Suara gemericik
air, batu-batu sungai yang besar, semilir angin yang berhembus ringan dan
kicauan burung di kejauhan adalah hal pertama yang aku dapatkan begitu aku membuka
mata. Jelas ini bukanlah isi dari kamarku. Baju yang aku gunakan juga bukanlah
baju yang terakhir kali aku gunakan. Aku tidak sedang dikamarnya, tidak mengenakan
baju tidur yang terakhir kali kupakai juga tidak terbangun di atas tempat tidurku.
Kepanikan meningkat dengan sadar seiring dengan kesadaranku. Aku buru-buru
mengolah pernafasanku, menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Caraku
untuk menghadapi situasi yang tidak aku mengerti.
Aku berusaha
untuk menikmati pemandangan indah yang tersaji. Menunggu dengan tenang sampai sebuah adegan inti yang membawaku menuju
tempat ini muncul dihadapannya. Padma pun melepas sepatu yang ia gunakan,
berjalan menuju sebuah batu besar, duduk diatasnya. Aliran air sungai yang
jernih dibawah kakinya seperti berteriak meminta Padma untuk merendam telapak
kakinya dan merasakan nikmatnya air yang mengalir tenang. Saat sedang asyik
bermain air, tanpa sadar, sepasang kaki juga ikut berendam di sebelahnya.
Aku menoleh. Mendapati
seorang gadis muda tengah menerawang menatap semak-semak dan rimbun pepohonan
yang ada didepan mereka. Aku memandang heran gadis yang terduduk tenang
disebelahku ini. Rambut panjangnya yang melebihi bahu ia kepang dan ia biarkan
menjuntai ke depan. Dia mengenakan baju dengan bahan jatuh berwarna putih
gading dan rok lipit berwarna coklat tua. Ia mengingatkanku pada foto eyang
selagi muda.
Melihat penampilan
gadis yang belum juga berhenti menatap menerawang, aku menyadari jarak
perbedaan yang sangat mencolok. Sangat jauh berbeda dengan diriku yang
mengenakan kaus oblong, celana jeans dan sneakers. Melihat perbedaan ini, aku serasa melihat sebuah film
yang menampilkan perbedaan gaya antara masa kini dan tahun 80-an. Terlepas dari
itu semua, aku suka gayanya yang manis dan vintage.
“Hai, Padma,”
ucapnya lirih tanpa melepaskan pandangannya dari semak dan pepohonan. Sapaan lirih
yang keluar dari bibir pucatnya itu membuat keningku berkerut.
“Senang akhirnya
bisa bertemu langsung denganmu,” ucap gadis itu lagi. Akhirnya ia menolehkan
pandangannya dan menatap kearahku. Berbeda dengan bibirnya yang seakan tidak
bernyawa, mata besar yang menatapku itu terlihat bersinar. Matanya jernih dan
dalam. Seakan menyimpan beragam cerita. Senyum yang ia berikan kepadaku pun
terasa sangat kontras dengan bibirnya. Senyum merekah yang muncul dari sepasang
bibir pucat.
“Aku sudah lama
memperhatikanmu, Padma,” ujar gadis itu memecah konsentrasiku mengamatinya. “Aku
juga sudah berkali-kali berusaha untuk menjangkaumu.”
“Hmmm,” gumaman
tidak jelas malah keluar dari bibirku. Tidak tahu harus merespon apa.
Gadis itu pun
kembali melempar senyum, seperti memaklumi ketidakpahamanku. Ia lalu kembali
melemparkan pandangan pada sekitarnya.
“Kamu tidak
mengenali tempat ini?” tanyanya yang otomatis membuat keningku berkerut. Aku pun
mengedarkan pandanganku, berusaha mencari petunjuk dan mengenali sekitarku.
“Kita tinggal di satu tempat yang sama.” Ucap
gadis itu sambil menatapku. “Tentu saja di waktu yang berbeda.”
“Jadi ini adalah
daerah tempat tinggalku? Desa yang aku tinggali sekarang?” Akhirnya aku mampu menyuarakan
kebingunganku.
Ia menganggukkan
kepalanya menjawab pertanyaanku. “Tapi sudah banyak hal yang berubah.”
Hening lalu
mengisi kosongnya percakapan diantara dua gadis itu. Membiarkan gemersik daun
yang tersapu angin dan kicauan burung di kejauhan mengisi kekosongan.
“Hmmm,” aku
berusaha untuk mengisi kealpaan percakapan. “Lalu ada hal lain yang ingin mbak
ceritakan?”
“Tentu saja,
itulah kenapa aku menemuimu, Padma.” Jawabnya sambil lagi-lagi tersenyum. Senyumnya
adalah hal paling menawan yang aku temukan dalam diri gadis disampingku ini.
“Di tempat ini,
tempat yang sama-sama kita tinggali ini. Pada saat berusia sama sepertimu, aku
mengenal seorang pria. Ia adalah tetanggaku. Lama kelamaan kedekatan kami
berhasil menambat hatiku.” Ucapnya memulai cerita. “Sebagai seorang gadis muda
pada masa itu, tentu saja pernikahan adalah tujuan dari semua kedekatan antara
pria dan wanita. Kami sudah sering membicarakan hal itu.”
“Apa Mbak
bermaksud bertanya apakah aku mengenali
atau mencari lelaki itu?” tanyaku
yang membuat gadis disampingku ini menggeleng.
“Tidak. Bukan itu
alasan aku menemuimu.”
Jawaban dari
gadis yang tidak aku ketahui namanya itu membuat aku bingung sekaligus cemas. Aku
belum siap jika aku harus menanyakan pertanyaan yang sejak tadi menghantui
pikiranku.
“Sejauh yang
mampu aku ingat. Waktu itu, di sore hari, kami bertemu di tempat ini. tempat
ini adalah tempat yang sering kami kunjungi berdua. Kami bercakap-cakap sambil
merendam kaki kami. Mendengar burung-burung berkicau atau sayup-sayup teriakan
anak-anak bermain di tengah desa.” Senyum kecil tidak henti muncul dari bibir
pucatnya. Seakan-akan kenangan ini adalah kenangan paling berarti yang berhasil
ia simpan. “Untuk pertama kalinya juga, ia memelukku. Mendekapku dalam dadanya
yang bidang. Sama-sama merasakan bagaimana jantung kami berdebar tidak karuan
karena pelukan yang kami lakukan.”
Ia kembali
melemparkan pandangan pada semak dan pepohonan yang ada dihadapan kami. Senyumnya
pun perlahan menghilang. Bibirnya terkatup.
“Lalu, hanya hal
itulah yang mampu aku ingat. Tidak ada lagi yang bisa aku ingat sejak sore itu.
Selama apapun aku disini dan menunggunya, tidak ada kenangan baru yang bisa aku
ingat.” Gadis itu menatapku sebentar lalu menundukkan kepala. Menggoyangkan kakinya
hingga menimbulkan bunyi kecipak air. “Itulah kenapa aku menemuimu, Padma.”
Penjelasan panjangnya
membuat aku berdeham. Berusaha menghilangkan sesuatu yang mengganjal
ditenggorokanku.
“Apa Mbak ingin
aku mencari.....” Aku kesulitan
menjelaskan hal yang ingin aku tanyakannya kepadanya. “Mencari diri Mbak?”
“Tidak juga. Aku bahkan
tidak berpikir itu sama sekali.” Mata hitamnya menatapku hangat. Membuatku merasa
sangat nyaman dan seperti mengenalnya sejak lama. “Aku hanya ingin kamu
membantuku mencari tahu kenapa ia melakukan hal ini padaku.
Aku terdiam. Kebingungan
harus menjawab apa.
“Kamu harus tahu
bahwa aku tidak menyesali apa yang terjadi padaku. Aku juga tidak berharap aku
menemukan tubuhku lagi dan
ditempatkan di rumah yang layak. Aku hanya
ingin tahu kenapa ia melakukan ini padaku.”
Senyumnya yang
sudah sendu kini semakin bertambah sendu. Ia mengangkat pandangannya dan
kembali menatapku.
“Kamu tahu, bahwa
rasanya sampai sekarang tidak juga hilang.” Ia menghela nafas panjang. Seakan bagian
ini adalah bagian yang paling menyakitinya. “Aku masih mencintainya. Bahkan setelah
apa yang ia lakukan kepadaku. Hanya saja, rasanya tidak nyaman terikat dalam ingatan yang tidak bisa
kamu lengkapi.”
Aku hanya mampu
terdiam. Sedikit menghindar dengan memainkan kakiku yang terendam didalam air. Sengaja
memberikan jeda yang cukup panjang.
“Maaf sekali,
Mbak. Aku tidak bisa membantu Mbak. Aku belum pernah melakukan hal seperti ini
sebelumnya dan aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya bisa berdoa untuk, Mbak.” Jawabku pelan.
Sepelan mungkin. Berusaha menjelaskan kepadanya. Berharap ia tidak marah dan
melakukan hal yang tidak mampu aku tangani.
Ia tersenyum
mendengar jawabanku. “Tidak apa-apa. Aku sudah cukup senang kamu mau
mendengarkan aku.”
Jawabannya
membuatku menghela nafas yang tanpa sadar aku tahan sedari tadi. Dan senyumnya
meyakinkanku bahwa jawabanku tidak membuatnya marah. Kami lalu berbagi senyum
tulus yang sama.
“Baiklah, sudah
saatnya aku pulang. Tidak baik menahan kamu terlalu lama disini,” ujarnya
berpamitan. Perlahan ia mengangkat kakinya. Berdiri dari batu besar yang ia duduki
dan melangkah menuju jalan setapak, berjalan perlahan menjauhiku dengan kaki
telanjangnya. Hingga diujung jalan yang menikung, ia berbalik, melemparkan
senyumnya dan melambaikan tangan.
Mata besarnya
yang jernih dan dalam masih teringat dengan jelas dikepalaku. Dari beragam
cerita yang tersimpan didalamnya. Satu kenangan yang selalu terlihat dengan
jelas adalah kenangan yang selalu mengikat dan menawannya. Kenangan yang
diambil oleh semesta yang menjadikannya abadi.