Senin, 21 Juli 2014

Jawab Ini Dulu

Besok KPU akan mengeluarkan hasil rekapitulasi suara pilpres..
Aku mau bertanya sesuatu, siapakah kalian, yang mengaku warga Indonesia yang menuntut perubahan juga siapa untuk berubah? Terlepas dari pasangan nomer berapa yang terpilih. Terutama untuk pendukung atau yang memiliki kecenderungan mendukung pasangan tertentu untuk konsisten dengan visi dan misi yang diusung calonnya?

Salah satu pasangan mengusung soal pembenahan mental Indonesia dan aku mempunyai teman yang sangat membanggakan visi dan misi ini. Sayangnya, saat kami jalan-jalan bersama menaiki sebuah motor, ia menerobos lampu merah karena jalan yang nanggung jika tidak “belok kiri jalan terus.” Sudah ada instruksi, namun dia tetap berbelok. Nanggung katanya kalo enggak belok. Seperti inikah semangat dan bentuk konsistensi kita pada visi dan misi untuk merubah mental orang Indonesia?
Kasarnya, saat harus menaati tata tertib berlalu lintas yang in case untuk keselamatan kita saja kita masih punya seribu alasan, apalagi untuk memperbaiki hal besar seperti korupsi atau KKN yang membawa hajat hidup orang banyak?

Siapkah kita untuk berubah? Dan mampukah kita untuk melawan diri kita sendiri untuk melakukan perubahan yang lebih baik?
Siapapun presiden terpilih, lupakan soal polemik dan permasalahan didalamnya, yang akan menjalankan visi dan misinya adalah kita jutaan manusia di Indonesia. Kita terlibat langsung didalamnya. Maukah kita menjalankan ini? Selama lima tahun? Setelah selama sebulan kemarin kita habis-habisan mendukung dan menyakini visi-misi pasangan jagoan kita?

Mari jawab ini dulu sebelum kita meributkan rekapitulasi KPU dan hasil yang akan diumumkan besok.

Minggu, 20 Juli 2014

Mengusahakan Axel


Kemarin aku membuat seorang anak menangis. Hmm, tepatnya, masih mewek sih.
Axel, semoga benar nulisnya, adalah anak dari kakak sepupu aku. Dia susaaaah sekali dekat dengan orang baru. Bahkan, aku dibuatnya berusaha habis-habisan untuk mendapatkan hatinya. Harus pake jurus merayu dengan jelly dan ayunan dulu sampai dia mau bersamaku.
Untungnya, Tuhan baik. Bocah kecil ini mau menghabiskan banyak waktu bersamaku. Bahkan, saat bersamanya, bila aku diam-diam menjauh darinya, dia akan mengejarku. Aduuuhh itu bikin terharu, hehe usahaku tidak sia-sia ternyata. Aku berhasil membuat dia nempeeeell sama aku.
Hingga akhirnya, aku melihat wajah sedih dia saat Ayahnya mengajaknya pulang. Bahkan, dia gak mau aku ajak tos. Melihatnya menatapku seperti itu, sedih seakan tidak mau pulang, membuatku ikut sedih.

Hanya sebentar inikah kebersamaan kita Axel? Semoga aku tidak membuatmu patah hati. Semoga saat kita bertemu, kamu tidak membuatku berusaha habis-habisan lagi untuk mendapatkanmu.

Permintaan Tinggi Hati

“Liat nih Dek, Mbak yang lebih gede malah minta digendong. Gak papa ya? Kan Mbak lagi sakit.”
-Ayah, kepada adikku saat aku sakit, belasan tahun yang lalu-


Kalimat itu adalah kalimat pelengkap dari sebuah momen kedekatanku dengan Ayah. Yang masih teringat hingga saat ini.
Waktu itu aku sedang sakit, malas ke sekolah. Dan Ayah, saat itu, adalah pahlawanku. Ayah adalah sosok paling lembut dan kuat yang mampu menjagaku. Tubuh tingginya menggendongku sekaligus menjaga adikku yang masih harus selalu diawasi. Adik saat itu juga merengek minta digendong dan kalimat itu adalah gurauan yang dikeluarkan dari mulut Ayah.
Saat itu, aku hanya bis bergelung manja dalam dekapan Ayah. Menyembunyikan kepalaku pada lekukan hangat leher Ayah. Mencari ketenangan dan perlindungan disana. Aku tidak peduli pada adik yang merengek iri ingin digendong. Saat itu, Ayah hanya milikku. Saat itu, Ayah adalah sosok yang masih belum rela aku bagi.

Kenangan belasan tahun lalu itu menjadi sebuah kenangan, yang membekas dan paling bertahan ditengah begitu banyak momen perselisihan yang pernah terjadi denganku dan Ayah. Kemarin, saat pernikahan sepupuku, melihat Ayah menangis haru karena keponakannya yang bersujud meminta restu pada orang tuanya menyadarkanku. Tiba-tiba aku merindukan sosok kuat dan tangguh yang dulu menjadi sandaranku. Tiba-tiba aku ingin kembali memeluknya, kembali bersembunyi lekukan lehernya. Mencari perlindungan disana.
Sekelebat kalimat itu menyadarkanku, bahwa momen itu mungkin menjadi momen terakhir dimana aku dekat dan masih bersandar padanya. Momen, yang teringat, dimana aku sudah tidak pernah lagi menyentuhnya atau merengek manja meminta perlindungannya.

Time flies, Ayah. Waktu membuatku keras kepala dan banyak berselisih paham denganmu. Waktu juga berjalan cepat, membuatku menyadari bahwa aku sudah tidak pernah lagi berlari padamu. Bermanja padamu pun sepertinya sudah tidak lagi.

Waktu berjalan cepat, Ayah. Aku rindu saat itu, saat dimana aku masih polos dan bersedia bersandar padamu. Menggantungkan seluruh diriku padamu. Ayah, aku masih terlalu tinggi hati untuk meminta permohonan ini. Memintamu kembali memelukku. Bolehkah aku memintanya? Suatu saat, diwaktu aku siap?

Sabtu, 19 Juli 2014

Patah Hati Yang Pertama

Sebelum jatuh cinta dan cinta mati sama Bhebe, aku pernah punya anjing bernama Ucil.
Aku enggak tau gimana ceritanya bisa punya Ucil. Pokoknya, tau-tau begitu pulang sekolah udah ada anjing kecil nangkring di depan rumah. Sejak itu, secara sepihak aku mengakui bahwa anjing itu adalah punyaku dan aku beri nama Ucil. Aku eggak punya banyak pengalaman memelihar anjing, yang jelas aku sayang sama dia dan sering main bersama. Setiap pulang sekolah yang aku cari adalah Ucil.
Sampai suatu hari, aku lupa pastinya berapa lama memelihara Ucil, aku tidak bisa menemukan Ucil dimana pun. Biasanya pulang sekolah aku bisa dengan mudah menemukannya. Karena kehilangan si Ucil, aku bertanya pada Bunda dimana Ucil. Kata Bunda aku suruh tanya Om dan kata Om Ucil sedang main. Percayalah aku kalo Ucil sedang main dan pasti akan kembali. Namun, aku tunggu-tunggu sekian lama, Ucil tidak pernah kembali. Aku bertanya lagi pada Bunda, dan Bunda masih memberikan jawaban yang sama. Karena tidak sabar akhirnya aku memaksa Om.
Jawabannya cukup membuat syok.
Om menyuruhku bertanya pada supir bis yang dimiliki keluargaku kala itu. Kata beliau, Ucil sudah jadi tongseng. Oh maaaaii, aku enggak tau maksudnya Ucil jadi tongseng kala itu. Lalu setelah bertanya dan dijelaskan banyak orang, barulah aku paham Ucil pergi kemana..

Rasanya kala itu itu, sakiiiiiittt. Patah hati dan sakitnya tepat banget didada akuuuu~

Jumat, 18 Juli 2014

Begini Rasanya?

Jadi begini rasanya?
Nyesek karena merasakan dua perasaan yang berlawanan dalam satu waktu? Tertawa lalu dibarengi rasa sedih yang datang.
Jadi begini rasanya?
Kehilangan teman bicara, melawan dinginnya hari? Kehilangan bahu untuk bersandar juga tangan untuk digenggam?
Jadi begini rasanya?
Merasakan letupan euphoria lalu rindu yang menggebu dalam satu waktu? Senang karena bertemu lalu dihantam rindu walau baru sebentar mengucap selamat malam?

Jadi begini rasanya.. Seperti ini.. 

Ketagihan Fly Over

Di deket rumah, tepatnya didaerah Jombor dibangun sebuah fly over. Fly overini belum lama dioperasikan, bahkan sepertinya belum diresmikan.
Aku tidak begitu suka melewati fly over. Entahlah. Aku terlalu parno karena ada kemungkinan jatuh kebawah. Membayangkannya sangat mengerikan. Itu yang membuat aku memilih melewati jalan memutar ketimbang melewati fly over. Beneran. Aku selalu parno. Adik dan Bunda sampai harus memaksaku untuk melewati fly over, kata adikku “kali-kali nyoba, Mbak.”
Dan tiba-tiba sekarang aku ketagihan~~ hahahaha
Ketagihanku ini berawal dari Senin kemarin. Saat mengantarkan Vincent, adiku, ke sekolahnya, mau gak mau aku memang harus melewati fly over untuk jalan pulang. Terpaksa yaa ini terpaksa. Gak mau kejebak macet di jalan bawah.
Saat melewati fly over itu aku melihat pemandangan paling indah. Membuat mataku yang sedikit mengantuk langsung terbuka lebar dan menghilangkan rasa dingin yang membuat ingin segera sampai rumah. Langit yang biru bersih, lalu ada Gunung Merapi yang tinggi menjulang di sebelah utara dengan Gunung Merbabu mendampingi dibelakangnya. Di Barat Laut juga ada sebuah gunung yang tidak aku ketahui namanya.

Oh Tuhaaaaaann, itu indah sekali. Indah pake banget! Fiks maksimal.
Merapi, Merbabu terlihat sangat jelas. Aku bisa melihat Merapi dari puncak yang mengeluarkan asap tipis hingga kaki gunungnya yang besar dan memanjang. Merapi terlihat sangat gagah hingga aku ingin memeluknya. Gunung lain yang tidak aku ketahui namanya pun terlihat dengan dengan jangkauan tanganku.
Selain pemandangan pagi hari, malam ini saat melewati fly over, aku juga bisa melihat kerlip lampu di kaki Gunung Merapi. Seperti kota mainan atau perhiasan di kaki langit. Indaaaaahh sekali. Rasanya aku ingin mengambilnya.

Aaaaaaaakk! Pokoknya fiks, aku ketagihan fly over. Aaaaakk!

Bersembunyi Dibalik....

Salah satu sifatku saat kecil adalah iseng. Dan ada banyak kekacauan yang pernah aku lakukan karena keisenganku.
Waktu kecil, Bunda masih tinggal satu rumah dengan 2 adik lelakinya. Saat itu, salah satunya sudah mempunyai istri. Aku cukup dekat dengan kedua om-ku, walau ada salah satu om yang agak galak. Dan suatu ketika aku harus berurusan dengan om yang galak ini, hehehe
Saat itu, Om punya sebuah teko lucu dengan motif sapi juga berbentuk seperti sapi. Itu adalah salah satu barang yang dimiliki Om yang paling aku suka. Suatu ketika, dengan niat isengku, aku mengendap-endap, ingin mengagetkan Om dan Tante. Rumahku kala itu punya banyak jendela, bahkan hampir setiap kamar ada jendelanya. Dari jendela kamar itulah aku ingin mengagetkan Om dan Tante.
Aku bersembunyi dibalik gorden, menunggu saat yang tepat untuk menyibakkannya. Agak lama Om dan Tante tidak keliatan dari tempat persembunyianku. Akhirnya, aku menyibakkan gordennya lebih luas, megulurkan tanganku masuk melalui celah jendela. Lalainya, aku tidak sengaja menyenggol teko sapi. Praaaang! Jatuhlah ke lantai.
Karena panik, aku segera berlari menuju kamar dan pura-pura tidur. Bergelung dalam selimutku, menutup mukaku agar tidak keliatan. Tak lama, suara derap kaki tante memasuki kamarku. Membangunkanku dan tidak percaya bahwa aku tidur. Dipaksanya aku agar bangkit dari tidurku. Kebebalankulah yang menang. Membuat Tante kembali berjalan keluar, berhenti membangunkanku.

Aku sangat mengingat momen itu.
Selain karena merusak barang yang aku sukai, aku juga semakin takut pada Om dan Tante karena kejadian itu. Aku menyukai si teko sapi. Sering merengek agar aku bisa memilikinya. Namun, aku malah memecahkannya. Memupuskan keinginan memiliki teko lucu. Ditambah lagi, aku jadi semakin takut pada Om dan Tante yang memang memiliki watak cenderung keras dan tegas. Aku jadi sering segan dan tidak begitu dekat dengan mereka lagi. Aku terlalu takut, bahkan hingga saat ini.

Awalnya aku ingin memberi kejutan dan tawa riuh dari persembunyianku di balik gorden kamar, namun yang terjadi aku malah bersembunyi dibalik selimut karena ketakutan dan merasa bersalah.

Kamis, 17 Juli 2014

Kembaran

“Dulu to Mbak, aku sama Mbak Desti itu apa-apa kembaran. Dari baju sampe sepatu. Kalo enggak kembaran suka nggak mau. Tapi sekarang gaya banget, kalo kembaran terus gak mau.”

-Dian kepada Clara, saat memilih sepatu, 16 Juli 2014-

Rabu, 16 Juli 2014

Saran Menikmati Dingin Malam Ini

Beberapa hari ini, Tuhan seperti menyalakan AC semesta. Tiba-tiba saja, Jogja menjadi super dingin. Matahari enggan muncul selama 2 hari terakhir. Dan hujan menggantikan sinar matahari. Hal ini membuatku juga banyak yang lain merutuk. Seketika merindukan sinar matahari dan cuaca cerah khas daerah tropis.
Keadaan ini membuat kita malas untuk beranjak dari selimut. Bergelung dan mencari kehangatan didalamnya. begitu juga dengan malam ini. Dingin masih enggan untuk beranjak. Namun, cobalah untuk keluar dari kehangatan itu. Beranikanlah diri merasakan dingin yang sedikit menggerogoti tulang. Sempatkan diri untuk menengadahkan kepalamu.


Lihatlah ada banyak titik-titik sinar bintang. Bersinar malu-malu namun indah diantara pekatnya malam. Juga sinar rembulan yang beranjak penuh dengan sinar lembutnya. Sempatkan diri untuk melihat keindahan langit malam kali ini. Aku rasa, bintang dan bulan kali ini bisa membayar rasa dingin yang belum mau pergi. Aku rasa, keindahan langit malam itu bisa menemanimu menikmati kedinginan hari ini. Aku rasa, saran ini bisa sedikit membuatmu berhenti sejenak merutuki semesta yang sedang ingin menguji kita.

Gendong

“Liat nih Dek, Mbak yang lebih gede malah minta digendong. Gak papa ya? Kan Mbak lagi sakit.”

-Ayah, kepada adikku saat aku sakit, belasan tahun yang lalu-

Selasa, 15 Juli 2014

Gegara Kartu Ucapan

Ini salah satu hal konyol yang pernah aku lakukan di masa kecil. Didasari oleh sebuah perasaan bernama cemburu...
Waktu itu, adek aku, Dian, berulang tahun entah yang keberapa. Pokoknya, dirayakan dengan sebuah pesta ulang tahun. Kecil-kecilan gitu, Cuma ngundang temen-temen di dusun tempat tinggal. Waktu itu, Dian dapet lumayan banyak hadiah. Karena banyak, jadi aku bantuin bukain kado. Nah pada salah satu kado, aku menemukan sebuah kartu ucapan. Isi dari kartu ucapan itu membuat aku marah dan mutung sama Dian, hahahaha
Kurang lebih, isi kartu itu berisi tentang jadilah anak yang baik dan rajin, jangan lupa belajar dan semoga menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa. Klise kan? Tapi ada satu kata yang bikin aku cemburu luar biasa. Dalam kartu itu tertulis “semoga Mbak Dian semakin cantik.”

Cantiknya itu meeeenn yang bikin aku mutung sama Dian. Bukan karena banyakan kadonya Dian.
Karena seumur-umur aku gak pernah dapet ucapan ulang tahun yang isinya “semoga tambah cantik” jadi aku marah. Aduuuuhh, berhubung dari kecil udah bakat mendes, marahlah yaa aku kalo ternyata ada yang lebih cantik dari aku. Jadi selama beberapa hari aku cuek sama Dian hingga akhirnya aku protes. “Bunda, kok aku gak pernah dapet ucapan kaya Dian sih? Gak pernah ada yang ngucapin semoga aku semakin cantik!” Aku lupa Bunda jawab kaya gimana, yang pasti sejak itu aku mulai melupakan surat ucapan itu.

Toh, aku menemukan kata lain yang lebih unyu. Mbak aku bilang kalo aku manis. Kyaaaaaaa, aku seneng deh dan udah gak mau lagi dibilang cantik. Soalnya manis terasa lebih unyu, umumumumu~


Senin, 14 Juli 2014

Saat Kamu Memiliki Uang

Beberapa hari ini, karena liburan aku bokek. Enggak dikasih uang saku sama Bunda dan enggak minta juga karena enggak bakal kemana-mana.
Lalu hari ini aku belanja. Dipegangin uang yang cukup banyak. Cukup bisa untuk foya-foya. Cukup untuk belanja apa aja.
Tapi hari ini Tuhan menegurku. Memperlihatkan seorang bapak yang sedang mengepak brem jualannya yang masih banyak. Menantangku untuk berbagi dengannya. Menantangku untuk menunjukkan seberapa besar aku akan peduli pada orang disekitarku.
Aku menghampirinya, mengingat bahwa Vincent suka makan brem. Aku ingin membelinya. Satu bungkus tujuh ribu lima ratus rupiah. Kata bapaknya, “Saged kirang, Mbak-bisa kurang harganya, Mbak.”
Aku tidak berniat mengurangi harganya dan menyerahkan uang sepuluh ribu rupiah. Bapak itu meminta tambah dua ribu rupiah, aku pikir agar memudahkan kembalian. Tapi bapak itu memasukkan 2 plastik brem dengan total 12.000 rupiah. Aku dan adik sudah berjalan menjauh namun mengingat bahwa aku hanya menyerahkan 12.000 yang seharusnya berharga 15.000.
Aku kembali untuk bertanya. “Bapak, saya Cuma memberi 12.000, apa itu cukup?”
Bapak hanya menjawab, “Benar kok, Mbak. Memang saya hargai segitu.”
Dan aku hanya bisa menjawab terima kasih.


Mempunyai uang itu ternyata cukup menyakitkan. Mengingat ada yang lebih membutuhkan namun berani memotong sebuah harga dan merasa segitu sudah cukup sedangkan masih banyak yang tidak pernah merasa cukup dan mencari lagi. Mempunyai uang ternyata tidak semudah itu. Saat kamu memiliki lebih, ingin mencoba berbagi dan ternyata masih ada orang yang lebih berbesar hati untuk memberi. Bagiku, dengan uang yang Bunda berikan hari ini, tidak serta merta membawa kebahagian seperti yang dibayangkan.

Kalo Gede Mau Jadi Apa?

“Susan, Susan, Susan, kalo gede mau jadi apa?
Aku kepingin pinter, biar bisa jadi dokter.”


Ada yang masih ingat lagu ini?
Lagu yang dinyanyikan Kak Ria dan Susan si boneka yang enggak gede-gede itu sering aku dengarkan saat kecil.
Nah, lagu itu juga bisa diganti liriknya sesuai impian masa kecil kita. Kalo buat aku nih, Desti, liriknya jadi begini:
“Desti, Desti, Desti, kalo gede mau jadi apa?
Aku pingin jadi manten, biar pake gaun cantik.”

Okee sip! Itulah cita-cita masa kecil aku.
Yang masih sering jadi ledekan Bunda sampai aku segede gini. Dulu aku memang punya cita-cita itu. Kata Bunda, aku selalu menjawab itu setiap ada yang bertanya cita-citaku. Kalo ditanya alasannya jawaban aku karena aku pingin pake gaun dan didandani cantik.
Yak, dan alhasil aku sukaaaa banget ngaca dan pake gaun cantik!
Sampe ada satu ruang yang jadi kamar ganti yang berisi beberapa lemari tempat baju orang serumah. Sehabis sekolah aku sering bermain sendiri disana, berkaca berpindah-pindah dari lemari satu ke yang lainnya. Udah gitu suka beli dress cantik yang mengembang gitu, itu lhooo yang mekrukdan kalo aku muter bisa membesar dan terbuka. Sampai kelas 5 SD sepertinya aku masih punya gaun seperti itu. Oh iya, aku bahkan suka main baju Bunda untuk aku coba pakai. Aku suka dandan-dandanan. Pake selendang atau apa aja, dililitkan ke badan dan aku reka menjadi sebuah gaun. Enggak Cuma bergaya Eropa, aku juga penganut gaya India gituuuu. Suka sok-sokan jadi manten India yang pake sari gitu, yang roknya panjang-panjang, kalo muter bisa wah banget dan selendang panjang menutupi kepala.

Oke sip! Ternyata dari kecil aku sudah bakat mendes. Okeee~

Dan aku masih tetap bercita-cita jadi manten, yes! Hahahaha

Rabu, 09 Juli 2014

Did I?

“Did I ever say that I love you?”

Akhir-akhir ini, aku lagi sering menanyakan ini.
Tiba-tiba aku ragu dan tidak yakin bahwa semua orang yang aku sayang tidak mengetahui betapa aku mencintai mereka.

Hal ini berawal dari sebuah kunjungan singkatku dan Bunda saat menengok saudara.
Saudaraku itu sakit jantung, sudah akut. Terpaksa sering lepas-pakai masker oksigen dan keluar-masuk rumah sakit. Saudaraku itu dulu yang mengasuh aku. Menemaniku dan adik-adik saat Ayah dan Bunda bekerja.
Aku khawatir, seorang yang dulu menjagaku sekarang bisa begitu lemah dan terbaring di rumah sakit. Saat itu, aku menatap Bunda. Aku tidak ingin terlambat, aku tidak ingin tiba-tiba menyadari Bunda yang ada di ranjang itu. Tanpa sempat mengucapkan betapa aku mencintainya.
Itu sebabnya aku langsung menanyakan pertanyaan ini begitu keluar dari ruangan. Dan aku langsung menanyakan ini kepada beberapa orang lain. Aku merasa perlu memastikan semua orang tahu aku mencintai mereka.

Did, I ever say that I love you?
Kalo sudah, ijinkan aku mengucapkan ini lagi. I Love you. All of you..
Dan kalo belum, maafkan aku karena belum mengutarakannya, saat ini aku akan mengucapkannya. I love you. All of you..

Selamat pagi semua, semoga ucapan cinta ini bisa memberi semangat buat kalian. Siapapun yang membaca ini. Yang mengenalku dengan baik, hanya sekedar mengetahuiku atau tidak mengenalku.

I Love you~~

Sabtu, 05 Juli 2014

Apa Adanya

“Jangan cintai aku apa adanya, jangan. Tuntutlah sesuatu agar kita jalan kedepan.”
-Tulus, Jangan Cintai Aku Apa Adanya-



Aku lagi suka banget mendengarkan lagu ini.
Hampir tiap malem aku jadiin lagu pertama yang kuputar untuk teman tidur. Rasanya magic aja mendengarkan lagu ini.

Lagu ini membawa konsep yang 180 derajat berbeda dari yang biasa kita tahu. Kita diajak untuk mencintai seseorang apa adanya. Menerima dengan iklas keadaan dan hal yang dimiliki orang tersebut. Belajar menerima dan mencintai apa adanya.

Namun, Tulus mengubah konsep itu.
Tulus tidak mau dicintai apa adanya. Tulus lebih mau orang yang dicintainya itu menuntutnya, menuntutnya agar menjadi lebih baik dan bisa berjalan kedepan.

Buat aku, permintaan Tulus ini realistis juga manis. Ia tidak memaksa kita untuk mencintai apa adanya, ia merasa bahwa sebuah tuntutan juga ada baiknya. Ini realistis bukan? Mencintai apa adanya tidak semudah itu dilakukan, sebuah tuntutan tidak bisa dihindarkan. Hanya saja, sebuah tuntutan ini menjadi manis karena Tulus mengajak kita menjalani tuntutan itu bersama. Agar bisa jalan ke depan.

Saat

"Saat dulu aku pernah sakit karena mencintaimu tanpa persiapan, suatu saat aku bisa mencintaimu tanpa banyak berharap dan tanpa menyakitiku lagi.."
- Desti, 4 Juli 2014. Sebuah pesan untuk teman -

What If

"What if, what if.. Kan itu yang paling menyenangkan yaa berkata kalau saja."
- Najwa Shihab, Hitam Putih -