Senin, 18 Februari 2013

Bikin Macet


Jogja tambah macet? Ya!
Seperti yang biasa kita alami pada jam-jam sibuk, beberapa jalan utama Jogja akan penuh sesak. Bahkan macet hingga beberapa meter.
Kadang hal ini bikin sebel.
Terutama jika ada jalan bercabang, jalan masuk desa, atau perempatan pasti akan maceeeeett. Dan keadaan ini sering digunakan beberapa orang untuk menjadi tukang parkir dadakan.
Sebagai pengguna jalan, aku rasa kehadiran mereka cukup membantu. Keputusan untuk mengatur lalu lintas, inisiatif untuk tidak bergantung pada aparat. Karena, seperti kita tau juga, pengendara sekarang juga udah sangat gak sabaran dan egois. Seenaknya aja nyelonong, gak mau kalah. Itu bikin macet, dan tukang parkir dadakan itu membantu mengatur giliran jalan.

Tapi sore tadi pulang kuliah, pas disebelahku ada bapak-bapak bermobil yang ngomong, begini:
“Pak macet, Pak! Jangan ditutup-tutupin gitu lah jalannya. Jadi macet panjang banget!”
Lalu aku terkejut.
Jadi harus bagaimanakah cara mengatur kemacetan itu?
Apakah benar tukang parkir-tukang parkir dadakan itu malah membuat jalan jadi lebih macet?
Tapi, apakah kita juga yakin, jika tak ada mereka kemacetan akan lebih mudah terurai dengan kepala panas para pengendara?

Senin, 04 Februari 2013

Haram!


Q: “Kamu dapet IP berapa?”
A: “Puji Tuhan. Bagus kok, menurut aku sih. J kamu berapa?”
Q: “Aaaaa, aku jelek banget! Kamu dapet berapa nih IP-nya? Pasti diatas 3 deh? Punyaku jelek banget pokoknya.”
A: “....”

Aku enggak sedang sombong dengan IP yang aku dapatkan.
Hanya saja, contoh chit-chat diatas membuat bingung harus memberi respon apa. Terlebih saat ada kontribusi “jelek” dan “kamu pasti lebih bagus” didalamnya. Semakin repot lagi saat sang penanya enggak mau fair dengan pertanyaannya sendiri dan bersembunyi dibalik kata “aku lebih jelek”.

Selama ini, kalimat itu membuat aku tidak berani merespon dengan lugas.
Karena, aku gak tau proporsi jelek dari si penanya, dan arti IP yang aku dapatkan.
Bisa saja, IP-nya yang dibilang jelek adalah 3,8 dari targetnya 4,0.
Atau memang jelek dengan nilai mayoritas C atau D didalamnya, dan saat itu terjadi aku jadi merasa gak enak dan kehilangan kata-kata karena IP-ku dibilang IP perdana impian banyak orang.

Yang bikin lebih gak enak lagi karena aku tidak bisa menjelaskan bahwa, walaupun IP-ku 2 sekalipun aku merasa itu bagus. Karena itu adalah hasil dari yang aku kerjakan dan aku usahakan. Bukan berbicara soal gengsi “IP perdana”.

Aku jadi benar-benar merasa bahwa IP adalah hal keramat yang haram dibicarakan. Haram dan tidak baik baik disebarluaskan.
Tapi, mungkin haram itu ada karena kita yang tidak fair mengakui IP itu sendiri, dengan berbagai alesan didalamnya.
Atau bisa saja haram karena kita punya tolak ukur sendiri untuk Baik dan Buruk kita, yang kita sembunyikan definisnya.
Entah lah.. Tapi, cap haram itu masih terus membayangi.