This
novel remind me of you, Mas.
Aku berhenti lama pada bab 2.
Menyadari bahwa sampai bab 2 sudah banyak hal
dalam novel ini menceritakan hal yang sama dengan yang aku rasakan. Ya, walau
bisa jadi bab selanjutnya tidak serta merta bercerita soal permasalahan yang
sama. Yang pasti, banyak bagian dari 2 bab itu dekat denganku. Bercerita
tentangmu dan semua kerisauanku. Buruknya, juga bisa soal kehidupan kita berdua
besok. Seperti aku yang masih berhenti membaca novel itu, tulisan tentang kamu
dan kerisauanku juga berhenti. Seperti 2 file
tulisan yang hanya berhenti dengan menjadi draft.
Novel itu bercerita soal kesulitan dalam
hubungan pria dan wanita dalam kehidupan pernikahan mereka. Menghadapi banyak
permasalahan, berusaha menyelesaikannya dan harus bernegosiasi dengan jarak
yang nyata memisahkan. Dan, tahukah bahwa pekerjaan si pria sebagai offshore operation engineer? Iya,
bekerja di sumur bor lepas pantai. Bekerja dengan waktu kerja 5/5. Bahkan tanpa
membaca penjelasannya aku sudah tau. Hapal luar kepala. Si pria akan pergi
bekerja selama 5 minggu, di lepas pantai dan memiliki waktu libur 5 minggu. Sounds good right? 5 minggu untuk
bersenang-senang.
Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya ada
soal melepaskanmu lagi dan lagi untuk pergi beberapa lama setelah waktu libur
itu selesai.
Oke, pekerjaanmu memang tidak seperti si pria
yang harus bekerja dilepas pantai, tapi sebagai geologist kamu melakukan kegiatan yang bahkan lebih ekstrem. Sudah
berapa kali ceritamu berakhir dengan kalimat, "untung waktu itu aku gak mati, Dek." Aku juga beruntung,
Mas. Beruntung waktu aku mendengarkanmu cerita jantungku tidak berhenti
berdetak karena kaget walau kamu bercerita sambil tertawa. Sudah berapa banyak
cerita nyaris matimu itu, Mas?
Digigit kelabang putih, disengat lebah
tambuan, bertemu macan dihutan, atau hal mistis seperti nyaris mati diguna-guna
kepala suku atau karena salah mengolah hasil buruan yang memiliki pantangan. Terlebih
lagi kamu suka mendaki gunung lalu sekarang bekerja untuk kebencanaan. Keluar masuk
hutan, membuat jalan baru didalam hutan yang belum pernah dilewati, naik hingga
puncak gunung untuk memasang alat. Aku ingat pernah membaca sebuah blog dimana,
seorang wanita bercerita soal kehilangannya karena pacarnya, yang kebetulan
juga geologist, meninggal. Memang
bukan karena dimakan harimau, tapi ia meninggal dalam kecelakaan pesawat yang
membawanya ke tempat yang cukup sulit dijangkau. Lalu siaran televisi soal
pendaki gunung yang hilang. Semua menambah kerisauanku. Oh lihatlah, aku adalah
mahasiswi komunikasi yang bahkan tidak bisa meliterasi dirinya sendiri dari
membaca atau menonton media karena takut kehilanganmu.
Jika dalam novel yang belum selesai aku baca
itu, memunculkan rasa kosong karena 'membiarkan' permasalahan tidak
terselesaikan dengan baik. Waktu dan jarak yang mengurangi waktu bersama dari
para tokoh. Kosong? Mungkin ada. Kosong karena seluruh perasaan mati sekejap,
hanya meninggalkan cemas yang berusaha disembunyikan rapat-rapat. Hatiku terlalu
dipenuhi rasa cemas saat kamu menjalani angka pertama sebelum garis miring itu.
Jangan tanyakan apakah aku percaya padamu atau tidak. Aku percaya, aku tau
bahwa kamu tidak mungkin melakukan hal yang tidak baik selama kamu pergi. Tapi
soal cemas, tidak bisa begitu saja hilang bukan? Aku cemas karena harus
menjalani hari tanpamu, tanpa kabar yang jelas darimu. Ya Tuhan, aku jadi ingat
ceritamu dulu. Kamu bercerita bahwa kamu dan teman-temanmu mengenal baik resiko
pekerjaanmu. Yang membuat kamu selektif memilih dari banyaknya wanita yang
mengejarmu. "Kami harus siap, Dek.
Begitu juga pasangan kami jika suatu saat kami tidak pulang."
Lupakan soal banyak waktu penting yang harus
kita lalui terpisah. Biar aku belajar memasang bola lampu sendiri, membayar pajak
kendaraan atau mendatangi bengkel untuk service rutin kendaraan. Biar aku yang
mengajarkan banyak hal pada anak kita, merekam setiap hal kecil dari anak kita
untuk aku ceritakan lagi padamu dan terus menyebut namamu setiap hari agar dia
bisa mengucapkankan kata 'Ayah' dengan lancar. Aku cemas karena itu. Resiko
yang katamu sudah kamu dan teman-teman siapkan matang-matang saat belajar dulu.
Aku tau resikomu. Hanya saja, butuh waktu yang lama hingga aku siap jika harus
berada di posisi itu.
Lalu seperti saat kamu bercerita bahwa kamu
sedang menjalani hubungan yang serius denganku, aku hanya meminta satu padamu.
Dari sekian banyak kemungkinan dan cerita nyaris matimu itu, simpan satu
nyawamu untukku. Simpan satu saja untukku.
I'm here, Nya. I'm
here. Until you realize that I've here eventhough I am not here. - Aldebaran Risjad, Critical Eleven karya Ika Natassa.