Selasa, 02 Februari 2016

Like Untuk Foto Indah

“Baru pertama kali ini Des, aku nemuin kalo gunung itu macet! Aku kira itu Cuma di foto-foto aja. Tapi ternyata beneran. Gek sampahnya dimana-mana. Naik gunung bukan lagi jadi hobi untuk nyepi, Des. Tapi ada kebutuhan untuk berfoto di tempat indah untuk dimasukkan Instagram.” – Umarudin Wicaksono

Tiba-tiba aku teringat penggalan cerita Umar disebuah kelas. Pembicaraan yang sudah sangat lama sebenarnya. Saat itu, sedang marak pemberitaan seorang pendaki gunung yang terjatuh ke kawah Gunung Merapi. Awalnya kami hanya membahas soal resiko dan safety dari aksi yang dilakukan, sampai obrolan panjang kami berakhir pada gerutuan Umar karena tidak lagi bisa menikmati gunung.
Cerita Umar saat itu bukan untuk pertama kalinya aku dengar. Mas Girindra sebagai sesama pecinta Gunung juga menyerah pada hasratnya ingin mendaki. Bukan apa-apa, karena Umar dan Mas Girindra tidak lagi menemukan ‘euphoria’ dan keseruan saat naik gunung malah ngedumel dan emosi sendiri. Yang mereka lihat bukan lagi ketenangan dan keindahan alam yang mereka kagumi dengan lensa mata, namun gerombolan orang yang sibuk dengan lensa kamera mereka. Menangkap apapun yang bisa mereka simpan dan bagikan dalam media sosial mereka nantinya.
Beberapa saat yang lalu memang, mendaki gunung menjadi sebuah kegiatan yang hits. Lebih tepatnya, kegiatan apa pun yang bisa mencitrakan diri menjadi seorang traveler atau explorer. Yang menarik, mendaki gunung bukan lagi sebuah kegiatan ‘sakral’. Menjauh dari keramaian, menikmati ketenangan sekaligus kebersamaan, menjaga hati dan ucapan, mensyukuri keindahan dari Tuhan juga misi sosial dengan membersihkan sampah, tapi karena sebuah komersialisasi like. Jika bersedia mengingat agak mundur kebelakang, pada saat itu, memang sedang banyak-banyaknya foto dari puncak gunung. Melihat gumpalan awan putih yang seperti kapas, sinar matahari terbit yang memunculkan flare syahdu atau pemandangan dari atas yang membuat segalanya menjadi kecil menakjubkan. Saat itu, seperti kata Umar, semua berlomba-lomba ingin merasakan pengalaman yang sama. Tunggu dulu belum selesai. Pengalaman yang sama, itu berarti foto ditempat yang sama dan like yang sama banyaknya saat mengunggah foto tersebut di media sosial. Aku dan Umar lalu berakhir pada satu kesimpulan. Semangat mendaki gunung tidak lagi soal ‘melarikan diri’ tapi soal mengabadikan momen dengan prospek like yang banyak.
Social media nowadays: viral and hits. Dengan aksesibilitas yang tinggi, anak muda bisa menciptakan sebuah kesempatan ketenaran yang viral. Membentuk budayanya sendiri. Yang jika tidak hati-hati malah akan menjerumuskan pada sebuah budaya dalam media yang terstrukturisasi secara ekonomi. Apa bentuk ekonominya? Like! Like menjadi sebuah harga yang sangat tinggi. Membuat anak muda melakukan banyak cara agar cukup memiliki pride saat melihat akun Instagram yang menunjukkan tanda hati dengan ratusan angka dibelakangnya. Like menjadi sebuah komponen yang membiaskan dan memberi pemakluman pada sifat konsumtif anak muda. “Gak papa beli outdoor gear ratusan ribu, demi naik gunung. Kan aku lagi hobi naik gunung.” Padahal, demi naik gunung, jika yang kamu cari adalah fotonya, kamu tidak harus memiliki beragam outdoor gear kan? Dan yakinkan kamu bahwa naik gunung memang benar-benar hobimu?
Pada sebuah kelas terbuka di Februari 2010, Denis Dutton seorang filsuf seni sekaligus editor Arts & Letters Daily dalam TED Talk mencetuskan Teori Kecantikan Darwinian. Dalam teori ini, sebuah kecantikan merupakan sebuah ekspresi emosi dan perasaan yang terpengaruh oleh psikologis sesorang. Menurutnya, kecantikan merupakan salah satu bentuk adaptasi dari teori Darwin. “Beauty is an adaptive effect, which we extend and intensify in the creation and enjoyment of works of art and entertainment.” Dalam dunia modern, ekspresi ini membantu manusia menciptakan imanginary world dalam dunia seni. Dalam kasus ini, anak muda membentuk sendiri konsep kecantikan dalam imaginary world. Menggunakan ranah seni fotografi, konsep kecantikan bukan lagi pengemasan keindahan alam yang dibentuk dalam sebuah foto. Kecantikan ala anak muda sekarang adalah mengejar prospek like dengan sebuah keindahan dalam foto. Tujuan utama naik gunung adalah menikmati hasilnya dalam sebuah foto dengan like yang banyak. Budaya mengejar like foto jalan-jalan ini juga berpengaruh dengan konsepsi cantik atau indah yang ada pada anak muda. Dalam imaginary world anak muda, enjoyment menikmati karya seni dan hiburan tidak dilihat dari seni menangkap keindahan melalui foto, namun menikmati sensasi memiliki banyak like pada keindahan didalam foto.
Oke, naik gunung memang tidak ada salahnya kok. Tapi coba pikirkan ulang alasanmu dan tanyakan pada hatimu apakah kamu sudah benar-benar memahami konsep naik gunung? Kalo sudah, bagaimana dengan sampah yang banyak di camp area? Atau bagaimana dengan alat pemantau aktivitas gunung yang dengan iseng kamu mainkan? Mas Girindra dan Umar bercerita bahwa hobi baru ini memang banyak membawa keuntungan. Masyarakat sekitar punya lapangan pekerjaan baru. Namun, masyarakat juga secara tidak langsung banyak ‘kerugian’ karena pendaki yang asal sasak jalan atau merusak tanaman. Dan foto indah di gunung membawa tamparan baru. Karena hobi ini adalah efek viral dari media sosial, aku mengingat sebuah kelas sehari-semalamku bersama Ocean of Life Indonesia.
Saat itu, setelah susur pantai dan melihat banyaknya permasalahan pariwisata dadakan, aku mengajukan sebuah pertanyaan. Bagaimanakah kita menyikapi potensi wisata yang kita temui, bolehkah kita mengunggahnya ke media sosial? Mas Bintang menjawab jika pariwisata yang berkelanjutan menekankan pada kebijakan dan pertimbangan. Pantaskah wisata tersebut dipublikasikan? Sudah siapkan manajemennya, sumber daya manusia yang akan mengelolanya? Jika belum, jangan pernah mengunggahnya. Sekali tempat itu kotor dan rusak, akan susah mengembalikannya seperti semula.
Lalu bagaimana dengan hobi baru kamu itu? Apakah saat kamu naik gunung, mengunggah foto apik dalam Instagram, Path atau media sosialmu yang lain, tempat itu sudah siap untuk didatangi ratusan teman dalam lingkaran pertemanan media sosialmu, dan teman-temannya temanmu? Dan apakah teman-temanmu sudah siap menjaga tempat baru itu dengan tidak merusak, membuang sampah sembarangan? Kalo belum, semangat mencari foto apik dengan prospek banyak like itu harus kamu tahan dulu.
Hobi baru ini dan viralnya foto yang kamu unggah, tanpa disadari menggeser banyak hal. Komersialisasi like, salah satunya. Setelah kita sibuk dengan mengabadikan momen dengan adanya diri kita dalam sebuah frame, like ini menggeser sensasi itu. Mencari keindahan dititik tertinggi, pantai tersepi dan mendapatkan sensasi foto yang apik dengan jumlah like yang banyak. Setelah tidak cukup puas dengan mencuri momen dalam sebuah foto, kita tidak lagi puas hanya dengan mencuri. Kepuasaan semakin tinggi dengan banyaknya double tap yang diberikan. No one ever satisfied with photo.

Oh iya, sudah menjadi isu lama bila sesuatu yang digemari di Indonesia ini hanya soal waktu kan?

Lalu bagaimana kabar ransel gunung 80 liter dan seputu gunung-mu itu? Semoga masih kamu beri banyak perhatian yaaa~~ Dan semoga hasrat hobi barumu masih terpuaskan~~