Kamis, 25 Mei 2017

Mengisi

“Pokoknya Mbak yang traktir. Kan wisuda. Kan udah kerja juga.”
“Kalo semua fase dalam hidup hanya kita rayakan dengan traktiran, kapan kita ada waktu menikmati semua tahapan itu?”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kosong.
Entah sudah berapa lama aku merasakan rasa kosong ini. Entah kapan dimulainya dan entah kapan sampai pada puncaknya. Tiba-tiba aku hanya tersentak setelah tirai mengakhiri closing sebuah teater malam itu terus membayangi. Setelahnya selama berhari-hari aku merasa gamang. Sampai dua hari kemarin sebuah percakapan memunculkan pertanyaan. Yang membawaku mengingat-ingat rangkaian hari yang aku lalui sambil lalu.

Kurang lebih seminggu yang lalu aku wisuda. Apa yang aku ingat? Hanya aku yang terbangun jam 3 pagi, memasak sebuah mie instan lalu setelahnya semua berjalan dengan kabur. Terburu-buru. Sehari itu kehidupanku hanya seperti sebuah rangkaian kegiatan. Jam 6 hingga 11 wisuda universitas, setelah itu hingga pukul 1 siang wisuda fakultas lalu berburu waktu melalui macet agar memenuhi waktu reservasi foto studio dan diakhiri dengan makan bersama. Seharian itu yang aku pikirkan hanya bagaimana mengejar hal-hal yang sudah tersusun tanpa terlambat sedikit pun. Sudah.
Aku tidak bisa mengulang perasaan saat dipanggil maju ke depan dengan predikat sesuai selempang kuning yang aku pakai. Senyum Pak Dekan yang memanggil namaku dan mengucapkan selamat pun tidak jelas aku ingat. Hanya panggilan Nduk dari kakak angkatan yang sudah lama tidak aku temui, sebuah frame dengan uang 10.000 dan cengiran dari Mas Girindra, Dian dan Vincent yang menyerahkan sebuket bunga dengan Hydrangea lesu yang berhasil aku ulang dengan jelas. Selebihnya? Tidak tahu. Entah bagaimana aku melalui hari itu.
Tiga hari setelah itu, aku melihat Vincent pentas, bukan peran besar namun cukup menjadi titik tolak untuk kegamangan ini. My little brother not so little anymore. Dari jarak belasan meter dari tempat aku duduk, aku melihat sosok paling tinggi itu menari atau berbicara di atas panggung memainkan peran kecil. Dari jarak belasan meter itu, berbagai adegan, dialog, selipan puisi, rekayasa cahaya dan tata panggung, teriakan atau tepuk tangan bergema. Hari itu, sejauh yang mampu aku ingat, adalah hari terbaik yang pernah aku alami. Aku melakukan sesuatu, menghidupinya dan merasakan emosinya. Setelah itu? Aku kembali kebingungan sambil memutar ulang hangatnya perasaan yang aku alami sabtu malam itu.

Percakapan candaan mengenai traktiran karena aku sudah lulus kuliah membuka semuanya. Aku tahu kata-kata itu hanyalah kebiasaan atau ungkapan bahagia yang tidak bisa terucapkan dengan tepat. Sama seperti saat kamu berhasil menyatakan cinta atau ulang tahun. Tapi pertanyaan yang aku lontarkan setelah itu adalah jawaban yang aku cari akhir-akhir ini. “Kalo semua fase dalam hidup hanya kita rayakan dengan traktiran, kapan kita ada waktu menikmati semua tahapan itu?”
Kapan kita ada waktu untuk menikmati?
Bagian demi bagian pun bermain dalam otakku. Terutama salah satu kerisauanku bersama Inggrith, temanku yang kebetulan wisuda hari itu. Bersama-sama kami masih mencari nyawa dari selebrasi kelulusan itu. Jika tanpa foto. Jika tanpa kebaya baru untuk sekeluarga. Tanpa makan bersama di rumah makan.
Aku senang hari itu. Aku senang segala proses panjang yang aku lalui membuahkan hasil. Aku senang karena selesai melalui malam-malam panjang tanpa tidur nyenyak. Aku senang bisa memberikan sebuah penghargaan untuk kedua orang tuaku. Aku senang bisa menjadi contoh untuk kedua adikku. Aku senang karena ada hal baru yang menantiku. Tapi bahagia? Entahlah. Aku tidak merasakan perasaan yang cukup besar dan dalam hingga aku bisa menyebutnya bahagia. Aku menikmati semua prosesnya tapi tidak mampu mencari konsep merayakan dan menikmati perayaan yang sebenarnya. Aku hanya kehilangan nyawa dari tanggal 17 Mei itu.
Dan tirai yang menutup diakhir teater itu memberi nyawa yang sedikit mengisi.

Hangat yang mengisi dan kekosongan itu berkejaran seminggu ini….
Sampai akhirnya aku baru menyadari kenapa teater anak SMA itu malah jauh lebih membekas daripada wisuda kelulusan perguruan tinggi. Aku menikmati sajian yang dihadirkan didepan mataku. Dengan sederhana. Aku menikmati emosi yang disampaikan. Aku membaca olah tubuh yang dilakukan. Aku mendengar setiap dialog dengan seksama. Di satu tempat yang sama, on that very moment, everyone laugh dan clap together. On that very moment, everyone enjoy life to the fullest. Di waktu dan tempat itu aku bahagia. Aku merasakan hangat dan cerahnya suasana ditemaramnya ruangan bersama dengan interaksi diatas panggung atau teriakan dan tawa disekelilingku. Karena diwaktu itu aku menikmati semua prosesnya pada setiap momentum yang kulalui. Karena diwaktu itu tidak ada waktu yang harus kuburu. Tidak ada reservasi foto dan makan bersama seharga ratusan ribu. Karena di momen itu menikmati kebersamaan tanpa campur tangan kebendaan ternyata sangat melegakan. Karena berada pada satu tempat untuk menikmati hal yang sama dengan tulus dan atmosfer hangat yang kuat cukup menjadi selebrasi yang melengkapi.

Lalu dari mana kosong itu datang? Karena aku masih terus mencari definisi bahagia itu. Saat harus ditabrakkan dengan beragam keinginan dan beragam definisi bahagia yang lain.