Rabu, 23 September 2015

Remind Me Of....

This novel remind me of you, Mas.

Aku berhenti lama pada bab 2.
Menyadari bahwa sampai bab 2 sudah banyak hal dalam novel ini menceritakan hal yang sama dengan yang aku rasakan. Ya, walau bisa jadi bab selanjutnya tidak serta merta bercerita soal permasalahan yang sama. Yang pasti, banyak bagian dari 2 bab itu dekat denganku. Bercerita tentangmu dan semua kerisauanku. Buruknya, juga bisa soal kehidupan kita berdua besok. Seperti aku yang masih berhenti membaca novel itu, tulisan tentang kamu dan kerisauanku juga berhenti. Seperti 2 file tulisan yang hanya berhenti dengan menjadi draft.

Novel itu bercerita soal kesulitan dalam hubungan pria dan wanita dalam kehidupan pernikahan mereka. Menghadapi banyak permasalahan, berusaha menyelesaikannya dan harus bernegosiasi dengan jarak yang nyata memisahkan. Dan, tahukah bahwa pekerjaan si pria sebagai offshore operation engineer? Iya, bekerja di sumur bor lepas pantai. Bekerja dengan waktu kerja 5/5. Bahkan tanpa membaca penjelasannya aku sudah tau. Hapal luar kepala. Si pria akan pergi bekerja selama 5 minggu, di lepas pantai dan memiliki waktu libur 5 minggu. Sounds good right? 5 minggu untuk bersenang-senang.
Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya ada soal melepaskanmu lagi dan lagi untuk pergi beberapa lama setelah waktu libur itu selesai.

Oke, pekerjaanmu memang tidak seperti si pria yang harus bekerja dilepas pantai, tapi sebagai geologist kamu melakukan kegiatan yang bahkan lebih ekstrem. Sudah berapa kali ceritamu berakhir dengan kalimat, "untung waktu itu aku gak mati, Dek." Aku juga beruntung, Mas. Beruntung waktu aku mendengarkanmu cerita jantungku tidak berhenti berdetak karena kaget walau kamu bercerita sambil tertawa. Sudah berapa banyak cerita nyaris matimu itu, Mas?
Digigit kelabang putih, disengat lebah tambuan, bertemu macan dihutan, atau hal mistis seperti nyaris mati diguna-guna kepala suku atau karena salah mengolah hasil buruan yang memiliki pantangan. Terlebih lagi kamu suka mendaki gunung lalu sekarang bekerja untuk kebencanaan. Keluar masuk hutan, membuat jalan baru didalam hutan yang belum pernah dilewati, naik hingga puncak gunung untuk memasang alat. Aku ingat pernah membaca sebuah blog dimana, seorang wanita bercerita soal kehilangannya karena pacarnya, yang kebetulan juga geologist, meninggal. Memang bukan karena dimakan harimau, tapi ia meninggal dalam kecelakaan pesawat yang membawanya ke tempat yang cukup sulit dijangkau. Lalu siaran televisi soal pendaki gunung yang hilang. Semua menambah kerisauanku. Oh lihatlah, aku adalah mahasiswi komunikasi yang bahkan tidak bisa meliterasi dirinya sendiri dari membaca atau menonton media karena takut kehilanganmu.
Jika dalam novel yang belum selesai aku baca itu, memunculkan rasa kosong karena 'membiarkan' permasalahan tidak terselesaikan dengan baik. Waktu dan jarak yang mengurangi waktu bersama dari para tokoh. Kosong? Mungkin ada. Kosong karena seluruh perasaan mati sekejap, hanya meninggalkan cemas yang berusaha disembunyikan rapat-rapat. Hatiku terlalu dipenuhi rasa cemas saat kamu menjalani angka pertama sebelum garis miring itu. Jangan tanyakan apakah aku percaya padamu atau tidak. Aku percaya, aku tau bahwa kamu tidak mungkin melakukan hal yang tidak baik selama kamu pergi. Tapi soal cemas, tidak bisa begitu saja hilang bukan? Aku cemas karena harus menjalani hari tanpamu, tanpa kabar yang jelas darimu. Ya Tuhan, aku jadi ingat ceritamu dulu. Kamu bercerita bahwa kamu dan teman-temanmu mengenal baik resiko pekerjaanmu. Yang membuat kamu selektif memilih dari banyaknya wanita yang mengejarmu. "Kami harus siap, Dek. Begitu juga pasangan kami jika suatu saat kami tidak pulang."
Lupakan soal banyak waktu penting yang harus kita lalui terpisah. Biar aku belajar memasang bola lampu sendiri, membayar pajak kendaraan atau mendatangi bengkel untuk service rutin kendaraan. Biar aku yang mengajarkan banyak hal pada anak kita, merekam setiap hal kecil dari anak kita untuk aku ceritakan lagi padamu dan terus menyebut namamu setiap hari agar dia bisa mengucapkankan kata 'Ayah' dengan lancar. Aku cemas karena itu. Resiko yang katamu sudah kamu dan teman-teman siapkan matang-matang saat belajar dulu. Aku tau resikomu. Hanya saja, butuh waktu yang lama hingga aku siap jika harus berada di posisi itu.

Lalu seperti saat kamu bercerita bahwa kamu sedang menjalani hubungan yang serius denganku, aku hanya meminta satu padamu. Dari sekian banyak kemungkinan dan cerita nyaris matimu itu, simpan satu nyawamu untukku. Simpan satu saja untukku.



I'm here, Nya. I'm here. Until you realize that I've here eventhough I am not here. - Aldebaran Risjad, Critical Eleven karya Ika Natassa.

Senin, 07 September 2015

Terlambat

Aku pernah merasa sangat terlambat….
Lagi-lagi menyesali keterlambatan yang fatal.

Akhir-akhir ini aku sangat risau. Risau yang membuatku malah tidak bisa memutar cerita selama dua bulan yang aku jalani.
Semua media sosialku dipenuhi teman-temanku yang berbagi cerita mereka, pada ‘tempat pelarian’ mereka. Entah kemana ceritaku selama 60 hari itu. Apakah mungkin aku tidak bisa membuat cerita seindah dan seapik teman-temanku? Atau aku yang terlalu dingin menjalani 60 hariku itu?
Semakin lama aku berpikir sambil melihat kiriman teman-temanku itu, semakin sesak rasanya dadaku.

Sejujurnya, aku kehilangan separuh hatiku pada kepolosan anak-anak Lereng Merapi bagian barat. Waktu itu, aku menjalani sebuah program penanggulangan resiko bencana berbasis sekolah di daerah Magelang. Selepas melewati program itu, aku tidak henti merindukan mereka. Aku selalu teringat antusiasme dan semangat mereka. Aku selalu mengingat mereka. Aku jatuh cinta pada anak-anaknya, juga mulai jatuh cinta pada kebencanaan.

Sedikit kehilangan hati, lalu dengan ‘egois’ aku memilih untuk menjalaninya lagi. Memilih tema pelarian yang sama, kebencanaan. Saat itu, aku datang dengan hati yang sedikit kosong. Mampukah aku menjalani hari-hariku disini? Dengan bayang-bayang wajah polos itu?
Aku sempat berucap. Aku tidak ingin terlalu dekat dengan anak-anak disini. Aku tidak ingin jatuh cinta lagi dengan mereka. Aku akan menjaga jarak. Aku akan berusaha untuk menjaga hatiku.

Tapi apalah daya, Tuhan menginginkan aku jatuh cinta lagi.
Tuhan ingin aku membuat cerita yang lebih banyak lagi di Lereng Merapi. Tanpa sadar, anak-anak nakal yang biasa tidak mau diatur itu, mulai melunak. Mereka semakin senang menempel dan memberikan tebakan-tebakan lucu. Mereka bahkan dengan antusias mengikuti kegiatan. Mereka bersorak saat bosan, namun mengerjakan banyak tugas dengan tekun.
Sampai suatu ketika, mereka benar-benar mencuri hatiku bersamaan dengan 60 hari yang mendekati ujungnya.

Kenapa anak-anak itu baru menurut sekarang? Saat kita sudah akan selesai program? Besok kita harus kesini lagi ya, ujar temanku.
Tapi kapan, kalian habis ini pada sibuk semua, sahut temanku yang lain.
Aku akan kesini. Aku akan kesini lagi. Aku tidak ingin terlambat lagi. Karena aku sudah tahu apa rasanya terlambat, jawabku tegas.

Aku tau rasanya terlambat. Benar-benar terlambat.
Aku pernah menangis tanpa henti suatu malam. Saat aku menyadari bahwa aku sudah terlalu jatuh cinta pada Lereng Merapi tempat aku berpijak saat itu, namun tetap merindu pada sisi Lereng Merapi yang lain. Aku menangis sesenggukkan karena mengingat sudah dua tahun berlalu dari kegiatan itu. Bahwa sudah dua tahun berlalu, dengan rindu yang selalu menghimpit namun tidak kunjung disembuhkan. Aku ingat bahwa dua tahun waktu yang cukup untuk membuat anak-anak polos itu lulus dari SD. Lalu dimanakah mereka bersekolah saat ini? Kemana aku bisa mencari mereka lagi? Dimana?
Pertanyaan-pertanyaan dan rindu itu yang hingga kini membuatku resah.

Inginku bukan lagi sekedar ingin datang ke tempat itu dan membuat cerita yang sama menyenangkannya. Inginku hanya satu, jangan sampai aku terlambat lagi. Jangan sampai aku terlambat menyembuhkan lukaku dan menyadari bahwa waktu sudah berjalan cukup lama. Jangan sampai aku terlambat menyadari, bahwa waktu sudah membuat beberapa hal berubah dan membuatmu kesulitan untuk menyembuhkan rindumu.


Salam sayang untukmu, anak-anak polos penuh kehangatan di Lereng Merapi. Aku merindukan kalian.

Rabu, 01 Juli 2015

1 Juli

Halo 1 Juli!
Akhirnya harus bertemu denganmu. Dan akhirnya harus menghadapi semuanya sekarang.
Tidak ada lagi waktu untuk mengelak. Mau tidak mau, siap tidak siap. Semua harus dihadapi agar segera selesai.
Oh mengapa hari ini harus 1 Juli? Mengapa awal bulan ini tidak membawa semangat yang besar? Mengapa seperti enggan untuk menjalani bulan-bulan kedepan?

Huft, terlalu awal untuk mengucapkan selamat tinggal bukan?

Minggu, 28 Juni 2015

Packing Never Feel So Hard.

Sumpah. Saat aku memasukkan pakaianku yang bertumpuk ke sebuah tas. Aku selalu bahagia. Aku selalu semangat karena aku tau akan ada tempat baru yang aku kunjungi.
Kali ini, bahkan untuk menyetrika baju pun aku tidak semangat. Aku tidak ingin, pakaianku terlipat rapi dan siap dimasukkan kedalam tas. Aku lebih ingin melihatnya berantakan .
Aku tidak siap mengetahui bahwa aku sudah siap. Huft, mungkin ini rasanya pergi ketempat yang tidak benar-benar kita inginkan atau pergi disaat yang tidak kita maui.

Oh God! Packing never feel so hard before. But KKN must go on right?

Jumat, 26 Juni 2015

Inikah akhir cerita kita?

Pertemuan terakhir kami untuk semester 6 ini. Yang berarti menjadi penutup kami untuk semester teori. Setelah ini kami KKN, setelah itu kami harus menjalani tugas individu kami. Tanpa ada kelas bersama lagi, tanpa ada grup tugas, tanpa ada diskusi atau baper-an saat kelas berlangsung.
Bersamaan dengan bertepuk tangan dan bersoraknya kami di akhir screening salah satu mata kuliah, bersama itu pula kesadaran kami muncul. Bahwa kami hanya bisa berjabat tangan dan melepar tawa kami. Lalu.. yah, sedih ini pun muncul.

See you when I see you….

Kamis, 25 Juni 2015

Kepada Tuan Mimpi, Lagi

Kepada Tuan Mimpi,
Halo Tuan Mimpi. Semalam kita tidak lagi jadi bertemu. Huft. Padahal aku sudah sangat menunggu. Aku sudah menenangkan diriku, aku sudah berdoa dengan khidmat dan aku tidak memikirkan banyak hal seram yang kerap terjadi di kala malam.
Aku kecewa.
Tidak. Tunggu dulu. Aku tidak kecewa padamu. Aku hanya kecewa, karena aku melewatkan satu malamku lagi tanpa cerita darimu. Aku mengalami perubahan yang sangat signifikan atas kehadiranmu.
Tentu kau mengetahui itu.

6 tahun aku belajar. Belajar untuk memahami alasan Tuhan memilihku mengenalkanmu padaku. Melihat banyak hal baru ada di sekitarku. Aku terlalu takut saat itu. Bercampur cemas, ragu dan tidak menentu. Aku menolak habis-habisan selama 4 tahun. Aku mengabaikan banyak rasa dan tanda yang ditunjukkan untukku. Aku tidak peduli. Benar-benar tidak peduli. Aku tidak berusaha untuk mendengarkan penjelasan banyak orang tentang apa yang aku miliki. Padahal banyak hal tetap terjadi padaku.
Lalu, 2 tahun terakhir ini, aku merasa mulai terbiasa. Mungkin memang benar bahwa perlu kesiapan fisik dan psikologis untuk menerima ini semua. Dan, satu persatu, semuanya mulai terjawab. Seperti puzzle, satu persatu bagian mulai terbuka.
Kini, seperti saat ini, aku duduk menuliskan sebuah surat untukmu. Menuliskan sebuah harapan bahwa, mungkin, aku ingin menyelesaikan satu kisah bersamamu. Tentang apapun yang ingin kamu ceritakan dan tentang kisah apapun yang menurutmu sudah siap untuk aku terima.
Aku tidak akan memburumu. Aku sudah cukup mengerti sekarang, kenapa aku harus perlahan memahami semuanya satu persatu. Kenapa aku membutuhkan waktu lama untuk menyangkal dan akhirnya menerima.

Kepada Tuan Mimpi,
Terima kasih karena sudah mau lama menunggu. Terima kasih karena sabar menuntunku hingga aku sabar dan tenang seperti saat ini. Terima kasih karena memberikan begitu banyak pembiasaan hingga akhirnya aku berani membuka diri.

Kepada Tuan Mimpi,
Aku masih ingin, dan selalu ingin menyelesaikan kisah-kisah yang pernah kita mulai ini. Namun, mungkin kau berharap aku untuk masih sabar menanti. Iya kah? Baiklah. Aku akan menunggumu. Hingga aku siap dan kau pun merasa itu saat yang tepat.

Kepada Tuan Mimpi,

Aku siap. Menjalani dan menyelesaikan beberapa kisah bersamamu. Dan aku selalu berharap, mala mini, kita akan bertemu lagi.

Rabu, 24 Juni 2015

Kepada Tuan Mimpi

Kepada Tuan Mimpi,
Ada kisah yang belum kita selesaikan kemarin. Aku masih sangat penasaran. Sangat-sangat. Bisa kah kita bertemu lagi malam ini?
Aku memerlukan ceritamu, untuk menemaniku tidur sekaligus untuk menceritakan padaku sebuah cerita. Cerita yang nantinya akan membantuku menyelesaikan salah satu misteri besar dalam hidupku.

Kepada Tuan Mimpi,
Maafkan aku, karena semalam aku tidak tidur dengan tenang. Aku tidak bisa membuatmu meraihku dan masuk dalam tidurku.
Ayolah, aku harap kita bertemu lagi hari ini. Aku ingin tidur bersamamu, diceritakan kisah-kisahmu. Aku masih ingin tau soal.. hmm soal kisah kemarin? Iya aku ingin mendengar itu hingga tuntas. Bisa kan? Eh, namun jika kamu masih ingin merahasiakan sisa cerita yang kita tinggalkan semalam, tidak apa-apa. Aku selalu siap menunggumu datang lagi.

Kepada Tuan Mimpi,
Aku juga ingin menyampaikan salamku, kepada Kakek gagah, Putri cantik yang berani dan Putri lembut nan gemulai. Sampaikanlah, bahwa suatu saat nanti, jika kita sudah menyelesaikan kisah kita, aku ingin melihat mereka.


Penuh kasih,

Gadis sok tau yang terbuai mimpi

Senin, 22 Juni 2015

Cerita Tidur

            “Nduk aku titip ini,” ujar seorang perempuan cantik memakai pakaian Jawa padaku. Ia menyerahkan sebuah cepuk kecil yang indah. Disepuh emas. “Iki apik kok. Aku tidak akan memberikan sesuatu yang tidak baik padamu. Bawa saja. Kamu bisa pakai suatu saat nanti. Saat kamu sudah siap.” Perempuan itu setengah memaksaku. Akhirnya aku menerima pemberiannya walau aku meminta tolong teman laki-lakiku disebelahku untuk membawakannya.
            “Tunggu dulu yaa, Kanjeng Ratu sedang pergi. Sebentar lagi akan datang. Sabarlah menunggu.” Ujar perempuan itu lagi.
Tak lama, sebuah kereta kencana besar dan megah datang. Kereta itu ditarik oleh beberapa kuda yang gagah. Dudukannya tinggi. Menunjukkan seorang perempuan tidak kalah cantiknya. Berambut panjang, bermahkota indah dan selendang sutra yang terikat dipinggangnya.
Ia turun dengan anggun. Mendekati teman laki-lakiku. Ia berkata dengan Bahasa Jawa halus. Aku tidak begitu jelas dengan apa yang ia bicarakan. Yang aku ingat adalah dia bertanya pada temanku soal berkomunikasi menggunakan Bahasa Jawa halus. Jelas itu bukanlah kemampuanku.
            “Gusti Allah tresno sanget kaliyan putri meniko,” ujarnya membuka perkacapan. Suaranya lembut namun tetap tegas. Ia sangat berwibawa sekaligus anggun. Tangannya saling mengenggam didepan perutnya, seperti penyanyi paduan suara. Membuatnya semakin anggun dan cantik.

“Apapun yang dia minta akan diberikan. Begitupun dengan Eyangnya. Eyangnya menitipkan banyak rejeki untuk cucu yang paling dia sayang ini. Aku sangat menghormati Eyangnya sebagai orang yang disegani. Itu mengapa aku juga menghormati anak ini, sebagai cucu kesayangan dari orang yang aku hormati.”

Senin, 22 Juni 2015, 1.27 AM

Minggu, 21 Juni 2015

Busur dan Panah

Sagitarius. Busur dan panah.
Aku terpaku membaca sebuah kiriman dari akun instagram itu. Tidak. Bukan hal ini yang ingin aku dapatkan dimalam yang dingin seperti ini. Kiriman itu membuatku semakin membeku bahkan membuatku kebas. Walau itu hanya seperti kiriman main-main, sekedar ingin menunjukkan karakteristik dari setiap zodiak bila dikaitkan dengan senjata.
Demi Tuhan! Dari sekian banyak senjata yang bisa digunakan manusia, kenapa harus senjata itu?
Aku tak henti bertanya-tanya. Masih dengan perasaan tidak tenang. Lalu otakku berputar, mengingat-ingat kekosongan pikiranku kemarin sore. Tiba-tiba dalam diamku saat itu, aku berpikir bahwa sudah lama aku tidak teringat senjata itu atau orang-orang dijalan berpakaian Jawa dengan busur panah panjang dipunggung mereka. Setelah sekian lama, tidak sedikitpun berpikir mengenai ketertarikanku pada senjata itu, tiba-tiba seperti biasanya Semesta membawaku mengingat kembali.
Aku bukan tidak suka diingatkan pada senjata itu. Demi Tuhan, aku pun memiliki ketertarikan yang tinggi. Aku selalu teringat, pada euphoria itu. Duduk bersila, mengatur arah anak panah, menarik tali busur dan mendengarkan desingan anak panah yang terdorong gaya pegas dari tali busur. Itu adalah salah satu momen berhargaku. Aku tak henti-hentinya menikmati setiap rasa tenang yang meluncur bersamaan dengan hembusan nafas dan luncuran anak panah.
            “Jemparingan itu bukan olahraga teknik. Sama seperti namanya, manah, yang juga berarti hati. Jemparingan atau memanah itu tentang mengolah rasa. Tidak pernah ada yang benar-benar jago atau menjadi ahli Jemparingan. Suksesnya anak panah menancap pada target itu soal titis, Mbak. Ketepatan dikarenakan oleh kepekaan hati.” Jelas seorang Bapak saat pertama kali aku memilih Gandewa dan belajar menarik tali busur panah.
Aku menghela nafas lagi. Entah sudah yang keberapa kalinya aku menghembuskan nafas. Satu pesan sederhana itu. Titis. Mungkin aku harus mengolah rasaku lagi. Mungkin itu yang akan menjadi jawaban dari segala pertanyaanku saat aku sudah berhasil mengolah rasaku dengan benar.

Semua jawaban akan datang di waktu yang tepat, Nduk. Dan pesan itu, lagi-lagi terngiang. Memberi ketenangan sekaligus janji pada hati yang resah ini.

Sabtu, 20 Juni 2015

Dah Kegiatan Malam Minggu

Sampai jumpa lagi kegiatan malam minggu!
I’ll be miss you..
Sampai bertemu lagi besok September. Teruslah bertumbuh, teruslah berkembang, teruslah jadi lebih baik lagi.

Untuk Melangkah Seirama, aku percaya pada kalian. Kalian adalah yang terpilih dari antara yang dipilih. Dan kalian pasti bisa menjalani ini semua.
Selalu meluncur dukunganku untuk kalian dari lereng Merapi.

Sampai bertemu lagi! Mwah :*

Jumat, 19 Juni 2015

Desember, Lagi

Memilih nama memang sangat sulit.
Jangankan memilih nama untuk anak kelak, bahkan memilih nama untuk sebuah blog saja terasa sangat sulit.
Setelah dua hari berputar-putar mencari nama yang terbaik. Kembali lagi pada euphoria itu.

Dua kali mengganti alamat blog, beserta namanya, tapi aku tidak pernah bisa move on. Selalu kembali pada bulan terakhir dalam setiap tahun. Desember.
Entah kenapa, ada banyak cerita dengan nama bulan ini. Dimulai dari bulan pernikahan orang tua yang kebetulan juga merupakan bulan kelahiran, lalu nama panggilan yang merupakan potongan awal kata Desember, juga momen yang paling ditunggu-Natal yang dirayakan setiap bulan Desember.
Oke, terlalu banyak attach pribadi pada bulan ini.

Lalu itu juga kah yang menjadi alasanku tidak bisa move on?
No. Alasan kembali pada konsep itu karena aku selalu suka excitement dan euphoria bulan Desember. Aku memaknai Desember lebih dalam dari hal-hal manis yang terjadi pada bulan Desember.

Aku memandang Desember sebagai bulan rendah hati.
Pada bulan Desember, kita berhenti sejenak. Bertanya-tanya. Apa yang sudah kita lakukan selama 11 bulan yang terjadi pada tahun itu. Kita mencari, menemukan, terjatuh, mencapai titik tertinggi. Kita terdiam pada satu titik, mengulang semua yang pernah terjadi. Kita tidak terburu-buru. Kita berhenti pada satu titik, dimana kita ingin kembali menikmati waktu-waktu yang sudah kita lalui. Kita tidak lagi berpacu untuk berjalan atau berlari lebih cepat. Desember menjadi perhentian yang tidak membuatmu risau.
Pada bulan Desember, kita tersembuhkan. Semua kita hayati setiap Desember. Pada Desember pula, dengan segala keburukan dan kesialan yang kita alami dalam setahun, kita tidak pernah merutukinya. Kita tersenyum saat mengingat kehilangan yang harus kita alami, kita tertawa atas kekonyolan yang pernah terjadi. Desember menyembuhkan banyak kekecewaan.
Pada bulan Desember, kita menyulam harap. Merangkai mimpi, membuat tujuan hidup baru, merajut kehidupan yang lebih menyenangkan. Kita dengan optimis menatap tahun baru yang akan kita jalani. kita recharge energi dan tersenyum dengan beribu harapan baik untuk bulan Januari. Desember memberikan kesempatan merasakan dan menciptakan hal indah.
Pada bulan Desember, kita menyakini sesuatu. Mungkin dalam sepanjang tahun itu, bulan Desember membuat kamu percaya. Tahun depan akan lebih baik, kesialan yang terjadi tidak akan terulang lagi, mensyukuri keburukan yang pernah kita hadapi, memperbaiki diri agar bisa mencapai yang lebih baik lagi. Setelah kita berhenti untuk mengingat, menyembuhkan kekecewaan yang kita alami, membangun harapan baru untuk dijalani, lalu kita kembali tegak untuk menghadapi apapun yang akan terjadi. Desember menjadi titik kamu menemukan dirimu lagi.

Itu mengapa aku selalu kembali pada Desember.
Alasan itu pula yang membuat aku menggunakannya sebagai nama berbagai cerita ini. Ada harapan dimana, dengan mengingat nama itu, membuatku menulis dengan rendah hati. Aku tidak lagi dengan kasar menghakimi. Aku mengingat semua cerita dibalik apa yang aku tuliskan. Aku tidak tergesa-gesa menyelesaikan kenanganku bersamaan dengan berakhirnya tulisanku.


Lalu bagaimana dengan Desember-mu?

Kamis, 18 Juni 2015

Tulis Saja, Kapan Lagi

Tulis saja. Mau berapa lama lagi kamu berpikir dan menentukan nama yang bagus untuk blog-mu?
Tulis saja. Kapan lagi kamu akan kembali menggerakkan jarimu diatas keyboard itu?
Tulis saja. Kapan lagi kamu membebaskan semua kerisauan dalam otakmu itu? Membiarkannya hingga meluap?
Tulis saja. Apa lagi yang bisa kamu lakukan? Saat kamu mengerti bahwa dengan menulis kamu menjadi dirimu.
Tulis saja. Kenapa kamu harus ragu? Kenapa kamu harus merasa bahwa sekian lama kamu tidak menulis membuat kamu tidak bisa menulis?
Tulis saja. Kapan lagi kamu akan menunggu waktu itu untuk datang? Kamu sudah terlalu rindu.
Tulis saja. Karena kamu tahu. Dengan menulis kamu kembali. Mengenali dirimu. Menemukan dirimu diantara tumpukan identitas yang kerap kamu gunakan. Meyakini dirimu dan menerima, bahwa kamu adalah seseorang yang lebih nyaman bercerita lewat kata dan lega saat selesai menuliskannya.

Tulis saja. Kapan lagi.


*Tulis Saja, Kapan Lagi sebenarnya buku karangan Dosen saya, Prof Nunung Prajarto, yang menjadi buku panduan untuk berani menulis saat saya semester 1. Dan saya harus memulai lagi, seperti menjadi mahasiswa semester 1 untuk menuliskan sesuatu. Butuh usaha keras untuk melewatkan dan mengabaikan sejuta alasan untuk tidak mengikuti proyek menulis ini. Lalu, pada akhirnya saya ingat judul buku itu.