Kamis, 25 Mei 2017

Mengisi

“Pokoknya Mbak yang traktir. Kan wisuda. Kan udah kerja juga.”
“Kalo semua fase dalam hidup hanya kita rayakan dengan traktiran, kapan kita ada waktu menikmati semua tahapan itu?”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kosong.
Entah sudah berapa lama aku merasakan rasa kosong ini. Entah kapan dimulainya dan entah kapan sampai pada puncaknya. Tiba-tiba aku hanya tersentak setelah tirai mengakhiri closing sebuah teater malam itu terus membayangi. Setelahnya selama berhari-hari aku merasa gamang. Sampai dua hari kemarin sebuah percakapan memunculkan pertanyaan. Yang membawaku mengingat-ingat rangkaian hari yang aku lalui sambil lalu.

Kurang lebih seminggu yang lalu aku wisuda. Apa yang aku ingat? Hanya aku yang terbangun jam 3 pagi, memasak sebuah mie instan lalu setelahnya semua berjalan dengan kabur. Terburu-buru. Sehari itu kehidupanku hanya seperti sebuah rangkaian kegiatan. Jam 6 hingga 11 wisuda universitas, setelah itu hingga pukul 1 siang wisuda fakultas lalu berburu waktu melalui macet agar memenuhi waktu reservasi foto studio dan diakhiri dengan makan bersama. Seharian itu yang aku pikirkan hanya bagaimana mengejar hal-hal yang sudah tersusun tanpa terlambat sedikit pun. Sudah.
Aku tidak bisa mengulang perasaan saat dipanggil maju ke depan dengan predikat sesuai selempang kuning yang aku pakai. Senyum Pak Dekan yang memanggil namaku dan mengucapkan selamat pun tidak jelas aku ingat. Hanya panggilan Nduk dari kakak angkatan yang sudah lama tidak aku temui, sebuah frame dengan uang 10.000 dan cengiran dari Mas Girindra, Dian dan Vincent yang menyerahkan sebuket bunga dengan Hydrangea lesu yang berhasil aku ulang dengan jelas. Selebihnya? Tidak tahu. Entah bagaimana aku melalui hari itu.
Tiga hari setelah itu, aku melihat Vincent pentas, bukan peran besar namun cukup menjadi titik tolak untuk kegamangan ini. My little brother not so little anymore. Dari jarak belasan meter dari tempat aku duduk, aku melihat sosok paling tinggi itu menari atau berbicara di atas panggung memainkan peran kecil. Dari jarak belasan meter itu, berbagai adegan, dialog, selipan puisi, rekayasa cahaya dan tata panggung, teriakan atau tepuk tangan bergema. Hari itu, sejauh yang mampu aku ingat, adalah hari terbaik yang pernah aku alami. Aku melakukan sesuatu, menghidupinya dan merasakan emosinya. Setelah itu? Aku kembali kebingungan sambil memutar ulang hangatnya perasaan yang aku alami sabtu malam itu.

Percakapan candaan mengenai traktiran karena aku sudah lulus kuliah membuka semuanya. Aku tahu kata-kata itu hanyalah kebiasaan atau ungkapan bahagia yang tidak bisa terucapkan dengan tepat. Sama seperti saat kamu berhasil menyatakan cinta atau ulang tahun. Tapi pertanyaan yang aku lontarkan setelah itu adalah jawaban yang aku cari akhir-akhir ini. “Kalo semua fase dalam hidup hanya kita rayakan dengan traktiran, kapan kita ada waktu menikmati semua tahapan itu?”
Kapan kita ada waktu untuk menikmati?
Bagian demi bagian pun bermain dalam otakku. Terutama salah satu kerisauanku bersama Inggrith, temanku yang kebetulan wisuda hari itu. Bersama-sama kami masih mencari nyawa dari selebrasi kelulusan itu. Jika tanpa foto. Jika tanpa kebaya baru untuk sekeluarga. Tanpa makan bersama di rumah makan.
Aku senang hari itu. Aku senang segala proses panjang yang aku lalui membuahkan hasil. Aku senang karena selesai melalui malam-malam panjang tanpa tidur nyenyak. Aku senang bisa memberikan sebuah penghargaan untuk kedua orang tuaku. Aku senang bisa menjadi contoh untuk kedua adikku. Aku senang karena ada hal baru yang menantiku. Tapi bahagia? Entahlah. Aku tidak merasakan perasaan yang cukup besar dan dalam hingga aku bisa menyebutnya bahagia. Aku menikmati semua prosesnya tapi tidak mampu mencari konsep merayakan dan menikmati perayaan yang sebenarnya. Aku hanya kehilangan nyawa dari tanggal 17 Mei itu.
Dan tirai yang menutup diakhir teater itu memberi nyawa yang sedikit mengisi.

Hangat yang mengisi dan kekosongan itu berkejaran seminggu ini….
Sampai akhirnya aku baru menyadari kenapa teater anak SMA itu malah jauh lebih membekas daripada wisuda kelulusan perguruan tinggi. Aku menikmati sajian yang dihadirkan didepan mataku. Dengan sederhana. Aku menikmati emosi yang disampaikan. Aku membaca olah tubuh yang dilakukan. Aku mendengar setiap dialog dengan seksama. Di satu tempat yang sama, on that very moment, everyone laugh dan clap together. On that very moment, everyone enjoy life to the fullest. Di waktu dan tempat itu aku bahagia. Aku merasakan hangat dan cerahnya suasana ditemaramnya ruangan bersama dengan interaksi diatas panggung atau teriakan dan tawa disekelilingku. Karena diwaktu itu aku menikmati semua prosesnya pada setiap momentum yang kulalui. Karena diwaktu itu tidak ada waktu yang harus kuburu. Tidak ada reservasi foto dan makan bersama seharga ratusan ribu. Karena di momen itu menikmati kebersamaan tanpa campur tangan kebendaan ternyata sangat melegakan. Karena berada pada satu tempat untuk menikmati hal yang sama dengan tulus dan atmosfer hangat yang kuat cukup menjadi selebrasi yang melengkapi.

Lalu dari mana kosong itu datang? Karena aku masih terus mencari definisi bahagia itu. Saat harus ditabrakkan dengan beragam keinginan dan beragam definisi bahagia yang lain.

Kamis, 01 Desember 2016

Aku Butuh Pertanyaan Lebih Dari Ini

Selama ini, tidak banyak yang tahu bahwa aku seorang indigo atau memiliki indera keenam atau bagaimana pun kamu menyebutnya. Aku punya dua alasan besar. Pertama karena aku belum yakin. Kedua karena rasa tidak yakin itu membuat aku tidak nyaman.
Aku selalu takut salah bicara, takut menjelaskan hal yang tidak akan dipahami orang-orang, takut memberi teror bagi orang lain dan banyak ketakutan lain. Namun lama kelamaan memang hal ini tidak bisa ditutupi. Dari satu orang ke orang yang lain, lama kelamaan semakin banyak orang yang tahu dan aku semakin tidak bisa menghindar. Dari semua proses bertanya karena penasaran dan menjawab agar tidak dibrondong pertanyaan itu, aku menemukan 10 pertanyaan yang paling sering diajukan. Yang menunjukkan bahwa tingkat ketertarikan orang dengan hal ini masih sangat tinggi begitu juga yang berbanding lurus dengan tingkat ke-anyelan-nya.

       1. Mbak bisa lihat yaa?
Ini adalah pertanyaan dengan frekeunsi paling sering ditanyakan. Bahkan ada satu dua orang yang akan menanyakan ini lebih dari sekali setiap bertemu, seakan tidak yakin bahwa aku memang gifted. Pertanyaan ini memang tidak ada substansi seram atau ngeri tapi… nganyeli.
Serius. Pertanyaan ini sangat mengganggu rasanya. Entah karena dilandasi sensitifitas apa, tapi ini nyebelin. Aku paham bahwa selama ini “melihat” yang ditanyakan bukanlah kemampuan dengan indera mata, tapi rasanya ini seperti dengan sengaja menanyakan kepada seorang tuna netra “Mbak gak bisa lihat ini apa yaa?” Aku kan jelas-jelas bisa melihat, kenapa harus ditanya bisa lihat atau enggak?
Aku bisa melihat kok, aku melihat kamu ada disini, hanya saja mata aku lebih banyak dari pada mata yang biasanya. Dan mata aku tidak hanya bekerja sendirian, ia muncul dalam otak, ia berbisik dalam telingaku, ia memunculkan emosi beragam dihatiku. Jadi, mungkin teman-teman harus mencari kosa kata lain untuk mendekati dan membuka obrolan pada seorang indigo karena kemampuan kami tidak hanya melihat yang identik dengan indera mata. Aku punya teman yang tidak punya kemampuan mengenali hantu, tapi merasakan nyawa suatu benda dan itu tidak hanya sekedar berhubungan dengan melihat.

       2. Bentuknya hantu kaya apa sih?
Memang apa gambaran kamu tentang hantu?
Wanita berambut panjang, agak gimbal dengan baju putih panjang dan sedikit bercak darah? Atau sesosok tinggi besar berwarna hijau dengan taring panjang? Atau sesosok yang terbungkus kain dan melompat-lompat?
Sebelum aku menjawab benar atau salah, aku harus mengungkapkan ini dulu. Kalian terlalu cepat mengiyakan representasi hantu yang disediakan oleh media.
Kalau kalian bertanya padaku, maka jawabanku adalah berbentuk manusia. Sama seperti kamu, sama seperti aku. Aku, dengan sejujur-jujurnya, hanya melihat spirit dengan bentuk manusia. Tidak pernah sekali pun aku melihat sosok yang seperti digambarkan oleh media. Sama sekali tidak bisa. Seperti apapun ceritanya, yang katanya akan berbanding lurus dengan bentuk spiritnya, aku tidak bisa melihat yang seperti itu. Itu juga sebabnya aku selalu menghindari menggunakan term hantu, karena yang aku lihat tidak seperti gambaran hantu pada umumnya dan yaa memang tidak menyeramkan.
Tidak semua orang gifted melihat dalam bentuk seperti itu, percayalah.

       3. Lho, jadi hantu tuh gak kaya yang di film horror to?
Nope. Tidak sama sekali
Dalam sebuah artikel yang aku baca dan berdasarkan pengalaman, ada beberapa kemampuan yang bisa dimiliki seorang indigo, seperti melihat spirit, berkomunikasi dengan spirit, membaca masa depan, menganalisis sejarah sebuah benda atau membaca aura. Untuk kemampuan melihat spirit sendiri, ada yang bisa melihat dalam bentuk yang menyeramkan, sama seperti yang digambarkan oleh media bahkan lebih seram atau berbentuk manusia sama seperti yang aku lihat.
Beberapa teman yang aku kenal, yang sebagian besar memiliki kemampuan melihat spirit, memiliki gambaran penglihatan yang sangat berbeda. Misalnya, saat itu aku sedang kumpul komunitas disuatu tempat, aku dan temanku merasakan kehadiran sebuah spirit. Dari spirit A ini, temanku bisa melihat gambaran bentuk B dan aku melihat dengan gambaran bentuk C. Dari satu spirit, orang yang berbeda bisa mendapatkan gambaran yang berbeda tergantung dengan kemampuannya. Jadi, saat aku menjelaskan bahwa seorang anak yang sering main dikantin kampus adalah seorang anak kecil bercelana pendek dan kemeja, percayalah itu adalah gambaran yang aku lihat. Atau jika aku menjelaskan seorang korban kecelakaan dengan sosok manusia namun dengan luka dan darah ditangan kanan dengan wajah pucat sedang teman kamu menjelaskan dengan gambaran orang dengan baju berdarah-darah, mata memerah seram, percayalah. Karena dengan mata yang sama, kami bisa mendapatkan gambaran yang berbeda.

       4. Kamu disini liat apa, Des?
Jika suatu saat, kita bertemu dan bermain bersama, lalu tiba-tiba aku terlihat bad mood, mengerut-erutkan hidung lalu agak mendengus atau merapatkan jaketku disebuah tempat yang baru aku kunjungi yang lembab dan berdebu, itu tandanya aku… Melihat hantu? Bukan! Aku alergi debu dan dingin.
Tidak semua tanda-tanda yang aku berikan artinya aku sedang melihat hantu dan tidak semua tempat yang lama kosong, berdebu dan lembab adalah tanda bahwa aku akan melihat spirit tertentu disitu. Tidak semua reaksi pertamaku bisa diindikasikan sebagai sebuah reaksi yang berhubungan spiritual, semuanya sesimpel karena aku alergi debu dan dingin. Hanya saja, kebetulan, tempat seperti itu sering dijadikan rumah tinggal bagi beberapa spirit.
Mau diiyakan atau tidak, mereka hidup bersama dengan kita. Bahkan mungkin tinggal ditempat yang sama dengan kita. Mungkin juga menduduki tempat yang sama disebuah bangku pinggir jalan di satu titik paling ramai di kota. Mereka ada. Ada di tempat ramai atau sepi, ada dirumah dengan hiasan ayat suci dan benda rohani atau di rumah minim hiasan, di sebuah pohon paling besar dan tua atau di sebuah tanaman hias dalam pot pinggir jalan. Dalam sebuah komunitas remaja yang aku ikuti, disebuah tempat yang selalu ramai hampir 24 jam itu, aku masih tetap melihat noni-noni belanda berjalan ditengah lorong atau putri-putri kerajaan selesai mandi dengan harum bunga yang menguar segar dari sisi belakang aula yang sering menjadi tempat rapat.

       5. Ih kalo kita ngobrol hantu gini ada yang ikutan gak sih?
Kalian mau jawaban jujur atau jawaban manis untuk menenangkan hati?
Jawaban jujurnya, iya. Setiap kita membahas apapun tentang sesuatu yang berhubungan dengan hal itu, pasti ada yang akan ikut duduk bersama kita dan mendengarkan cerita kita. Seram ya? Dulu aku berpikir begitu. Serem amat yaa, kan kita gak maksud apa-apa, Cuma ingin cerita karena hal seperti itu memang ada disekitar kita terlebih dengan budaya di Indonesia yang cukup kuat.
Dulu aku takut dan merasa tidak tenang setiap bercerita atau menanggapi cerita teman-teman tentang hal ini. Namun, dalam sebuah buku Risa Saraswati yang aku baca, aku melihat sebuah perspektif lain dari keadaan ini. Sama halnya seperti kamu yang berbicara untuk diakui keberadaannya, hal itu juga yang dilakukan oleh mereka. Mereka butuh diakui keberadaannya, maka mereka mencari orang-orang yang memberikan undangan bagi mereka. Mendekat pada kelompok yang asyik berbicara mengenai kehidupan mereka yang seakan-akan kita ketahui, kadang mereka hanya duduk diam, kadang menjahili beberapa orang dengan gimmick tertentu atau malah balik bercerita untuk mengklarifikasi. Iya, mereka ada saat kita sedang asyik bercerita. Manisnya, mereka mendekat karena mereka kesepian. Mereka butuh tempat dimana orang-orang mengakui keberadaan mereka atau bersedia mendengarkan mereka. Kadang, yang merasakan kosongnya kesepian bukan Cuma kita, namun juga mereka yang kita anggap sudah tidak berperasaan lagi dan hanya hadir untuk menguji dan menakuti kita.

       6. Masa depan aku kaya apa mbak?
Pertanyaan anyel kedua.
Aku bukan Mama Laurent. Aku juga tidak pernah menekuni bidang ini walau aku sedikit-sedikit bisa. Pun aku menjadi calon pengganti pembaca masa depan menggantikan Mama Laurent, aku tidak punya hak untuk menjelaskan masa depan pada kalian. Kami memang diberi anugerah untuk mengetahui lebih dulu, tapi semua kuasa dan kendali tetap ada di tangan Tuhan. Itu etik hidup dan kerja kami sebagai indigo. Cobalah sekali-kali dengarkan ulang apa kata Mama Laurent atau paranormal hits yang sering masuk tivi. Apa dia menjelaskan dengan eksplisit bahwa besok kamu akan menjadi seorang karyawan swasta dengan tiga anak dan gaji tidak cukup memenuhi kebutuhanmu? Atau Indonesia akan dilanda banjir besar yang merendam pulau jawa dan membuat jutaan orang tidak punya rumah? Tidak.
Mereka hanya akan memberi pernyataan terbuka. Seperti, “akan ada bencana besar”, “akan ada orang yang kuat dan membawa Indonesia ke jalan yang lebih baik”, “kamu akan sukses dibidang yang kamu sukai.” Hanya sms bohongan yang secara eksplisit menjelaskan bahwa kamu cocok kerja di air. Kami hanya bisa membantu dengan memberi pentunjuk. Gak mau bencana besar? Ya kita harus mulai mengurangi menebang hutan agar tidak pemanasan global juga jangan buang sampah di sungai biar enggak banjir. Mau sukses? Ya temukan minat kamu dan tekuni hal yang kamu sukai. Pun saat kami sudah memberikan petunjuk padamu, Tuhan dan semesta tidak pernah tidur melihat kamu berusaha. Semua hasilnya tergantung kamu yang menjalani. Masa depan itu kamu yang siapkan dan Tuhan pula yang bisa menggerakkan semuanya.
Anyway, itu tadi etik-nya yaa. Idealnya. Kalau bertemu yang bisa menjelaskan dengan eksplisit kepadamu, hmm kemungkinannya karena rasa penasaran kita yang terlalu tinggi dan selalu ingin mendapatkan kemudahan jadi yaa dijelasin deh. Tingkat akurasi dan kebenarannya aku gak tau yaa! Tapi kalo kamu tanya sama aku, mari kita berdiskusi dan cara jalan bersama. Aku tidak punya hak untuk menggambarkan hidupmu.

7     7. Hayo coba tebak aku lagi mikir apa, kamu tahu gak?
Pertanyaan anyel ketiga.
Sejujurnya, aku males banget kalo disuruh menjawab ini. Situasi ini sama seperti saat kamu sedang curhat sama sahabatmu. Kamu terbuka, kamu percaya maka mengalirlah ceritanya. Begitu pun dengan pertanyaan diatas. Kamu percaya dan terbuka gak sih sama aku? Kamu mau atau enggak kita selesaikan kerisauan dan kegelisahan kamu bersama-sama dan mencoba mencari keadaan lain yang terselip pada permasalahan yang sedang kamu alami? Kalo mau ya ayo, jangan sok rahasia. Kalo gak mau ya udah, jangan terus-terusan penasaran.
Dalam kondisiku, aku bercerita tergantung dengan keterbukaanmu dan rasa percayamu juga seberapa genting situasi yang kamu hadapi. Seperti pertanyaan sebelumnya, kami membantu dengan memberi tanda dan petunjuk. Walau pun kami tahu, kami akan bercerita atas persetujuanmu secara sadar dan yakin. Walau pun kami tahu, saat kamu menutup dirimu yaa kami gak akan bisa menembus.

       8. Kalo pas liat Du*ia L**n atau acara semacemnya kamu bisa tau gak hantunya akan muncul kapan?
Capek aku menghitung ini pertanyaan anyel keberapa, hahahaha
Pertanyaannya, acara itu beneran? Gak rekayasa? Udah tau kah jawabannya soal non-scripted atau enggaknya acara itu? Nah, dari situ kalian akan tau jawaban aku apa.
Rahasianya dan lucunya, kadang aku tau sih. Tapi aku taunya berbeda lokasi sama lokasi yang bikin kaget itu hehe

       9. Mbak Des, kalo dirumah aku ada hantunya gak?
Kenapa sih kalian selalu penasaran? Kadang aku ingin menjawab seperti itu. Sudah aku jelaskan dengan panjang lebar di pertanyaan ke-4 yaa. Pertama, mereka hidup bersama kita. Kedua, tidak semua indikator keseraman akan berbanding lurus dengan ada tidak dan kuantitas spirit yang tinggal.
Sejujurnya, aku tidak mau menjelaskan apapun yang ada dirumahmu, di kosanmu, didalam kalungmu, didalam keris ayahmu atau pun yang ada dibelakang kamu. Kadang banyak yang ngotot bertanya lalu malah takut sendiri. Parahnya sudah takut, bikin cerita dan membagi ketakutannya pada orang lain. Itu membuat aku malas. Mereka bukan untuk ditakuti, karena semakin kamu takut, energi kamu itu yang akan digunakan spirit untuk membentuk dirinya. Jadilah yang kamu bilang penampakan, baik hanya menampakkan kehadirannya atau membentuk diri sesuai dengan ketakutanmu. Nah kan, aku jelasin malah bikin tambah takut, huft
Tanpa kamu minta pun, saat itu bukan tempat yang baik bagimu aku pasti bilang. Itu kan salah satu fungsi dari anugerah kami? Memberi kamu petunjuk atau tanda, bisa kamu artikan sebagai peringatan atau anjuran. Kami juga melihat seberapa besar resistensi kamu pada energi-energi yang tinggal disekitar kamu. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan kami. Walau pun ada yang didalam kamar kamu, tapi kamu bahagia-bahagia aja, doamu kuat, kamu enggak emosian dan melasan, kenapa harus memunculkan masalah yang bahkan tidak pernah jadi masalah buatmu?
Penasaran tapi, Deeeeess!
Oke, buat pertanyaan lebih pintar untuk menjawab rasa penasaran kamu.

1     10. Enak gak sih bisa liat kaya gitu?
Hmm, enak gak enak.
Dalam keadaanku, yang kamu baru menyadari saat kelas 1 SMA, saat logika kamu sedang kembang-kembangnya dan orang tau kamu tidak punya pengalaman menghadapi anak dengan kebingungan seperti ini, maka jawabannya enggak! Aku melalui malam-malam dengan tidur tidak tenang, belajar menjelang ujian yang tidak fokus juga ketakutan yang harus kamu rasakan sendiri. Terlebih lagi saat kemampuan kamu tidak hanya sekedar melihat spirit. Aku perlu waktu 6 tahun untuk menyesuaikan diri juga sembunyi dari orang-orang yang penasaran.
Aku baru menemukan kemantapanku kurang lebih 2 tahun ini. Dan aku baru berani menunjukkan keistimewaanku belum lama, bahkan baru beberapa bulan yang lalu aku mendapati diri aku berserah, nrimo dan terbuka pada energi-energi semesta yang berusaha membimbingku. Tulisan ini juga hasil dari stage itu.
Kesulitan selalu ada. Pola pikirku yang mungkin lebih dewasa atau bahkan caraku berbahasa dan menjalani kehidupan. Lihatlah empat kalimat kebelakang. Kalian tidak heran menyadari seorang perempuan, mengenyam pendidikan di kota besar dan perguruan tinggi negeri kelas atas dan berbicara dengan bahasa energi-energi semesta?? Pilihan kata yang sangat konservatif, kejawen, kebatinan. Apa lagi? Agak stereotip memang tapi hal itu juga yang aku dapatkan. Stereotip yang kadang berujung pada dibilang aneh atau tidak sesuai.
Kelebihannya, aku tau beberapa ‘rahasia’ yang tidak bisa diketahui orang. Aku bisa menikmati harum bunga yang tiba-tiba muncul. Bukan karena ada hantu lewat tapi karena seorang baru saja selesai mandi. Aku bisa menikmati suasana temaram museum. Bukan semata-mata karena sepi tapi karena aku bisa mendengar untold story dari sebuah bangunan atau juga filosofi dari sesuatu. Aku merasa hidupku selaras. Aku menikmati semuanya. Dan aku masih dalam proses memahami semuanya.

Menjadi salah satu dari orang-orang indigo memang tidak mudah.
Kesulitan muncul tidak hanya dalam proses menerima, mempelajari atau mengembangkan namun juga mendobrak stereotip. Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah pertanyaan yang sering membuat aku jengkel. Teman-teman, aku tidak perlu diberi pertanyaan mengenai “disini ada hantu nggak Mbak?” itu tidak akan membantuku juga tidak memberimu apa-apa. Keadaan ini, bakat ini, kemampuan ini, bisa dijelaskan dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan hidup bersama. Dan kemampuan ini jelas-jelas bukan hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan ada hantu atau enggak juga siapa jodohmu kelak. Kita bisa belajar banyak hal baru, beyond those ten questions. Entah dalam konteks, budaya, sejarah, spiritualitas, keilmuan.
Menjadi indigo dengan kemampuannya sama seperti ahli matematika atau peneliti batuan. Kami bisa diajak diskusi dan diskusi mengembangkan diri kami. Dan sepuluh pertanyaan itu bukan sebuah diskusi yang menarik bagi kami, atau bagiku secara sempit. Ada banyak hal yang bisa dieksplorasi.

Bersama tulisan ini, aku berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan umum yang paling sering ditanyakan, menjawab rasa penasaran, memberikan pemahaman lain pada situasiku juga menantang kalian untuk memberikan pertanyaan baru yang lebih dalam dan berbobot. Percayalah, jika kalian bisa memandang dokter, pilot, ilmuwan, dosen sebagai perpanjangan tangan Tuhan dengan berbagai permasalahan yang ada di dunia ini. Maka indigo dengan kemampuannya juga bisa dan layak kamu anggap sebagai perpanjangan tangan Tuhan dengan tanda dan visual yang mereka dapatkan. Tanpa kamu minta, aku akan menceritakan hal-hal diatas kepadamu. Masa depanmu. Hantu dikamarmu. Energi dalam kalung pemberian nenekmu. Bahaya dari energi disekitarmu. Tapi tentu saja, aku butuh pertanyaan lebih baik dari itu semua.

Senin, 24 Oktober 2016

Cinta Dalam Dekap Kematian

Suara gemericik air, batu-batu sungai yang besar, semilir angin yang berhembus ringan dan kicauan burung di kejauhan adalah hal pertama yang aku dapatkan begitu aku membuka mata. Jelas ini bukanlah isi dari kamarku. Baju yang aku gunakan juga bukanlah baju yang terakhir kali aku gunakan. Aku tidak sedang dikamarnya, tidak mengenakan baju tidur yang terakhir kali kupakai juga tidak terbangun di atas tempat tidurku. Kepanikan meningkat dengan sadar seiring dengan kesadaranku. Aku buru-buru mengolah pernafasanku, menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Caraku untuk menghadapi situasi yang tidak aku mengerti.
Aku berusaha untuk menikmati pemandangan indah yang tersaji. Menunggu dengan tenang sampai sebuah adegan inti yang membawaku menuju tempat ini muncul dihadapannya. Padma pun melepas sepatu yang ia gunakan, berjalan menuju sebuah batu besar, duduk diatasnya. Aliran air sungai yang jernih dibawah kakinya seperti berteriak meminta Padma untuk merendam telapak kakinya dan merasakan nikmatnya air yang mengalir tenang. Saat sedang asyik bermain air, tanpa sadar, sepasang kaki juga ikut berendam di sebelahnya.
Aku menoleh. Mendapati seorang gadis muda tengah menerawang menatap semak-semak dan rimbun pepohonan yang ada didepan mereka. Aku memandang heran gadis yang terduduk tenang disebelahku ini. Rambut panjangnya yang melebihi bahu ia kepang dan ia biarkan menjuntai ke depan. Dia mengenakan baju dengan bahan jatuh berwarna putih gading dan rok lipit berwarna coklat tua. Ia mengingatkanku pada foto eyang selagi muda.
Melihat penampilan gadis yang belum juga berhenti menatap menerawang, aku menyadari jarak perbedaan yang sangat mencolok. Sangat jauh berbeda dengan diriku yang mengenakan kaus oblong, celana jeans dan sneakers. Melihat perbedaan ini, aku serasa melihat sebuah film yang menampilkan perbedaan gaya antara masa kini dan tahun 80-an. Terlepas dari itu semua, aku suka gayanya yang manis dan vintage.
“Hai, Padma,” ucapnya lirih tanpa melepaskan pandangannya dari semak dan pepohonan. Sapaan lirih yang keluar dari bibir pucatnya itu membuat keningku berkerut.
“Senang akhirnya bisa bertemu langsung denganmu,” ucap gadis itu lagi. Akhirnya ia menolehkan pandangannya dan menatap kearahku. Berbeda dengan bibirnya yang seakan tidak bernyawa, mata besar yang menatapku itu terlihat bersinar. Matanya jernih dan dalam. Seakan menyimpan beragam cerita. Senyum yang ia berikan kepadaku pun terasa sangat kontras dengan bibirnya. Senyum merekah yang muncul dari sepasang bibir pucat.
“Aku sudah lama memperhatikanmu, Padma,” ujar gadis itu memecah konsentrasiku mengamatinya. “Aku juga sudah berkali-kali berusaha untuk menjangkaumu.”
“Hmmm,” gumaman tidak jelas malah keluar dari bibirku. Tidak tahu harus merespon apa.
Gadis itu pun kembali melempar senyum, seperti memaklumi ketidakpahamanku. Ia lalu kembali melemparkan pandangan pada sekitarnya.
“Kamu tidak mengenali tempat ini?” tanyanya yang otomatis membuat keningku berkerut. Aku pun mengedarkan pandanganku, berusaha mencari petunjuk dan mengenali sekitarku.
Kita tinggal di satu tempat yang sama.” Ucap gadis itu sambil menatapku. “Tentu saja di waktu yang berbeda.”
“Jadi ini adalah daerah tempat tinggalku? Desa yang aku tinggali sekarang?” Akhirnya aku mampu menyuarakan kebingunganku.
Ia menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaanku. “Tapi sudah banyak hal yang berubah.”
Hening lalu mengisi kosongnya percakapan diantara dua gadis itu. Membiarkan gemersik daun yang tersapu angin dan kicauan burung di kejauhan mengisi kekosongan.
“Hmmm,” aku berusaha untuk mengisi kealpaan percakapan. “Lalu ada hal lain yang ingin mbak ceritakan?”
“Tentu saja, itulah kenapa aku menemuimu, Padma.” Jawabnya sambil lagi-lagi tersenyum. Senyumnya adalah hal paling menawan yang aku temukan dalam diri gadis disampingku ini.
“Di tempat ini, tempat yang sama-sama kita tinggali ini. Pada saat berusia sama sepertimu, aku mengenal seorang pria. Ia adalah tetanggaku. Lama kelamaan kedekatan kami berhasil menambat hatiku.” Ucapnya memulai cerita. “Sebagai seorang gadis muda pada masa itu, tentu saja pernikahan adalah tujuan dari semua kedekatan antara pria dan wanita. Kami sudah sering membicarakan hal itu.”
“Apa Mbak bermaksud bertanya apakah aku mengenali atau mencari lelaki itu?” tanyaku yang membuat gadis disampingku ini menggeleng.
“Tidak. Bukan itu alasan aku menemuimu.”
Jawaban dari gadis yang tidak aku ketahui namanya itu membuat aku bingung sekaligus cemas. Aku belum siap jika aku harus menanyakan pertanyaan yang sejak tadi menghantui pikiranku.
“Sejauh yang mampu aku ingat. Waktu itu, di sore hari, kami bertemu di tempat ini. tempat ini adalah tempat yang sering kami kunjungi berdua. Kami bercakap-cakap sambil merendam kaki kami. Mendengar burung-burung berkicau atau sayup-sayup teriakan anak-anak bermain di tengah desa.” Senyum kecil tidak henti muncul dari bibir pucatnya. Seakan-akan kenangan ini adalah kenangan paling berarti yang berhasil ia simpan. “Untuk pertama kalinya juga, ia memelukku. Mendekapku dalam dadanya yang bidang. Sama-sama merasakan bagaimana jantung kami berdebar tidak karuan karena pelukan yang kami lakukan.”
Ia kembali melemparkan pandangan pada semak dan pepohonan yang ada dihadapan kami. Senyumnya pun perlahan menghilang. Bibirnya terkatup.
“Lalu, hanya hal itulah yang mampu aku ingat. Tidak ada lagi yang bisa aku ingat sejak sore itu. Selama apapun aku disini dan menunggunya, tidak ada kenangan baru yang bisa aku ingat.” Gadis itu menatapku sebentar lalu menundukkan kepala. Menggoyangkan kakinya hingga menimbulkan bunyi kecipak air. “Itulah kenapa aku menemuimu, Padma.”
Penjelasan panjangnya membuat aku berdeham. Berusaha menghilangkan sesuatu yang mengganjal ditenggorokanku.
“Apa Mbak ingin aku mencari.....” Aku kesulitan menjelaskan hal yang ingin aku tanyakannya kepadanya. “Mencari diri Mbak?”
“Tidak juga. Aku bahkan tidak berpikir itu sama sekali.” Mata hitamnya menatapku hangat. Membuatku merasa sangat nyaman dan seperti mengenalnya sejak lama. “Aku hanya ingin kamu membantuku mencari tahu kenapa ia melakukan hal ini padaku.
Aku terdiam. Kebingungan harus menjawab apa.
“Kamu harus tahu bahwa aku tidak menyesali apa yang terjadi padaku. Aku juga tidak berharap aku menemukan tubuhku lagi dan ditempatkan di rumah yang layak. Aku hanya ingin tahu kenapa ia melakukan ini padaku.”
Senyumnya yang sudah sendu kini semakin bertambah sendu. Ia mengangkat pandangannya dan kembali menatapku.
“Kamu tahu, bahwa rasanya sampai sekarang tidak juga hilang.” Ia menghela nafas panjang. Seakan bagian ini adalah bagian yang paling menyakitinya. “Aku masih mencintainya. Bahkan setelah apa yang ia lakukan kepadaku. Hanya saja, rasanya tidak nyaman terikat dalam ingatan yang tidak bisa kamu lengkapi.”
Aku hanya mampu terdiam. Sedikit menghindar dengan memainkan kakiku yang terendam didalam air. Sengaja memberikan jeda yang cukup panjang.
“Maaf sekali, Mbak. Aku tidak bisa membantu Mbak. Aku belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya dan aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan.  Aku hanya bisa berdoa untuk, Mbak.” Jawabku pelan. Sepelan mungkin. Berusaha menjelaskan kepadanya. Berharap ia tidak marah dan melakukan hal yang tidak mampu aku tangani.
Ia tersenyum mendengar jawabanku. “Tidak apa-apa. Aku sudah cukup senang kamu mau mendengarkan aku.”
Jawabannya membuatku menghela nafas yang tanpa sadar aku tahan sedari tadi. Dan senyumnya meyakinkanku bahwa jawabanku tidak membuatnya marah. Kami lalu berbagi senyum tulus yang sama.
“Baiklah, sudah saatnya aku pulang. Tidak baik menahan kamu terlalu lama disini,” ujarnya berpamitan. Perlahan ia mengangkat kakinya. Berdiri dari batu besar yang ia duduki dan melangkah menuju jalan setapak, berjalan perlahan menjauhiku dengan kaki telanjangnya. Hingga diujung jalan yang menikung, ia berbalik, melemparkan senyumnya dan melambaikan tangan.
Mata besarnya yang jernih dan dalam masih teringat dengan jelas dikepalaku. Dari beragam cerita yang tersimpan didalamnya. Satu kenangan yang selalu terlihat dengan jelas adalah kenangan yang selalu mengikat dan menawannya. Kenangan yang diambil oleh semesta yang menjadikannya abadi.

Selasa, 03 Mei 2016

(Simulasi) Aksi, Media dan Euphoria

Percayalah teman-teman, bahwa apa yang dilakukan kemarin adalah sebuah bentuk euphoria yang menyenangkan. Aku pun ikut dalam euphoria itu, walau tidak berpolitik tapi bermain “provokasi” dengan nyinyir sana-sini. Tidak hanya teman-teman, media pun mempunyai euphoria-nya sendiri. Semua media melakukannya, baik media konvensional, media online atau media dalam kotak kecil canggih yang kalian pegang.
Kerisauan ini berangkat dari beberapa tanggapan teman-teman terhadap koverasi media dan tanggapan publik yang muncul terhadap aksi kemarin. Untuk memahami fenomena itu, mari kita berangkat dari titik besar bernama media massa dan nilai berita. Mondry menjelaskan media massa adalah media informasi yang terkait dengan masyarakat, digunakan untuk berhubungan dengan khalayak (masyarakat) secara umum, dikelola secara professional dan bertujuan mencari keuntungan. Dari penjelasan Mondry ini, dan juga fungsi media massa yang dijelaskan McQuail yang memiliki 5 fungsi sebagai informasi, korelasi, kesinambungan, hiburan dan mobilisasi, media tidak hanya berdiri sebagai institusi penyebar informasi namun juga institusi ekonomi. Sebagai institusi penyebar informasi dan institusi ekonomi, yang menjadikan media punya dua perspektif berkebalikan, ideal dan praktis. Hal ini yang secara tidak langsung menjadikan informasi sebagai barang “jualan” media massa untuk meraih keuntungan.
Informasi yang menjadi barang “jualan” media massa ini digabungkan dengan sebuah aktivitas jurnalistik yang menggabungkan informasi dengan data, reportase lapangan, wawancara atau studi pustaka terhadap sebuah fenomena yang terjadi, menjadikan hal itu berkualitas dan terpercaya. Hasil dari aktivitas jurnalistik ini, jika dalam logika media massa, akan menjadi berita yang kita akses. Saat berbicara berita tentu saja berbicara mengenai nilai sebuah berita. Nilai berita ini yang menjadi saringan utama yang menentukan fenomena atau informasi tertentu layak atau tidak untuk dipublikasikan oleh media. Nilai berita ini menjadi hal yang penting, karena media tidak hanya berbicara mengenai aku-kamu, Kampus Biru atau Jogja tapi seluruh Indonesia. Nilai berita ini juga yang secara praktis dan ekonomi menentukan nilai jual bagi media massa.

Jika boleh jujur, beberapa isu yang diangkat kemarin adalah sebuah isu internal Kampus Biru. Oke, memang ada common topic yang dirasakan beberapa universitas di Indonesia, sudah jadi isu bersama sejak lama. Lalu, ada situasi dimana pembesar kampus membuat itu menjadi sebuah isu eksternal melalui siaran langsung dan rerun stasiun radio lokal. Hal ini membawa dua efek, beruntung dan tidak. Beruntungnya, membuat banyak orang tiba-tiba aware terhadap aksi yang akan kita lakukan sekaligus mengajak semakin banyak teman kita ikut serta. Memunculkan isu ini menjadi isu bersama, isu publik. Tidak beruntungnya, isu internal yang tiba-tiba menjadi isu eksternal ini membuat publik atau masyarakat menerima informasi yang parsial, setengah-setengah dipahami. Membuat munculnya komentar-komentar tidak sedap atas aksi kita.
Saat itu menjadi sebuah isu publik, dimana ada kemungkinan banyak orang merasa dekat dengan isu itu, atau dalam nilai berita dinamakan Proximity, disinilah media massa berperan untuk menyebarkan hal ini. Supaya orang dengan kedekatan geografis dan psikologis, juga masalah yang sama tahu bahwa ia tidak sendiri. Sekaligus memberi dampak, atau dalam nilai berita disebut Impact, agar sama-sama kita selesaikan dan memberi keberanian pihak lain dengan masalah yang sama untuk menyelesaikannya. Kegiatan kemarin, dalam logika media, selain memiliki nilai berita juga akan membawa keuntungan. Ribuan mahasiswa menyuarakan aspirasinya tentu hal yang menarik dan luar biasa, bukan? Sesama mahasiswa, aktivis gerakan atau masyarakat luas penasaran dan ingin mengetahui. Menjadikan kegiatan kita bisa memberi keuntungan bagi media massa. Sayangnya, sebagai institusi ekonomi dengan perspektif mencari keuntungan membuat media massa kerap menjadi “nakal”. Memainkan sudut pandang kejadian dan pengemasan kejadian dengan sesuatu yang lebih memiliki nilai jual atau kami sering menyebutnya berita bombastis, seperti aksi yang ricuh atau mahasiswa yang mengeroyok rektornya. Lebih menarik untuk langsung membaca atau mengklik beritanya bukan?
Sulitnya lagi, situasi yang tiba-tiba menjadikan ini isu eksternal tidak memberi cukup waktu bagi kita menjelaskan informasi yang masih setengah-setengah di terima masyarakat. Sehingga, saat media massa memberikan publikasi atas kegiatan kita, ada syok bagi publik. Salah satu syok ini juga disebabkan karena tidak mampunya media memberikan koverasi yang utuh dan merangkai informasi parsial yang ada di masyarakat, memberi efek yang besar yaitu distraksi informasi. Coba lihat lagi beritanya. Hanya sekedar mencatut relokasi kantin kesayangan kita, Bonbin. Berapa banyak yang tahu soal Bonbin juga alasan dari nama itu? Dan berapa banyak yang tahu bahwa aksi kita soal Bonbin adalah upaya menyelamatkan para pedagang yang menggantungkan hidupnya dari kantin itu sekaligus mempertahankan kampus kerakyatan? Tidak banyak. Orang yang mengakses berita adalah publik dengan informasi yang setengah-setengah. Pantas jika mereka memberikan komentar yang tidak sedap dan merasa aksi kita berlebihan.

Jahat? Tidak juga. Ada dua dimensi berbeda untuk menanggapi hal ini. Pertama, soal koverasi media. Framing media yang salah adalah sebuah bentuk praktik media yang tidak benar. Semua dosen komunikasi, ahli media dan mahasiswanya sangat kecewa dengan ulah media yang seperti ini. Kami selalu membahas dan berusaha untuk memperbaiki keadaan ini. Media harus ideal, tuntutan banyak orang tapi kita tidak bisa memungkiri bahwa media memerlukan banyak biaya untuk produksi. Mau tidak mau kita harus menyadari, bukan berarti membenarkan praktik media berorientasi ekonomi, bahwa media massa juga institusi ekonomi. Memunculkan berita langsung dari Jogja itu perlu biaya. Keuntungan untuk menutup biaya produksi didapatkan dari rating, click and share atau jumlah pengaksesnya. Selama ini kita hanya mengecam soal media yang ngawur tapi tidak terbuka dengan kenyataan ini. Dalam praktiknya logika media tidak bisa seideal teori dan kenyataannya media “dipaksa” mencari keuntungan.
Kedua, mengenai tanggapan publik yang muncul. Komentar yang muncul juga tidak bisa kita salahkan begitu saja. Akan aku analogikan ini sebagai sebuah infotainment. Kalian pasti pernah mengecam bahwa kelahiran anak Anang-Ashyanti atau pernikahan Raffi-Gigi yang ditayangkan oleh media adalah hal yang bodoh dan tidak penting. Alasan kita karena itu adalah hal domestik kehidupan mereka, yang secara ideal memang benar. Tanggapan akan aksi kita mungkin juga serupa dengan tanggapan yang publik berikan terhadap infotainment itu. “Ngapain sih ngurusin kantin? Kurang kerjaan!” atau “Gak sopan banget sih ngejar-ngejar rektor”, karena mereka tidak tahu dan informasi yang diterima adalah informasi yang terpotong, dipermukaan hal ini adalah isu domestik. Sekilas yang mereka tahu adalah soal relokasi yang menjadi isu domestik kita namun dibalik isu domestik ini, alasan paling kuat adalah aspirasi mahasiswa untuk melawan ketidakadilan sistem, sebagai mahasiswa yang kritis. Ingat apa yang aku bilang soal isu internal menjadi isu eksternal? Inilah efek besarnya. Informasi tumpeng tindih, saling beropini dan berbagi, opini publik yang tidak terkendali. Menghasilkan masalah besar berupa “tidak semua orang tahu duduk permasalahan yang sebenarnya namun sudah terdistraksi banyak informasi yang kadung beredar.” Sialnya kita, kita tidak punya cukup waktu, dari beralihnya isu ini menjadi isu eksternal, untuk mengkounter informasi yang sesungguhnya agar masyarakat punya perspektif yang lebih luas atas alasan aksi kita.
Informasi dalam ruang publik adalah kuncinya dan “mempermainkan” informasi ini penting. Tapi pahami juga konsekuensinya. Salah langkah, hal kecil yang teman-teman lempar lewat media sosial bisa jadi hal yang membahayakan. Bermain dengan publik juga bisa membuat publik lebih paham atau malah memunculkan chaos yang lainnya. Itu kenapa orang dengan sebuah informasi di tangannya memiliki tanggung jawab moral yang berat. Jadi, itu kenapa dalam tanggapanku sebelumnya aku bilang kita harus lebih berhati-hati. Teman-teman bisa memperbaiki dan mengutuhkan informasi yang ada sekaligus bisa memunculkan permasalahan yang lainnya.
Masih kecewa? Sebuah tanggapan dari dosenku mungkin bisa membantu. “Jika sudah ditusuk dengan main publik, mainkan juga melalui publik.” Konteksnya, teman-teman lebih tahu apa yang terjadi, informasi kunci ada pada teman-teman, teman-teman punya data, teman-teman punya lembaga pers mahasiswa, teman-teman punya media sosial yang aktif diakses, sebarkan informasi yang utuh dan klarifikasi melalui itu. Perbaiki opini publik dengan itu. Tuntaskan kekecewaan dengan itu. Minimalisir komentar penuh emosi. Mari manfaatkan momentum dan selesaikan apa yang harus kita selesaikan. Dengan bijak. Bijak menanggapi kenapa banyak isu beredar yang tidak benar sekaligus bijak memahami bahwa ada banyak perspektif yang terjadi dari keadaan ini.

Oh iya, apakah kalian lihat tayangan salah satu stasiun televisi Jakarta hari ini? Ya, walau pun kami mempermasalahkan stasiun televisi itu terkait dengan komersialisasinya, tapi mereka melakukan langkah yang baik. Memilih narasumber yang tepat yang otomatis melakukan background checking. Teman kita yang berbicara juga sangat bijak dan tepat. Pemilihan kata, menggunakan data. Efeknya? Masyarakat bisa lebih tahu dengan baik dan kegiatan kita dipandang dengan lebih apik. Kejadian ini juga bisa menjadi salah satu perbaikan image media massa yang sempat aku “hancurkan” diatas, bahwa ditangan yang benar dan dengan aktivitas jurnalistik yang benar, media peduli dengan kita dan kualitas informasi kita kok, atau mendukung pihak mana yang benar. Ada logika media massa yang tidak benar-benar kita pahami yang menjadikan kita sering menyalahkan media, namun logika yang baik akan memperbaiki kualitas media itu. Begitupun media privat dengan suara besar yang bersinergi dengan jarimu, bisa memperbaiki kualitas informasi banyak orang.
Selamat menjadi bijak dengan media. Hidup mahasiswa Indonesia!



Referensi
Abrar, Ana Nadhya. (2005). Penulisan Berita. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
McQuail, Dennis. (2010). Mass Communication Theory 6th. London: Sage.
Mondry. (2008). Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik. Bogor: Ghalia Indonesia.

Kunczik, Michael, (1995). Concepts of Journalism North and South. Bonn: Media and Communication Department of Freidrich Ebert Foundation.

Jumat, 22 April 2016

Pukul Lima (Bagian 2)

“Jadi, kemana kamu pergi selama lima hari ini?
“Ke tempat dimana saya akan rindu pulang.”

~~~
            Gana mengerutkan dahinya bingung. “Pulang? Bukan kah semua orang pasti akan pulang?”
            “Tidak, Gana.” Jawab Naya sambil menyesap coklat hangatnya yang mulai mendingin. “Tidak semua orang tahu dimana rumahnya dan kenapa ia harus pulang. Itulah kenapa saya pergi ketempat yang jauh. Dan itulah alasan saya selalu duduk disini menikmati pukul lima.”
            “Supaya kamu tahu kemana kamu harus pulang?”
            “Iya.” Jawab Naya singkat.

Naya tersenyum kecil melihat kerutan di dahi pria didepannya bertambah dalam. Gana terlihat berusaha memahami apa yang Naya ucapkan.
“Saya masih tidak mengerti,” ujar Gana akhirnya sambil menghempaskan punggung lebarnya ke kursi.
“Sudah saya bilang, Gana. Tidak semua orang tahu kenapa dia harus pulang.”
“Tidak, Naya.” Gana menggelengkan kepalanya. Ia mendekatkan diri ke meja. Menaruh tangannya yang bersedekap diatas meja, mendekatkan jarak antara Gana dan Naya. “Saya selalu pulang. Dan saya tahu kemana saya harus pulang. Tapi saya tidak mengerti kenapa kamu harus menghabiskan satu jam kamu disini. Duduk diam dan meminum coklat hangatmu.”
Naya tertawa kecil mendengar penjelasan Gana. “Apakah kamu tahu kemana kamu pulang atau kamu merasa kamu tahu kemana kamu pulang?”
Gana masih menatap Naya tidak puas. Membuat Naya mau tidak mau kembali bersuara.
“Menurut kamu, apa sebuah arti dari pulang?”
“Kembali ke tempat dimana kamu bisa istirahat dan bahagia.” Jawab Gana cepat. “Dimana kamu tahu siapa diri kamu. Bukan kah begitu, Naya?”
Naya hanya terdiam mendengar jawaban Gana.
“Yang tidak saya mengerti, Naya. Saat kamu tahu dimana dan kenapa alasan kamu harus pulang, kenapa kamu masih harus terus mencari makna rumah itu, Naya? Kenapa kamu harus, selalu duduk disini, pergi ke tempat jauh, padahal kamu tahu rasa itu sudah melengkapi kamu. Saat kamu tahu bahwa rumah kamu sudah membuat kamu lengkap.
Naya memainkan cangkir didepannya yang sudah setengah habis. Ucapan Gana membuatnya kembali berpikir. “Kamu tahu kan, Gana, bahwa bagian dari pulang itu juga merupakan proses mencari? Itu yang saya lakukan saat ini.”

“Saya masih mencari, Gana. Mencari sesuatu yang masih terasa kosong. Itu kenapa saya pergi jauh dan itu kenapa saya selalu duduk disini setiap pukul lima.”
Gana tahu bahwa pulang adalah sebuah proses untuk mencari. Gana tahu bagaimana ia harus seperti Ben, yang pergi ketempat dimana ia harus berdamai dengan masa lalunya, pergi untuk membuka kembali hubungan dengan orang-orang yang sempat tidak ia pedulikan, kembali menemukan jati dirinya dibalik coffee maker dan setiap cita rasa kopi yang ia buat. Gana tahu kenapa pulang harus selalu berbicara mengenai pencarian.
“Saya pergi untuk mencari, Gana. Untuk mencari tempat yang sepi, tempat yang ramai, tempat dimana tidak ada satu pun orang saya kenal, tempat terjauh yang bisa saya jangkau, tempat paling dekat yang tidak pernah sekalipun saya datangi, tempat tertinggi bahkan tergelap. Semua membawa saya kembali pada pukul lima dan coklat hangat seperti yang kamu bilang tadi.”
“Dari 24 jam yang diberikan semesta pada dunia, di bagian manakah yang paling kamu suka?” Naya bertanya kepada Gana yang terdiam.
“Entahlah. Mungkin setiap café sedang sepi atau setelah tutup. Dimana saya bisa bercinta dengan kopi-ku.”
Naya mengangguk-angguk. “Seperti apa yang kamu rasakan. Pukul lima, setiap sore, adalah waktu dimana saya bisa bercinta dengan hidupku.”
“Kenapa harus pukul lima? Karena pukul lima selalu identik dengan jam pulang kantor? Dimana orang berlomba dan memilih terjebak macet untuk keluar dari rutinitas? Atau karena matahari terbenam membawa kamu kembali ke peraduan paling aman?”
“Tidak, Gana. Karena pukul lima adalah waktu yang paling jujur.” Jelas Naya tanpa kehilangan emosinya. “Jika pagi memberi kamu harapan dan malam memberi kamu kesempatan untuk berlari, maka pukul lima membuat kamu mengerti, Gana. Akan sebuah rasa rindu, sebuah rasa butuh pulang dan mengulangi semua prosesnya.”
“Itu kenapa kamu selalu datang dan menikmati pukul lima? Karena dia yang paling jujur bercerita kepadamu tentang apapun yang kamu rasakan dan menjelaskan setiap tujuanmu pulang.”
“Saat saya pergi, ke tempat yang sepi, jauh dari rutinitasku atau tempat dimana tidak ada seorang pun yang saya kenal, pukul lima selalu mengingatkanku untuk berhenti sejenak dan merasakan puncaknya sebuah rindu. Karena tiba-tiba satu hari lagi sudah kamu lewati. Bukan semata-mata berani menembus macet demi pulang kerumah. Ada rindu dan kebutuhan yang besar untuk kamu pulang. Membuat kamu mengerti dimana rumahmu.”
“Lalu, apa pukul lima juga menyakitimu, Naya? Dengan segala kejujurannya, dengan kenyataan yang kamu jalani tapi tidak sesuai dengan keinginanmu, dengan hal yang kamu tidak sukai tapi terpaksa kamu jalani. Kalo pukul lima yang kamu bilang benar-benar jujur, berarti kamu tahu bahwa kamu menjalani hidup yang tidak benar-benar kamu mengerti. Memberi yang kamu butuhkan, bukan yang kamu inginkan. Menjalani hal yang kadang tidak terencana namun sering membuat kamu tertawa.”
Naya mengangguk dan melemparkan senyum pada pria yang terlihat lebih menawan dengan posisinya yang membelakangi matahari yang mulai terbenam.
“Benar. Pukul lima memang kerap menamparmu dengan sebuah kenyataan. Bahwa hidup kamu kadang berada pada fase yang tidak kamu inginkan, membuat kamu merasa kosong dan kamu butuh tempat istirahat.”
Naya bersedekap sambil menatap mata hitam Gana yang segelap kopi. “Karena setiap pukul lima, kamu mengerti bahwa kamu tidak pernah bisa berhenti, Gana. Kamu akan selalu mencari. Memenuhi diri kamu atas apapun yang masih terasa kosong. Bukan kah itu maknanya pulang? Mencari, berdamai dengan diri sendiri dan menemukan kebahagianmu. Yang selalu kamu cari dan ingin kamu isi lagi.

Untuk pertama kalinya, pukul lima tidak membuat Naya terdiam sambil meminum coklat hangat sendiri. Ia menikmati rasa rindunya pulang bersama seseorang yang juga terus mencari. Untuk pertama kalinya juga, Gana menyadari bahwa pukul lima membuatnya mengerti alasan kenapa ia selalu mencari perempuan yang selalu memesan coklat hangat. Memahami lagi setiap tujuan dan alasannya hidup bersama seseorang yang selalu ingin mengisi rindu. Untuk pertama kalinya, pukul lima membuat Naya dan Gana sama-sama mengerti rasanya pulang.

Rabu, 20 April 2016

Pukul Lima

Dari 24 jam waktu yang berputar di dunia ini, waktu manakah yang paling kamu suka? Ada banyak orang di muka bumi ini yang secara tidak langsung membentuk kesepakatan tentang waktu yang paling disuka.
Pendaki gunung mungkin akan menyatakan saat matahari terbit adalah waktu yang paling indah. Melihat kemegahan matahari yang terbangun dan memunculkan keindahan luas tanpa batas bersamaan dengan awan yang berarak. Pedagang pasar memulai harinya pada pukul 3 pagi, waktu dimana kehidupan dimulai. Mencari nafkah, keluar dari gelungan selimut dan berbaur dengan hangatnya suara tawar menawar. Pecinta pantai akan berlari, berlomba mengejar momentum matahari terbenam di dasar samudra. Membawa bias warna laut dan deburan ombak melebur menjadi warna gelap yang pekat. Tidak ada waktu yang paling tepat dan romantis selain malam hari bagi para pecinta kembang api. Membiarkan letupan kembang api membuat jejak lukisan cahaya di langit. Penggiat konser akan merasa pukul 8 adalah waktu yang paling pas untuk mengeluarkan bintang utama. Waktu yang cukup malam namun masih panjang untuk bernyanyi dan berteriak bersama.
Tapi, seorang Kanaya Nareswari, merasa pukul lima sore adalah waktu yang paling romantis. Tidak gelap namun juga tidak terang. Matahari pada pukul lima menatapnya teduh. Pukul lima mengingatkan ia untuk 'pulang'. Waktu itu seakan membuatnya berhenti di tempat persinggahannya. Memikirkan sebuah tempat yang ia sebut rumah.
Sama seperti hari ini. Walau kini ia tidak berada di titik paling jauh dari hiruk pikuk kota, pukul lima selalu membuatnya rindu. Untuk itulah ia duduk disini. Di sebuah beranda café kesukaannya. Naya akan datang pukul setengah lima dan beranjak saat jam tangannya sudah menunjukkan pukul setengah enam. Ia akan selalu duduk di kursi untuk dua orang, disudut paling jauh di lantai dua café ini. Ditemani secangkir coklat hangat yang akan ia isi lagi saat habis. Ia hanya akan diam, menikmati setiap detik yang ia lalui bersama pukul limanya.

Entah sejak kapan, Gana memperhatikan pelanggan café-nya itu. Menginjak pukul lima, Café akan sepi pengunjung. Membuatnya bisa rehat sejenak dari balik coffee maker-nya dan memperhatikan satu persatu pelanggan yang datang. Saat itulah ia melihat seorang perempuan yang datang ke café, langsung memilih ke lantai dua dan memesan secangkir coklat hangat. Lalu ia akan beranjak pergi pada pukul setengah enam. Setelah memesan dua sampai tiga cangkir coklat panas. Pelanggan yang tanpa sadar selalu ia perhatikan selama dua bulan ini, di saat ia tidak lagi bersembunyi dibalik coffee maker.
Pukul setengah lima. Gana melepaskan apron hitam yang ia gunakan dengan sebuah ornament kecil di saku depan yang memperlihatkan logo café-nya. Ia menunggu perempuan itu. Setiap terdengar bunyi lonceng, Gana selalu awas. Memperhatikan siapa pun pelanggan yang mendorong pintu masuk café, menciptakan denting kecil dari sebuah lonceng yang ia pasang diatas pintu. Sudah lima hari perempuan itu tidak datang. Sudah lima hari tanpa sadar ia mendesah kecewa saat pukul setengah enam berjalan tanpa membawa perempuan itu datang untuk singgah dan meminum coklat hangat.
Setelah enam kali pada hari itu, ia mengangkat wajahnya saat mendengar denting lonceng yang tidak kunjung berhasil membawa perempuan itu kepadanya, akhirnya pada bunyi ketujuh lonceng itu berbunyi bersama dengan sosok yang sudah lima hari tidak ia lihat. Dari jam yang melingkar di tangannya, perempuan itu datang terlambat. Gana membiarkan seorang waiter, Anya, berjalan menghampiri perempuan itu untuk menuliskan pesanannya. Saat Anya kembali dengan catatan pesanan ditangannya, Gana mengambilnya.
“Biar saya saja yang buatkan pesanan Mbak itu,” ujar Gana sambil menarik kertas kecil yang ada di tangan Anya.
Tanpa memperhatikan reaksi Anya, Gana segera membuatkan secangkir coklat hangat untuk perempuan misterius itu, membuatkan pesanan minuman yang tidak biasanya ia buatkan. Ia juga memilih untuk membawa pesanan itu dengan tangannya sendiri. Dengan tenang, Gana berjalan menuju lantai dua, menemukan perempuan itu duduk di pinggir beranda, di posisi yang paling pojok. Perempuan itu terlihat sedang memperhatikan jalan yang mulai ramai karena jam pulang kerja. Perlahan Gana menaruh cangkir coklat hangat didepan perempuan itu. Suara tatakan cangkir dan meja kayu beradu menciptakan suara yang membuyarkan lamunan perempuan itu. Dan saat itulah, untuk pertama kalinya, Gana melihat wajah perempuan misterius yang selalu datang pada pukul setengah lima ke café-nya dan memesan secangkir coklat hangat.

Suara tatakan cangkir yang beradu dengan meja kayu membuyarkan lamunan Naya. Ia mengalihkan pandangannya dan hendak mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantarkan pesanannya. Alih-alih seorang pelayan dengan pakaian berwarna coklat, Naya malah menemukan seorang pria gagah dengan kemeja putih berdiri di sebelahnya.
“Silahkan, ini pesanan Mbak,” ucap pria itu mengambil alih ucapan terima kasih Naya. “Coklat hangat seperti biasa.”
Naya tersenyum mendengar ucapan pria didepannya itu dan segera mengucapkan terima kasih.
“Boleh saya duduk disini?” tanya pria itu yang dijawab anggukan oleh Naya. Ia memperhatikan pria yang duduk didepannya sambil meminum coklat hangatnya.
“Nama saya Gana,” ucap pria itu lagi sambil mengulurkan tangan yang membuat Naya buru-buru menaruh cangkir ditangannya ke tatakan.
“Saya Naya,” jawab Naya sambil melempar senyum kepada si pemilik tangan.
Setelah berkenalan baik Gana dan Naya sama-sama terdiam. Bingung harus memulai percakapan dari mana. Hal ini memberi kesempatan Naya untuk kembali memperhatikan lalu lintas di bawahnya yang memadat.
“Kamu terlambat hari ini,” ujar Gana tiba-tiba. Membuat Naya mengerutkan keningnya bingung. “Hari ini kamu terlambat. Kamu datang pukul 4.40. Biasanya kamu akan datang pukul 4.30.”
Naya tertawa kecil mendengar penuturan pria didepannya ini. “Iya, pesawat yang saya tumpangi sempat delay. Jadi saya terlambat datang ke tempat ini.”
“Hal itukah yang membuatmu tidak datang ke tempat ini selama beberapa hari?”
Pertanyaan baru Gana membawa Naya menganggukan kepala sebagai jawabannya. “Iya. Karena itu selama beberapa hari saya tidak bisa datang kesini.”
Selama ini Naya selalu tidak suka dengan orang yang tiba-tiba datang dan sok kenal. Namun, Gana membawa suasana lain yang membuat Naya tidak keberatan menjawab semua pertanyaannya.
“Jadi, kemana kamu pergi selama lima hari ini?” tanya Gana lagi.
“Pergi ke tempat….” Jawab Naya tersenyum. Ia menyesap coklat hangatnya setelah itu ia menggegam cangkir ditangannya, merasakan kehangat dari cangkir yang menyelimuti kedua telapak tangannya. Naya lalu menatap dalam mata hitam Gana. “Dimana saya akan rindu untuk pulang.”


Bersambung…..