Kamis, 05 September 2013

Hidup Bukan Memilih PIlihan Ganda

“Hidup itu memang membuat pilihan.
Namun, hidup tidak memberikan opsi ganda seperti dalam lembar soal ujianmu. Kamu harus mencari sendiri opsi untuk pilihanmu.”
-       Aku, 5 September 2013

Beberapa hari ini, aku dan gerombolan nyinyir lagi membahas banyak hal tentang pendidikan Indonesia. Hal ini di awali dengan sebuah lomba esai yang menarik perhatian untuk diikuti. Dengan beberapa energi kekepoan, kami berhasil menemukan pemenang tahun lalu.
Pemenang esai itu menulis dari sesuatu yang sangat simpel namun menarik. Ia menuliskan tentang pengalamannya bersekolah diluar negeri dan membandingkan metode ujian di negera tersebut dengan Indonesia. Ada sebuah kerisauan dimana, kita, pelajar Indonesia tidak pernah diajari untuk menuliskan pendapat, mengutarakan pendapat, atau diajari logika berpikir. Kita terbiasa dengan metode ujian dengan pilihan ganda. Akhirnya, sistem ini membuat kita terbiasa ingin mendapatkan opsi saat disuruh memilih.

Terbiasa dengan pilihan ganda sehingga kita tidak terbiasa mengutarakan pendapat.
Yak! Benar sekali.
Saat ini pun, saat duduk di bangku kuliah, aku masih merasa sangat asing dengan kebiasaan bertanya setelah materi kuliah usai. Kalo dosen bertanya “ada pertanyaan?”otomastis akan langsung mengheningkan cipta atau mendadak sibuk dengan berbagai hal.
Belum lagi masalah ujian di kampus.
Kita yang dari SD hingga SMA, terbiasa dengan ujian pilihan ganda mendadak kagok dengan lembar jawaban 4 halaman folio dan soal-soal esai. Tak jarang, saat mendapat lembar soal akan dengar beberapa hembusan nafas dari sekitar. Terbiasanya dengan soal pilihan ganda yang sangat terpaku pada materi membuat kelas kadang memaksa dosen untuk mengijinkan ujian open book.

Aku dan gerombolan nyinyir jadi banyak membahas kebiasaan pilihan ganda ini dengan apa yang ada disekitar kami.
Aku yang punya beberapa teman ingin dapet scholarship keluar negeri mendadak ragu dengan syarat pendaftaran yang harus menyertakan beberapa esai, belum lagi dengan kebiasaan ujian disana yang memang serba esai. Aku juga mulai merenungkan kebiasaan kelasku saat akan ujian. Pertanyaan pertama yang dilontarkan akan seputar “ujian open bookgak? Kan lebih gampang kalo open book.” Aku tidak memungkiri, kalo materi yang seabrek itu kadang bikin stress dan membuat kita ragu akan kemampuan diri sendiri. Tentu saja, aku yang masih labil ini juga akan bersorak jika dosen memberi hadiah ujian terbuka. Namun, saat di ruang ujian, aku lebih sering membuat buku terongok tidak tersentuh di meja. Cuma buat ayem-ayem aja bawa buku tebel.

Beberapa hari yang lalu, sewaktu pulang dari kampus. Di utara Fakultas Kehutanan, di pinggir jalan memang ada space untuk baliho-baliho. Nah, salah satu dari baliho tersebut berisi promosi dari salah satu bimbel. Lalu aku teringat zaman ujian SMA. Saat itu, pasti ada banyak bimbel mengadakan try out ke sekolah dan memberikan simulasi menjawab soal ujian dan SNMPTN dengan waktu kurang dari 2 menit. Pilihan jawaban yang ada 5, soal yang Cuma kode-kode susah dimengerti dan waktu yang dibatasi, membuat banyak kita bingung memilih bimbel terbaik. Waktu itu sih Cuma mikirin nilai supaya jadi lebih bagus dan meringkas waktu mengerjakan soal aja, tapi metode cepat ini membuat aku kembali berpikir ulang.

Jadi, sebegitu instan dan mudah kah pendidikan kita?
Instan dalam arti, pola berpikir kita akan dipotong sedemikian rupa agar lebih ringkas dan cepat. Jadi, soal akan sangat cepat kita kerjakan, enggak perlu cara panjang dan ribet. Mudah karena kita sudah disediakan pilihan menuju hal yang benar. Kita tidak pernah diajari untuk berpikir kritis, mengutarakan pendapat kita, merangkai kata-kata dan mencoba menyusun logika kita.

Menulis memang sebuah kebiasaan.
Menjadi kritis juga sebuah kebiasaan.
Dan dua-duanya butuh keberanian.
Sudah sejak SMA aku dan gerombolan nyinyir dipaksa menjadi orang-orang kritis yang rajin menulis. Awalnya susah. Susah banget! Jika disuruh memperhatikan sekitar untuk direnungkan lalu mengkritisi hal itu melalui tulisan, kami akan sangat bingung. Entah apa yang bisa menjadi objek untuk diamati. Menulis dan kritis memang butuh keberanian besar. Keberanian untuk dibilang sok pinter, pengen pamer, dan dinyinyirin temen bahkan guru yang males dengan sesi tanya jawab yang membuat waktu belajar jadi lebih lama.
Kebiasaan dan keberanian inilah membuat aku sedikit terbiasa dengan pertanyaan yang dengan kurang ajarnya muncul saat kuliah dan membuat teman-teman emosi karena aku memperlama jam kuliah- sekalian aku mau minta maaf kalo suka annoying. Hal ini juga yang membuat aku suka diskusi, nggambleh gak jelas, dan enggak teriak histeris saat kuliah pertama ada tugas 500 kata. Ini masalah kebiasaan dan keberanian untuk enggak terpaku pada opsi-opsi pilihan.

Jika direnungkan lagi, masalah sepele opsi ganda untuk ujian ini ternyata juga berpengaruh pada kehidupan. Enggak Cuma masalah pendidikan, dengan logika berpikir yang jauh terasah dengan menulis dan soal esai, membuat kita juga akan terbiasa untuk mempertimbangkan sesuatu dan tidak terpaku untuk menunggu ada opsi untuk dipilih. Aku rasa, soal esai memang ada perlunya. Bahkan sangat perlu. Agar kita bisa mempertimbangkan sendiri kehidupan kita yang kadang memang tidak menyediakan opsi pilihan.

Aku bukan tidak setuju dengan pilihan ganda.
Aku juga merasa senang kok jika ada pilihan ganda. Guru juga akan sangat terbantu karena tidak harus mengkoreksi ratusan lembar jawaban dengan tulisan ceker ayam. Tetapi, jika ternyata pada akhirnya kitalah yang menjadi korban, apakah kita tidak akan mengkritisi ini? Jika ternyata, pilihan ganda ini membuat kita sekolah dengan pakem tertentu dan tidak diberi ruang untuk berpendapat, apakah tidak seharusnya kita mempertanyakan ini?
Soal esai memang ribet dan panjang. Soal esai memang bikin tangan pegel dan memakan waktu lama. Tetapi, seperti yang aku bilang tadi, hidup tidak benar-benar memberikan kamu opsi untuk dipilih. Hidup hanya memaksa kamu untuk memilih dengan klue seadanya yang tersebar di semesta ini. Jika kamu terbiasa memilih dengan pilihan ganda, apakah akan mudah bagi kamu untuk menentukan sebuah pilihan saat tidak tersedia opsi? Dengan klue yang tersebar ini, jika kamu tidak terbiasa untuk berpikir panjang dan mempertimbangkan sesuatu, apakah kamu akan mudah memilih?

Hidup memang sebuah pilihan dan hidup tidak memberikanmu lembar dengan opsi pilihan didalamnya. Kejam ya?