Selasa, 29 Januari 2013

Salam dari Mikael


Kadang kematian bisa jadi pilihan. Pada satu titik, pilihan terakhir bisa jadi kematian.
-Malaikat Tanpa Sayap

Bundaku kemarin lagi galau.
Dan kegalauan Bunda membawaku mengenal sisi lain dari tempat itu, kehidupan yang lain..
Kehidupan yang ‘semarak’ dibalik label seram kamar jenazah.

Awalnya pasti serem masuk ruangan di belakang rumah sakit ini. Selalu sepi, dingin, dan seperti tak berpenghuni. Melewatinya pun udah bikin bulu kuduk merinding.
Tapi, begitu masuk ke ruangan dipojok sana. Ada warna lain yang terlihat.
Warna cerah, warna gembira. Sedikit tawa juga suara radio lirih yang mengisi ruangan sepi itu.
Dari ruang kecil inilah aku melihat sisi lain dari sebuah kematian. Keiklasan dan perhatian didalamnya.

Rumah sakit memang identik dengan suasana yang mencekam, seram, menakutkan juga dekat dengan sesuatu yang menyedihkan. Rumah sakit identik dengan kematian, penyakit parah, kesakitan. Kita memang terlalu sering mengingat hal jelek daripada hal baik, itu juga yang menjadi sterotip dari rumah sakit. Kita lupa bahwa ada kehidupan baru saat bayi lahir, kesempatan lain saat kembali sembuh dan itu semua indah.
Kita juga punya sterotip sendiri pada kamar jenazah, tentu saja. Tempat yang menyeramkan, tempat terakhir untuk dikunjungi dan ruangan tanpa kehidupan didalamnya.
Tapi beberapa orang yang terjun langsung dalam kamar seram itu malah memiliki makna sendiri tentang hidup. Mereka mungkin menjadi sosok-sosok yang bisa menghargai kehidupan. Melihat bagaimana kuasa Tuhan sangat besar. Melihat banyak orang, tanpa memandang bulu, tanpa pandang status, wajah, umur dan apa penyebab sebuah kematian dengan gamblang. Dan mereka tetap menghargai kehadiran sosok tanpa jiwa itu. Mereka melakukan hal-hal yang banyak ditakuti orang lain.
Mengurus raga tanpa jiwa. Melakukan hal itu, menjadi cara mereka menghargai kehidupan.
Mereka memberikan kasih dan perhatian terakhir yang bisa mereka lakukan. Memandikan, mendandani, membuat mereka layak untuk dilepas kepergiannya. Menghargai kepergian orang itu.

Seperti yang diucapkan Vino dalam Malaikat Tanpa Sayap. Kadang, kematian menjadi pilihan terakhir. Pilihan terakhir bagi kita, dan kita tidak punya hak untuk memilih akan seperti apa kematian kita.
Begitu juga dengan raga tanpa jiwa itu. Mungkin kematian menjadi titik terakhir bagi mereka, titik dimana mereka tidak bisa memilih dan tak berdaya. Hanya saja kehadiran sosok ‘penuh warna’ yang mengurus mereka bisa sedikit melegakan.
Melalui sosok-sosok itu, sosok-sosok yang menghargai kehidupan itu, yang membantu raga tanpa jiwa itu menikmati pilihan terakhir mereka.
Karena sosok-sosok yang tidak mereka kenal dengan baik itu, mengurus mereka. Memberikan perhatian dan keiklasan yang dipunyai untuk mereka. Memberi sentuhan kehidupan, dan menghargai raga tanpa jiwa itu seperti manusia biasa. Yang butuh perhatian dan keiklasan saat mengurusnya. Dan sosok-sosok itu memberikannya.
Pada titik terakhir kehidupan itu, ada kehidupan lain yang tidak kita lihat.
Betapa kuat cinta dan pengabdian tetap bisa diberikan, bagi mereka, bagi raga tanpa jiwa itu. Cinta dan pengabdian bagi pilihan terakhir kehidupan yang selalu kita hindari.




PS: Terima kasih untuk Budhe Indri dan Eyang Suster dkk. Terima kasih karena kesediaan ‘menemani’ mereka yang mungkin kesepian dengan stereotip seram yang tersebar J
PPS: Bun, makasih atas semua kebahagiaan yang bisa aku rasain, because opportunity to choose. And now, it’s your turn. Turn to choose, choose for something you want. Something that make yourself as happy as me :*

Something to feel not to think


I think this, I think that .. and that’s the problems with the young generation right now. Kalian berfikir terlalu banyak untuk hal-hal yang sebenernya hanya perlu dirasakan. Jangan pernah memakai otakmu untuk memutuskan apa yang hati kamu rasakan padanya. You have to feel it. Feel it with your heart. Feel it right there.
Lyubitshka,
Love, Curse and Hocus-Pocus-Karla M. Nashar.

Kadang kita terlalu banyak berfikir.
Terlalu banyak mencari excuse untuk menyangkal ataupun membenarkan perasaan kita. Kita lupa, bahwa sebenarnya kita hanya perlu merasakannya.
Sedikit merelakan waktu untuk merasakannya. Karena hati dan otak sukar berjalan beriringan, dan otak bisa membuat keputusan yang salah atas hati.. J

Minggu, 27 Januari 2013

Senandung Pagi



Aku melihat, kau tengah terlelap
Berteman dengan gelap
Bercengkrama dalam lembab

Aku melihat, kau tengah bermimpi
Lalu aku bernyanyi di dalam hati
Tentangmu, senandung pagi

Tapi kenapa kau hanya bisa kulihat sesaat, saat kau terlelap?
Kenapa aku hanya bisa menikmati dirimu, dalam sekejap?

Aku ingin..
Rasakan indahmu..
Menyapaku dengan kilau senyumanmu
Aku ingin..
Rasakan sejukmu..
Menyentuhku dengan damai hadirmu

Pantas kah aku merutuki dunia kita yang berbeda?
Bisa kah aku menghakimi garis tipis diantara kita?

Aku tau, aku tak bisa memutar bumi ini untuk bertemu denganmu
Aku tau, aku ditakdirkan hanya untuk mendekapmu melalui mataku
Dan aku disini, terdiam, merindu, selalu..

Tapi senantiasa akan kuucap ikrarku
Aku berjanji akan terus menyapamu
Janji setia hatiku padamu
Jiwa ini yang menanti dirimu, tak pernah berhenti
Kau, senandung pagi..

Selasa, 22 Januari 2013

MeWah, jangan sampai jadi Mengenang saWah..


Aku inget banget..
Kehidupan sekolahku itu sangat mewah! Super mewah and all about mewah..
Mewah yang artinya kelas bling bling itu? Yang fasilitas menggunung itu?
Bukan! Dengan sangat kecewa, aku harus menjelaskan bahwa mewah disini adalah Mepet Sawah!
Dulu waktu TK-SD aku sekolah di sekolah yang sangat dekeeeeet sama rumah. Dan sekolahku itu di kelilingi sawah. Bahkan aku inget banget, zaman jadi anak SD nakal banyak temenku yang biasa loncat jendela buat ambil cemilan timun yang matang :D
Naek ke SMP, maaf yaa sedikit bangga, aku masuk sekolah yang.. Yaaa lumayan punya nama dan grade yang tinggi sih. Konon katanya, waktu itu punya fasilitas yang cukup memadai. Tapiiii, tiap olahraga atau pramuka tetep aja jalan-jalannya menyusuri sawah!
Naaahh, jadi anak SMA nih meenn akuu. Sekarang, jadi anak SMA dengan judul sekolah yaitu SMA di Kota Yogyakarta. Bangga? Iyaa sih! Cuma sayangnya, udah menyebrangi 2kabupaten-1 kota madya tetep aja sekolahnya gak jauh-jauh dari sawah.
Entah aku harus bangga atau sedih masalah ini,hahaha

Kita memang dikenal sebagai negara agraris yang kehidupan negaranya disokong dari hasil pertanian. Makanan pokok kita juga dari sawah, nasi. Dan kita pasti inget, waktu zaman SD buku Bahasa Indonesia kita gak akan jauh dari puisi tentang indahnya tanah hijau dan suburnya negara kita juga Pak Tani yang baik hati menyediakan nasi untuk kita dimeja makan.
Tapi, masih banggakah kita saat ini dengan status negara agraris? Nahh, aku sendiri juga sedang dalam posisi abu-abu dengan masalah ini.
Zaman SD sih aku merasa Pak Tani juga seorang pahlawan, tapi saat ini aku merasa bahwa Pak Tani juga manusia biasa. Seperti kita. Mereka juga butuh diselamatkan. Diselamatkan dari gempuran impor hasil pertanian. Kita pasti sudah sering mendengar, bahwa Indonesia impor beras dari mana, Indonesia impor cabe dari sini,  Indonesia impor kedelai dari situ bahkan Indonesia juga impor garam.
Lalu kalau boleh bertanya? Dibagian manakah kontribusi status negara agraris itu bagi para petani? Apa yang bisa “negara agraris” berikan untuk pahlawan yang menyelamatkan perut kita semua itu? Karena selain impor-impor itu, kita juga tau kalo petani Indonesia ada pada titik ekonomi yang rendah.

Ya ya ya, kita tidak bisa menyalahkan satu pihak.
Kita tidak bisa hanya sekedar menodong pemerintah tidak memperhatikan petani. Kita tidak bisa hanya sekedar berteriak bahwa pemerintah tidak menyelamatkan petani Indonesia. Karena nih ya, kalo setiap mulut di Indonesia pengen makan nasi jelas aja hasil gabah yang dihasilkan enggak cukup. Mungkin itu sebabnya Indonesia impor beras, untuk memenuhi kebutuhan mulut-mulut kelaparan kita. Yaa, entah lah, aku tidak begitu tau masalah apa yang sebenernya terjadi. Mungkin ada yang lebih tau?
Daaaann helloooooww? Kita juga gak bisa memungkiri. Bahwa, perut dan mulut kita udah agak keminggris atau kelondoan nih. Saat kita belanja ke supermarket, kita pasti akan lebih memilih sayur-sayur yang ada label “impor”-nya. Entah dengan alesan, kualitas yang lebih baik, hasil yang lebih sempurna, pilihan lebih variatif, atau harga yang lebih murah.
Noh, kalo gitu bukan sekedar masalah perjanjian antarnegara aja yang buat petani kita tidak selamat. Kalo mau bersemedi saat di supermarket, mungkin kita akan menemukan jawaban bahwa kita juga yang perlahan mematikan kehidupan petani kita. Iya gak?
Di satu sisi, munculnya sayuran-sayuran dan beras impor itu juga karena kebutuhan kita yang banyaaaakk banget! Jadi, perut kita juga diselamatkan oleh keputusan negara yang memilih impor. Tapi, saat kita mendengar alesan kaya gini gimana, “Impor itu untuk memenuhi kebutuhan kita yang tidak bisa terpenuhi oleh petani lokal. Karena sawah-sawah kita tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kita”? Ehmm, itu artinya sawah kita kurang banyak yaa?
Iya bukan sih? Kalo gitu, harusnya kita lebih memaksimalkan sawah yang ada, mengefektifkan hasil sawah kita, pake bibit yang unggul, variasi bibit, memberantas hama, dan hal-hal lain yang sebangsa itu. Cuma nih yaa Cuma, merhatiin gak sih kita selama ini? Ditengah gembar-gembor variasi bibit unggul, pupuk yang baik, irigasi yang diperbaiki kita enggak sadar kalo sawah-sawah itu sudah berubah.
Kaya deket rumahku nih yaa. Ada banyak sawah atau lahan produktif mulai beralih fungsi.
Sawah yang dulu berbuah tomat itu, kini berbuah bunga bank. Gak percaya? Sumpah deh! Sekarang sawah itu jadi BPR. BPR dengan gedung mewah dan bagus yang waktu peresmiannya didatangi oleh bupati.
Sawah yang dulu rimbun dengan pohon-pohon tebu yang sekilas berasa bisa dipake buat bikin video klip itu kini juga ikut berubah. Berubah menjadi ruko. Rimbun pohon tebu yang akan bernyanyi saat disentuh angin itu, berubah menjadi bangunan kokoh dengan kesibukan jual-belinya.

Ini menjadi keironisan tersendiri gaes.
Ditengah berbagai inovasi dan penemuan dalam bidang pertanian kita, kita gak sadar bahwa lahan produktif kita sudah berubah.
Mungkin salah kalo ada yang bilang hama tumbuh subur, untuk saat ini mungkin bangunan kokoh yang berdiri diatas sawah lebih tumbuh subur. Mengalahkan kemampuan hama untuk berkembang biak. Atau nih yaa, mungkin ini lebih tepat. Hama tidak bisa tumbuh subur karena lahan mereka sudah dicaplok sama semen dan batako.
Ironis, karena kita merasa petani kita tidak diselamatkan karena impor, tapi kita malah memilih sayuran impor saat belanja.
Ironis, karena kita merasa Indonesia butuh lebih banyak lahan produktif, tapi kita juga melihat ada banyak bangunan kokoh mulai menggantikan posisi padi dan teman-temannya.

Yaahh, saat ini aku bersyukur karena aku sempat punya banyak memori dengan sawah-sawah. Tapi, sedih juga kalo besok anakku gak bisa dapet memori dengan sawah. Sedih kalo mereka tidak punya memori heroik tentang petani tetapi hanya memori keprihatinan kehidupan petani.
Dan aku suka banget pemandangan ini. Pemandangan matahari terbenam yang bersinergi dengan tanaman dari sawah-sawah dibelakang rumah.
Ini indah dan aku harap masih ada banyak orang yang bisa melihatnya J
Taken by my lil bro J
uv


Selasa, 15 Januari 2013

Lebih mematikan yang mana?


Diangkatnya cerita ini ke blog adalah karena suatu sore yang mendung, bersama teman-teman mantengin orang-orang jogging di GSP.
Enggak penting? Emang, hahaha :D yang penting adalah kata-kata Indras!
“Besok aku mau ngajak Ashley-anjing seksinya, ke GSP ahh. Biar gayanya dari kenalan anjing bisa kenalan sama yang punya. Kaya FTV itu.”
Saat itu sih, kami berlima Cuma bisa ketawa-ketiwi aja. Kayanya hidup di FTV indah bener sih, semua singkat dan sangat membahagiakan.
Sebagai pembaca novel roman, dan manusia selo yang suka ngeliat FTV, muncul satu pertanyaan: “Lebih mematikan mana antara FTV sama novel roman?”
Temen-temenku itu, tau banget betapa aku punya dunia sendiri dari berbagai novel yang aku baca. Dan udah banyak orang yang bilang kalo novel itu manis banget, indah banget, dan bikin kita berharap dunia akan seindah itu. Baca novel bikin imajinasi kita akan “keindahan dunia” memang jadi berlebihan, kadang. Juga berharap hidup yang sangat sempurna, tanpa kesusahan berarti.
Yang indah-indah itu emang pengen banget bisa kita punya dikehidupan pribadi kita. Kita jadi berharap banget, dan semacam berpedoman agar cerita cinta kita semudah dan seindah novel juga FTV.
Aku tau banget kok, bagaimana “terjerus” dalam pikiran itu.
Waktu itu, rasanya aku gak bisa melihat cowok real yang seganteng dan sekeren apa yang aku bayangkan di novel. Jadi, aku “hidup” dengan pacar khayalan yang seakan nyata buatku. Bener-bener akan jejeritan sambil guling-guling kalo baca novel, hahaha :D dan susah guling-guling karena cowok beneran -______-
Kalo kita baca novel, kisah-cinta-gaya-romeo-juliet-modern tuh bisa dibilang jadi side story. Masih ada main story atau moral value yang bisa kita ambil. Kisah-cinta-gaya-romeo-juliet-modern itu adalah pemanis yang, diakui atau enggak emang terlalu menyita perhatian kita. Tapi, selalu ada moral value yang bisa kita ambil, selalu ada hal yang memang terasa sangat dekat dengan kehidupan kita.
Tapi, entah kenapa kalo kita liat FTV kayanya inti dari cerita yang bisa kita ambil adalah, “kamu bisa mendapatkan pasangan seganteng yang kamu mau dengan cara semudah yang saat kamu berkedip” juga “kebetulan itu sangaaaaaatt indah”!
Okee, FTV emang gak secethek itu. Dan walau aku merasa FTV hanya soal kebetulan yang indah dengan hidup yang juga indah,mudah,bahagia dan hubungan cintamu bisa berakhir bersama cowok ganteng yang kamu suka, toh aku juga tetep nonton FTV.
Sebagai manusia selo dan merasa bahwa ketidaklogisan FTV masih bisa ditolerir dibandingkan sinetron, jadi yaa nonton FTVnya tetep lanjut.
Aku menulis ini, hanya karena sebagai manusia yang punya “dunia dongeng” sendiri karena keseringan baca novel merasa kalo FTV lebih “mematikan”.
Lalu bagaimana denganmu? Apakah bisa menemukan hal lain yang lebih “mematikan” daripada dua hal itu?

Jumat, 04 Januari 2013

Sweet Quote :')


“Gue baru tau kenapa Tuhan menciptakan manusia tidak ada yang sempurna, itu karena Tuhan udah nyiptain manusia lain yang akan menjadi pasangan hidup kita untuk mngisi bagian yang tidak sempurna itu”
“Agar kita melebur jadi satu bagian yang gak terpisahkan, saling ngisi kekurangan satu sama lain. Sehingga menjadi sesuatu yang utuh. Yang benar-benar sempurna..”

♥ ♥ 

Vino  G. Bastian & Marsha Timothy