiatan khas Indonesia yang lain.
Terima kasih, mbak yang nyanyi dangdut tadi, maaf aku kadang suka nyinyir dan sarkatis sama lagu yang mbak nyanyiin, padahal banyak yang bahagia karena mbak, ternyata aku belum cukup rendah hati untuk menerima segala perbedaan yang ada, aku masih harus belajar menjadi nasionalis sejati dan mencintai berbagai kesenian rakyat Indonesia.

Selamat Malam Indonesia, selamat ulang tahun Indonesia!
Semoga tambah jaya, semoga sukses selalu, bahagia selalu, Indonesia selalu. Have a great year, enjoy every second of your 68th life and make a wonderful and meaningful thing for the whole country!
Terima kasih karena sudah begitu indah dan bermakna. Terima kasih karena sudah begitu berwarna!

Bukak sithik joossss~

foto diambil dari the-marketeers.com