Rabu, 23 September 2015

Remind Me Of....

This novel remind me of you, Mas.

Aku berhenti lama pada bab 2.
Menyadari bahwa sampai bab 2 sudah banyak hal dalam novel ini menceritakan hal yang sama dengan yang aku rasakan. Ya, walau bisa jadi bab selanjutnya tidak serta merta bercerita soal permasalahan yang sama. Yang pasti, banyak bagian dari 2 bab itu dekat denganku. Bercerita tentangmu dan semua kerisauanku. Buruknya, juga bisa soal kehidupan kita berdua besok. Seperti aku yang masih berhenti membaca novel itu, tulisan tentang kamu dan kerisauanku juga berhenti. Seperti 2 file tulisan yang hanya berhenti dengan menjadi draft.

Novel itu bercerita soal kesulitan dalam hubungan pria dan wanita dalam kehidupan pernikahan mereka. Menghadapi banyak permasalahan, berusaha menyelesaikannya dan harus bernegosiasi dengan jarak yang nyata memisahkan. Dan, tahukah bahwa pekerjaan si pria sebagai offshore operation engineer? Iya, bekerja di sumur bor lepas pantai. Bekerja dengan waktu kerja 5/5. Bahkan tanpa membaca penjelasannya aku sudah tau. Hapal luar kepala. Si pria akan pergi bekerja selama 5 minggu, di lepas pantai dan memiliki waktu libur 5 minggu. Sounds good right? 5 minggu untuk bersenang-senang.
Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya ada soal melepaskanmu lagi dan lagi untuk pergi beberapa lama setelah waktu libur itu selesai.

Oke, pekerjaanmu memang tidak seperti si pria yang harus bekerja dilepas pantai, tapi sebagai geologist kamu melakukan kegiatan yang bahkan lebih ekstrem. Sudah berapa kali ceritamu berakhir dengan kalimat, "untung waktu itu aku gak mati, Dek." Aku juga beruntung, Mas. Beruntung waktu aku mendengarkanmu cerita jantungku tidak berhenti berdetak karena kaget walau kamu bercerita sambil tertawa. Sudah berapa banyak cerita nyaris matimu itu, Mas?
Digigit kelabang putih, disengat lebah tambuan, bertemu macan dihutan, atau hal mistis seperti nyaris mati diguna-guna kepala suku atau karena salah mengolah hasil buruan yang memiliki pantangan. Terlebih lagi kamu suka mendaki gunung lalu sekarang bekerja untuk kebencanaan. Keluar masuk hutan, membuat jalan baru didalam hutan yang belum pernah dilewati, naik hingga puncak gunung untuk memasang alat. Aku ingat pernah membaca sebuah blog dimana, seorang wanita bercerita soal kehilangannya karena pacarnya, yang kebetulan juga geologist, meninggal. Memang bukan karena dimakan harimau, tapi ia meninggal dalam kecelakaan pesawat yang membawanya ke tempat yang cukup sulit dijangkau. Lalu siaran televisi soal pendaki gunung yang hilang. Semua menambah kerisauanku. Oh lihatlah, aku adalah mahasiswi komunikasi yang bahkan tidak bisa meliterasi dirinya sendiri dari membaca atau menonton media karena takut kehilanganmu.
Jika dalam novel yang belum selesai aku baca itu, memunculkan rasa kosong karena 'membiarkan' permasalahan tidak terselesaikan dengan baik. Waktu dan jarak yang mengurangi waktu bersama dari para tokoh. Kosong? Mungkin ada. Kosong karena seluruh perasaan mati sekejap, hanya meninggalkan cemas yang berusaha disembunyikan rapat-rapat. Hatiku terlalu dipenuhi rasa cemas saat kamu menjalani angka pertama sebelum garis miring itu. Jangan tanyakan apakah aku percaya padamu atau tidak. Aku percaya, aku tau bahwa kamu tidak mungkin melakukan hal yang tidak baik selama kamu pergi. Tapi soal cemas, tidak bisa begitu saja hilang bukan? Aku cemas karena harus menjalani hari tanpamu, tanpa kabar yang jelas darimu. Ya Tuhan, aku jadi ingat ceritamu dulu. Kamu bercerita bahwa kamu dan teman-temanmu mengenal baik resiko pekerjaanmu. Yang membuat kamu selektif memilih dari banyaknya wanita yang mengejarmu. "Kami harus siap, Dek. Begitu juga pasangan kami jika suatu saat kami tidak pulang."
Lupakan soal banyak waktu penting yang harus kita lalui terpisah. Biar aku belajar memasang bola lampu sendiri, membayar pajak kendaraan atau mendatangi bengkel untuk service rutin kendaraan. Biar aku yang mengajarkan banyak hal pada anak kita, merekam setiap hal kecil dari anak kita untuk aku ceritakan lagi padamu dan terus menyebut namamu setiap hari agar dia bisa mengucapkankan kata 'Ayah' dengan lancar. Aku cemas karena itu. Resiko yang katamu sudah kamu dan teman-teman siapkan matang-matang saat belajar dulu. Aku tau resikomu. Hanya saja, butuh waktu yang lama hingga aku siap jika harus berada di posisi itu.

Lalu seperti saat kamu bercerita bahwa kamu sedang menjalani hubungan yang serius denganku, aku hanya meminta satu padamu. Dari sekian banyak kemungkinan dan cerita nyaris matimu itu, simpan satu nyawamu untukku. Simpan satu saja untukku.



I'm here, Nya. I'm here. Until you realize that I've here eventhough I am not here. - Aldebaran Risjad, Critical Eleven karya Ika Natassa.

Senin, 07 September 2015

Terlambat

Aku pernah merasa sangat terlambat….
Lagi-lagi menyesali keterlambatan yang fatal.

Akhir-akhir ini aku sangat risau. Risau yang membuatku malah tidak bisa memutar cerita selama dua bulan yang aku jalani.
Semua media sosialku dipenuhi teman-temanku yang berbagi cerita mereka, pada ‘tempat pelarian’ mereka. Entah kemana ceritaku selama 60 hari itu. Apakah mungkin aku tidak bisa membuat cerita seindah dan seapik teman-temanku? Atau aku yang terlalu dingin menjalani 60 hariku itu?
Semakin lama aku berpikir sambil melihat kiriman teman-temanku itu, semakin sesak rasanya dadaku.

Sejujurnya, aku kehilangan separuh hatiku pada kepolosan anak-anak Lereng Merapi bagian barat. Waktu itu, aku menjalani sebuah program penanggulangan resiko bencana berbasis sekolah di daerah Magelang. Selepas melewati program itu, aku tidak henti merindukan mereka. Aku selalu teringat antusiasme dan semangat mereka. Aku selalu mengingat mereka. Aku jatuh cinta pada anak-anaknya, juga mulai jatuh cinta pada kebencanaan.

Sedikit kehilangan hati, lalu dengan ‘egois’ aku memilih untuk menjalaninya lagi. Memilih tema pelarian yang sama, kebencanaan. Saat itu, aku datang dengan hati yang sedikit kosong. Mampukah aku menjalani hari-hariku disini? Dengan bayang-bayang wajah polos itu?
Aku sempat berucap. Aku tidak ingin terlalu dekat dengan anak-anak disini. Aku tidak ingin jatuh cinta lagi dengan mereka. Aku akan menjaga jarak. Aku akan berusaha untuk menjaga hatiku.

Tapi apalah daya, Tuhan menginginkan aku jatuh cinta lagi.
Tuhan ingin aku membuat cerita yang lebih banyak lagi di Lereng Merapi. Tanpa sadar, anak-anak nakal yang biasa tidak mau diatur itu, mulai melunak. Mereka semakin senang menempel dan memberikan tebakan-tebakan lucu. Mereka bahkan dengan antusias mengikuti kegiatan. Mereka bersorak saat bosan, namun mengerjakan banyak tugas dengan tekun.
Sampai suatu ketika, mereka benar-benar mencuri hatiku bersamaan dengan 60 hari yang mendekati ujungnya.

Kenapa anak-anak itu baru menurut sekarang? Saat kita sudah akan selesai program? Besok kita harus kesini lagi ya, ujar temanku.
Tapi kapan, kalian habis ini pada sibuk semua, sahut temanku yang lain.
Aku akan kesini. Aku akan kesini lagi. Aku tidak ingin terlambat lagi. Karena aku sudah tahu apa rasanya terlambat, jawabku tegas.

Aku tau rasanya terlambat. Benar-benar terlambat.
Aku pernah menangis tanpa henti suatu malam. Saat aku menyadari bahwa aku sudah terlalu jatuh cinta pada Lereng Merapi tempat aku berpijak saat itu, namun tetap merindu pada sisi Lereng Merapi yang lain. Aku menangis sesenggukkan karena mengingat sudah dua tahun berlalu dari kegiatan itu. Bahwa sudah dua tahun berlalu, dengan rindu yang selalu menghimpit namun tidak kunjung disembuhkan. Aku ingat bahwa dua tahun waktu yang cukup untuk membuat anak-anak polos itu lulus dari SD. Lalu dimanakah mereka bersekolah saat ini? Kemana aku bisa mencari mereka lagi? Dimana?
Pertanyaan-pertanyaan dan rindu itu yang hingga kini membuatku resah.

Inginku bukan lagi sekedar ingin datang ke tempat itu dan membuat cerita yang sama menyenangkannya. Inginku hanya satu, jangan sampai aku terlambat lagi. Jangan sampai aku terlambat menyembuhkan lukaku dan menyadari bahwa waktu sudah berjalan cukup lama. Jangan sampai aku terlambat menyadari, bahwa waktu sudah membuat beberapa hal berubah dan membuatmu kesulitan untuk menyembuhkan rindumu.


Salam sayang untukmu, anak-anak polos penuh kehangatan di Lereng Merapi. Aku merindukan kalian.