“Baru pertama kali ini Des, aku nemuin
kalo gunung itu macet! Aku kira itu Cuma di foto-foto aja. Tapi ternyata
beneran. Gek sampahnya
dimana-mana. Naik gunung bukan lagi jadi hobi untuk nyepi, Des. Tapi ada kebutuhan untuk berfoto di
tempat indah untuk dimasukkan Instagram.”
– Umarudin Wicaksono
Tiba-tiba
aku teringat penggalan cerita Umar disebuah kelas. Pembicaraan yang sudah sangat lama
sebenarnya. Saat itu, sedang marak pemberitaan seorang pendaki gunung yang
terjatuh ke kawah Gunung Merapi. Awalnya kami hanya membahas soal resiko dan safety dari aksi yang dilakukan, sampai obrolan
panjang kami berakhir pada gerutuan Umar karena tidak lagi bisa menikmati
gunung.
Cerita
Umar saat itu bukan untuk pertama kalinya aku dengar. Mas Girindra sebagai sesama
pecinta Gunung juga menyerah pada hasratnya ingin mendaki. Bukan apa-apa,
karena Umar dan Mas Girindra tidak lagi menemukan ‘euphoria’ dan keseruan saat naik gunung malah ngedumel dan emosi
sendiri. Yang mereka lihat bukan lagi ketenangan dan keindahan alam yang mereka
kagumi dengan lensa mata, namun gerombolan orang yang sibuk dengan lensa kamera
mereka. Menangkap apapun yang bisa mereka simpan dan bagikan dalam media sosial
mereka nantinya.
Beberapa
saat yang lalu memang, mendaki gunung menjadi sebuah kegiatan yang hits. Lebih tepatnya,
kegiatan apa pun yang bisa mencitrakan diri menjadi seorang traveler atau explorer. Yang menarik, mendaki gunung bukan lagi sebuah kegiatan ‘sakral’. Menjauh dari keramaian, menikmati
ketenangan sekaligus kebersamaan, menjaga hati dan ucapan, mensyukuri keindahan
dari Tuhan juga misi sosial dengan membersihkan sampah, tapi karena sebuah
komersialisasi like. Jika bersedia
mengingat agak mundur kebelakang, pada saat itu, memang sedang banyak-banyaknya
foto dari puncak gunung. Melihat gumpalan awan putih yang seperti kapas, sinar
matahari terbit yang memunculkan flare
syahdu atau pemandangan dari atas yang membuat segalanya menjadi kecil
menakjubkan. Saat itu, seperti kata Umar, semua berlomba-lomba ingin merasakan
pengalaman yang sama. Tunggu dulu belum selesai. Pengalaman yang sama, itu
berarti foto ditempat yang sama dan like
yang sama banyaknya saat mengunggah foto tersebut di media sosial. Aku dan Umar
lalu berakhir pada satu kesimpulan. Semangat mendaki gunung tidak lagi soal ‘melarikan
diri’ tapi soal mengabadikan momen dengan prospek like yang banyak.
Social media nowadays: viral and
hits.
Dengan aksesibilitas yang tinggi, anak muda bisa menciptakan sebuah kesempatan
ketenaran yang viral. Membentuk budayanya sendiri. Yang jika tidak hati-hati
malah akan menjerumuskan pada sebuah budaya dalam media yang terstrukturisasi
secara ekonomi. Apa bentuk ekonominya? Like!
Like menjadi sebuah harga yang sangat
tinggi. Membuat anak muda melakukan banyak cara agar cukup memiliki pride saat melihat akun Instagram yang menunjukkan tanda hati
dengan ratusan angka dibelakangnya. Like menjadi sebuah komponen yang
membiaskan dan memberi pemakluman pada sifat konsumtif anak muda. “Gak papa beli outdoor gear ratusan ribu, demi naik gunung. Kan aku
lagi hobi naik gunung.” Padahal, demi naik gunung, jika yang kamu cari
adalah fotonya, kamu tidak harus memiliki beragam outdoor gear kan? Dan yakinkan kamu bahwa naik gunung memang
benar-benar hobimu?
Pada
sebuah kelas terbuka di Februari 2010, Denis Dutton seorang filsuf seni
sekaligus editor Arts & Letters Daily
dalam TED Talk mencetuskan Teori
Kecantikan Darwinian. Dalam teori ini, sebuah kecantikan merupakan sebuah
ekspresi emosi dan perasaan yang terpengaruh oleh psikologis sesorang.
Menurutnya, kecantikan merupakan salah satu bentuk adaptasi dari teori Darwin. “Beauty is an
adaptive effect, which we extend and intensify in the creation and enjoyment of
works of art and entertainment.” Dalam dunia modern, ekspresi ini membantu
manusia menciptakan imanginary world
dalam dunia seni. Dalam kasus ini, anak muda membentuk sendiri konsep
kecantikan dalam imaginary world.
Menggunakan ranah seni fotografi, konsep kecantikan bukan lagi pengemasan
keindahan alam yang dibentuk dalam sebuah foto. Kecantikan ala anak muda
sekarang adalah mengejar prospek like
dengan sebuah keindahan dalam foto. Tujuan utama naik gunung adalah menikmati
hasilnya dalam sebuah foto dengan like
yang banyak. Budaya mengejar like
foto jalan-jalan ini juga berpengaruh dengan konsepsi cantik atau indah yang
ada pada anak muda. Dalam imaginary world
anak muda, enjoyment menikmati karya
seni dan hiburan tidak dilihat dari seni menangkap keindahan melalui foto,
namun menikmati sensasi memiliki banyak like
pada keindahan didalam foto.
Oke,
naik gunung memang tidak ada salahnya kok. Tapi coba pikirkan ulang alasanmu
dan tanyakan pada hatimu apakah kamu sudah benar-benar memahami konsep naik
gunung? Kalo sudah, bagaimana dengan sampah yang banyak di camp area? Atau bagaimana
dengan alat pemantau aktivitas gunung yang dengan iseng kamu mainkan? Mas
Girindra dan Umar bercerita bahwa hobi baru ini memang banyak membawa
keuntungan. Masyarakat sekitar punya lapangan pekerjaan baru. Namun, masyarakat
juga secara tidak langsung banyak ‘kerugian’ karena pendaki yang asal sasak
jalan atau merusak tanaman. Dan foto indah di gunung membawa tamparan baru. Karena
hobi ini adalah efek viral dari media sosial, aku mengingat sebuah kelas
sehari-semalamku bersama Ocean of Life
Indonesia.
Saat
itu, setelah susur pantai dan melihat banyaknya permasalahan pariwisata
dadakan, aku mengajukan sebuah pertanyaan. Bagaimanakah kita menyikapi potensi
wisata yang kita temui, bolehkah kita mengunggahnya ke media sosial? Mas
Bintang menjawab jika pariwisata yang berkelanjutan menekankan pada kebijakan
dan pertimbangan. Pantaskah wisata tersebut dipublikasikan? Sudah siapkan
manajemennya, sumber daya manusia yang akan mengelolanya? Jika belum, jangan
pernah mengunggahnya. Sekali tempat itu kotor dan rusak, akan susah
mengembalikannya seperti semula.
Lalu
bagaimana dengan hobi baru kamu itu? Apakah saat kamu naik gunung, mengunggah
foto apik dalam Instagram, Path atau media sosialmu yang lain,
tempat itu sudah siap untuk didatangi ratusan teman dalam lingkaran pertemanan
media sosialmu, dan teman-temannya temanmu? Dan apakah teman-temanmu sudah siap
menjaga tempat baru itu dengan tidak merusak, membuang sampah sembarangan? Kalo
belum, semangat mencari foto apik dengan prospek banyak like itu harus kamu tahan dulu.
Hobi
baru ini dan viralnya foto yang kamu unggah, tanpa disadari menggeser banyak
hal. Komersialisasi like, salah
satunya. Setelah kita sibuk dengan
mengabadikan momen dengan adanya diri kita dalam sebuah frame, like ini menggeser
sensasi itu. Mencari keindahan dititik tertinggi, pantai tersepi dan mendapatkan
sensasi foto yang apik dengan jumlah like
yang banyak. Setelah tidak cukup puas dengan mencuri momen dalam sebuah foto,
kita tidak lagi puas hanya dengan mencuri. Kepuasaan semakin tinggi dengan
banyaknya double tap yang diberikan. No one
ever satisfied with photo.
Oh
iya, sudah menjadi isu lama bila sesuatu
yang digemari di Indonesia ini hanya
soal waktu kan?
Lalu bagaimana kabar ransel
gunung 80 liter dan seputu gunung-mu itu? Semoga masih kamu beri banyak
perhatian yaaa~~ Dan semoga hasrat hobi barumu masih terpuaskan~~