Jumat, 22 April 2016

Pukul Lima (Bagian 2)

“Jadi, kemana kamu pergi selama lima hari ini?
“Ke tempat dimana saya akan rindu pulang.”

~~~
            Gana mengerutkan dahinya bingung. “Pulang? Bukan kah semua orang pasti akan pulang?”
            “Tidak, Gana.” Jawab Naya sambil menyesap coklat hangatnya yang mulai mendingin. “Tidak semua orang tahu dimana rumahnya dan kenapa ia harus pulang. Itulah kenapa saya pergi ketempat yang jauh. Dan itulah alasan saya selalu duduk disini menikmati pukul lima.”
            “Supaya kamu tahu kemana kamu harus pulang?”
            “Iya.” Jawab Naya singkat.

Naya tersenyum kecil melihat kerutan di dahi pria didepannya bertambah dalam. Gana terlihat berusaha memahami apa yang Naya ucapkan.
“Saya masih tidak mengerti,” ujar Gana akhirnya sambil menghempaskan punggung lebarnya ke kursi.
“Sudah saya bilang, Gana. Tidak semua orang tahu kenapa dia harus pulang.”
“Tidak, Naya.” Gana menggelengkan kepalanya. Ia mendekatkan diri ke meja. Menaruh tangannya yang bersedekap diatas meja, mendekatkan jarak antara Gana dan Naya. “Saya selalu pulang. Dan saya tahu kemana saya harus pulang. Tapi saya tidak mengerti kenapa kamu harus menghabiskan satu jam kamu disini. Duduk diam dan meminum coklat hangatmu.”
Naya tertawa kecil mendengar penjelasan Gana. “Apakah kamu tahu kemana kamu pulang atau kamu merasa kamu tahu kemana kamu pulang?”
Gana masih menatap Naya tidak puas. Membuat Naya mau tidak mau kembali bersuara.
“Menurut kamu, apa sebuah arti dari pulang?”
“Kembali ke tempat dimana kamu bisa istirahat dan bahagia.” Jawab Gana cepat. “Dimana kamu tahu siapa diri kamu. Bukan kah begitu, Naya?”
Naya hanya terdiam mendengar jawaban Gana.
“Yang tidak saya mengerti, Naya. Saat kamu tahu dimana dan kenapa alasan kamu harus pulang, kenapa kamu masih harus terus mencari makna rumah itu, Naya? Kenapa kamu harus, selalu duduk disini, pergi ke tempat jauh, padahal kamu tahu rasa itu sudah melengkapi kamu. Saat kamu tahu bahwa rumah kamu sudah membuat kamu lengkap.
Naya memainkan cangkir didepannya yang sudah setengah habis. Ucapan Gana membuatnya kembali berpikir. “Kamu tahu kan, Gana, bahwa bagian dari pulang itu juga merupakan proses mencari? Itu yang saya lakukan saat ini.”

“Saya masih mencari, Gana. Mencari sesuatu yang masih terasa kosong. Itu kenapa saya pergi jauh dan itu kenapa saya selalu duduk disini setiap pukul lima.”
Gana tahu bahwa pulang adalah sebuah proses untuk mencari. Gana tahu bagaimana ia harus seperti Ben, yang pergi ketempat dimana ia harus berdamai dengan masa lalunya, pergi untuk membuka kembali hubungan dengan orang-orang yang sempat tidak ia pedulikan, kembali menemukan jati dirinya dibalik coffee maker dan setiap cita rasa kopi yang ia buat. Gana tahu kenapa pulang harus selalu berbicara mengenai pencarian.
“Saya pergi untuk mencari, Gana. Untuk mencari tempat yang sepi, tempat yang ramai, tempat dimana tidak ada satu pun orang saya kenal, tempat terjauh yang bisa saya jangkau, tempat paling dekat yang tidak pernah sekalipun saya datangi, tempat tertinggi bahkan tergelap. Semua membawa saya kembali pada pukul lima dan coklat hangat seperti yang kamu bilang tadi.”
“Dari 24 jam yang diberikan semesta pada dunia, di bagian manakah yang paling kamu suka?” Naya bertanya kepada Gana yang terdiam.
“Entahlah. Mungkin setiap café sedang sepi atau setelah tutup. Dimana saya bisa bercinta dengan kopi-ku.”
Naya mengangguk-angguk. “Seperti apa yang kamu rasakan. Pukul lima, setiap sore, adalah waktu dimana saya bisa bercinta dengan hidupku.”
“Kenapa harus pukul lima? Karena pukul lima selalu identik dengan jam pulang kantor? Dimana orang berlomba dan memilih terjebak macet untuk keluar dari rutinitas? Atau karena matahari terbenam membawa kamu kembali ke peraduan paling aman?”
“Tidak, Gana. Karena pukul lima adalah waktu yang paling jujur.” Jelas Naya tanpa kehilangan emosinya. “Jika pagi memberi kamu harapan dan malam memberi kamu kesempatan untuk berlari, maka pukul lima membuat kamu mengerti, Gana. Akan sebuah rasa rindu, sebuah rasa butuh pulang dan mengulangi semua prosesnya.”
“Itu kenapa kamu selalu datang dan menikmati pukul lima? Karena dia yang paling jujur bercerita kepadamu tentang apapun yang kamu rasakan dan menjelaskan setiap tujuanmu pulang.”
“Saat saya pergi, ke tempat yang sepi, jauh dari rutinitasku atau tempat dimana tidak ada seorang pun yang saya kenal, pukul lima selalu mengingatkanku untuk berhenti sejenak dan merasakan puncaknya sebuah rindu. Karena tiba-tiba satu hari lagi sudah kamu lewati. Bukan semata-mata berani menembus macet demi pulang kerumah. Ada rindu dan kebutuhan yang besar untuk kamu pulang. Membuat kamu mengerti dimana rumahmu.”
“Lalu, apa pukul lima juga menyakitimu, Naya? Dengan segala kejujurannya, dengan kenyataan yang kamu jalani tapi tidak sesuai dengan keinginanmu, dengan hal yang kamu tidak sukai tapi terpaksa kamu jalani. Kalo pukul lima yang kamu bilang benar-benar jujur, berarti kamu tahu bahwa kamu menjalani hidup yang tidak benar-benar kamu mengerti. Memberi yang kamu butuhkan, bukan yang kamu inginkan. Menjalani hal yang kadang tidak terencana namun sering membuat kamu tertawa.”
Naya mengangguk dan melemparkan senyum pada pria yang terlihat lebih menawan dengan posisinya yang membelakangi matahari yang mulai terbenam.
“Benar. Pukul lima memang kerap menamparmu dengan sebuah kenyataan. Bahwa hidup kamu kadang berada pada fase yang tidak kamu inginkan, membuat kamu merasa kosong dan kamu butuh tempat istirahat.”
Naya bersedekap sambil menatap mata hitam Gana yang segelap kopi. “Karena setiap pukul lima, kamu mengerti bahwa kamu tidak pernah bisa berhenti, Gana. Kamu akan selalu mencari. Memenuhi diri kamu atas apapun yang masih terasa kosong. Bukan kah itu maknanya pulang? Mencari, berdamai dengan diri sendiri dan menemukan kebahagianmu. Yang selalu kamu cari dan ingin kamu isi lagi.

Untuk pertama kalinya, pukul lima tidak membuat Naya terdiam sambil meminum coklat hangat sendiri. Ia menikmati rasa rindunya pulang bersama seseorang yang juga terus mencari. Untuk pertama kalinya juga, Gana menyadari bahwa pukul lima membuatnya mengerti alasan kenapa ia selalu mencari perempuan yang selalu memesan coklat hangat. Memahami lagi setiap tujuan dan alasannya hidup bersama seseorang yang selalu ingin mengisi rindu. Untuk pertama kalinya, pukul lima membuat Naya dan Gana sama-sama mengerti rasanya pulang.

Rabu, 20 April 2016

Pukul Lima

Dari 24 jam waktu yang berputar di dunia ini, waktu manakah yang paling kamu suka? Ada banyak orang di muka bumi ini yang secara tidak langsung membentuk kesepakatan tentang waktu yang paling disuka.
Pendaki gunung mungkin akan menyatakan saat matahari terbit adalah waktu yang paling indah. Melihat kemegahan matahari yang terbangun dan memunculkan keindahan luas tanpa batas bersamaan dengan awan yang berarak. Pedagang pasar memulai harinya pada pukul 3 pagi, waktu dimana kehidupan dimulai. Mencari nafkah, keluar dari gelungan selimut dan berbaur dengan hangatnya suara tawar menawar. Pecinta pantai akan berlari, berlomba mengejar momentum matahari terbenam di dasar samudra. Membawa bias warna laut dan deburan ombak melebur menjadi warna gelap yang pekat. Tidak ada waktu yang paling tepat dan romantis selain malam hari bagi para pecinta kembang api. Membiarkan letupan kembang api membuat jejak lukisan cahaya di langit. Penggiat konser akan merasa pukul 8 adalah waktu yang paling pas untuk mengeluarkan bintang utama. Waktu yang cukup malam namun masih panjang untuk bernyanyi dan berteriak bersama.
Tapi, seorang Kanaya Nareswari, merasa pukul lima sore adalah waktu yang paling romantis. Tidak gelap namun juga tidak terang. Matahari pada pukul lima menatapnya teduh. Pukul lima mengingatkan ia untuk 'pulang'. Waktu itu seakan membuatnya berhenti di tempat persinggahannya. Memikirkan sebuah tempat yang ia sebut rumah.
Sama seperti hari ini. Walau kini ia tidak berada di titik paling jauh dari hiruk pikuk kota, pukul lima selalu membuatnya rindu. Untuk itulah ia duduk disini. Di sebuah beranda café kesukaannya. Naya akan datang pukul setengah lima dan beranjak saat jam tangannya sudah menunjukkan pukul setengah enam. Ia akan selalu duduk di kursi untuk dua orang, disudut paling jauh di lantai dua café ini. Ditemani secangkir coklat hangat yang akan ia isi lagi saat habis. Ia hanya akan diam, menikmati setiap detik yang ia lalui bersama pukul limanya.

Entah sejak kapan, Gana memperhatikan pelanggan café-nya itu. Menginjak pukul lima, Café akan sepi pengunjung. Membuatnya bisa rehat sejenak dari balik coffee maker-nya dan memperhatikan satu persatu pelanggan yang datang. Saat itulah ia melihat seorang perempuan yang datang ke café, langsung memilih ke lantai dua dan memesan secangkir coklat hangat. Lalu ia akan beranjak pergi pada pukul setengah enam. Setelah memesan dua sampai tiga cangkir coklat panas. Pelanggan yang tanpa sadar selalu ia perhatikan selama dua bulan ini, di saat ia tidak lagi bersembunyi dibalik coffee maker.
Pukul setengah lima. Gana melepaskan apron hitam yang ia gunakan dengan sebuah ornament kecil di saku depan yang memperlihatkan logo café-nya. Ia menunggu perempuan itu. Setiap terdengar bunyi lonceng, Gana selalu awas. Memperhatikan siapa pun pelanggan yang mendorong pintu masuk café, menciptakan denting kecil dari sebuah lonceng yang ia pasang diatas pintu. Sudah lima hari perempuan itu tidak datang. Sudah lima hari tanpa sadar ia mendesah kecewa saat pukul setengah enam berjalan tanpa membawa perempuan itu datang untuk singgah dan meminum coklat hangat.
Setelah enam kali pada hari itu, ia mengangkat wajahnya saat mendengar denting lonceng yang tidak kunjung berhasil membawa perempuan itu kepadanya, akhirnya pada bunyi ketujuh lonceng itu berbunyi bersama dengan sosok yang sudah lima hari tidak ia lihat. Dari jam yang melingkar di tangannya, perempuan itu datang terlambat. Gana membiarkan seorang waiter, Anya, berjalan menghampiri perempuan itu untuk menuliskan pesanannya. Saat Anya kembali dengan catatan pesanan ditangannya, Gana mengambilnya.
“Biar saya saja yang buatkan pesanan Mbak itu,” ujar Gana sambil menarik kertas kecil yang ada di tangan Anya.
Tanpa memperhatikan reaksi Anya, Gana segera membuatkan secangkir coklat hangat untuk perempuan misterius itu, membuatkan pesanan minuman yang tidak biasanya ia buatkan. Ia juga memilih untuk membawa pesanan itu dengan tangannya sendiri. Dengan tenang, Gana berjalan menuju lantai dua, menemukan perempuan itu duduk di pinggir beranda, di posisi yang paling pojok. Perempuan itu terlihat sedang memperhatikan jalan yang mulai ramai karena jam pulang kerja. Perlahan Gana menaruh cangkir coklat hangat didepan perempuan itu. Suara tatakan cangkir dan meja kayu beradu menciptakan suara yang membuyarkan lamunan perempuan itu. Dan saat itulah, untuk pertama kalinya, Gana melihat wajah perempuan misterius yang selalu datang pada pukul setengah lima ke café-nya dan memesan secangkir coklat hangat.

Suara tatakan cangkir yang beradu dengan meja kayu membuyarkan lamunan Naya. Ia mengalihkan pandangannya dan hendak mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantarkan pesanannya. Alih-alih seorang pelayan dengan pakaian berwarna coklat, Naya malah menemukan seorang pria gagah dengan kemeja putih berdiri di sebelahnya.
“Silahkan, ini pesanan Mbak,” ucap pria itu mengambil alih ucapan terima kasih Naya. “Coklat hangat seperti biasa.”
Naya tersenyum mendengar ucapan pria didepannya itu dan segera mengucapkan terima kasih.
“Boleh saya duduk disini?” tanya pria itu yang dijawab anggukan oleh Naya. Ia memperhatikan pria yang duduk didepannya sambil meminum coklat hangatnya.
“Nama saya Gana,” ucap pria itu lagi sambil mengulurkan tangan yang membuat Naya buru-buru menaruh cangkir ditangannya ke tatakan.
“Saya Naya,” jawab Naya sambil melempar senyum kepada si pemilik tangan.
Setelah berkenalan baik Gana dan Naya sama-sama terdiam. Bingung harus memulai percakapan dari mana. Hal ini memberi kesempatan Naya untuk kembali memperhatikan lalu lintas di bawahnya yang memadat.
“Kamu terlambat hari ini,” ujar Gana tiba-tiba. Membuat Naya mengerutkan keningnya bingung. “Hari ini kamu terlambat. Kamu datang pukul 4.40. Biasanya kamu akan datang pukul 4.30.”
Naya tertawa kecil mendengar penuturan pria didepannya ini. “Iya, pesawat yang saya tumpangi sempat delay. Jadi saya terlambat datang ke tempat ini.”
“Hal itukah yang membuatmu tidak datang ke tempat ini selama beberapa hari?”
Pertanyaan baru Gana membawa Naya menganggukan kepala sebagai jawabannya. “Iya. Karena itu selama beberapa hari saya tidak bisa datang kesini.”
Selama ini Naya selalu tidak suka dengan orang yang tiba-tiba datang dan sok kenal. Namun, Gana membawa suasana lain yang membuat Naya tidak keberatan menjawab semua pertanyaannya.
“Jadi, kemana kamu pergi selama lima hari ini?” tanya Gana lagi.
“Pergi ke tempat….” Jawab Naya tersenyum. Ia menyesap coklat hangatnya setelah itu ia menggegam cangkir ditangannya, merasakan kehangat dari cangkir yang menyelimuti kedua telapak tangannya. Naya lalu menatap dalam mata hitam Gana. “Dimana saya akan rindu untuk pulang.”


Bersambung…..

Minggu, 17 April 2016

Jadi, Apakah Cinta Bisa Berhenti?

“Nay, memang benar yaa bahwa cinta itu bisa berhenti suatu saat nanti?”
Aku memandang temanku, Kia, dengan kening berkerut sebelum tertawa terbahak-bahak. Melihatku yang tertawa, Kia langsung memasang aksi ngambeknya.
“Dari semua ekspresi yang ada didunia ini, kenapa kamu memilih tertawa?” tanyanya sebal sambil melemparku dengan boneka minions yang ada didekatnya.
“Bukan,” aku berusaha menghentikan tawaku untuk menjawab pertanyaan Kia. “Aku bukan menertawakan kamu. Tapi menertawakan kebetulan yang terjadi.”
Mendengar jawabanku Kia berbalik mengerutkan keningnya.
“Aku sedang membaca sebuah cerita.” Ujarku sambil menunjukkan HP yang aku pegang. “Dalam cerita itu, kedua tokoh utama adalah orang yang berusaha merasionalkan cinta. Lalu berhenti pada sebuah kesepakatan bahwa pernikahan tidak butuh cinta. Karena setelah beberapa lama cinta sudah tidak perlu lagi.”
Kia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Itu kenapa aku tertawa waktu kamu bertanya seperti itu. Kamu sendiri kenapa bertanya begitu?”
Kia terdiam sejenak. Memandangku dengan mata menyipit. Hal yang dia lakukan saat mempertimbangkan sesuatu.
“Enggak tiba-tiba saja aku ingin bertanya seperti itu. Ragu gak sih kamu saat kamu memilih untuk menikah padahal kamu tahu bahwa cinta mungkin saja berhenti.” Jawab Kia yang aku jawab dengan anggukan.
Aku terdiam. Memikirkan kemungkinan yang terjadi dari hal itu.
“Entahlah. Bagaimana bisa kita membicarakan sesuatu yang tidak pernah kita jalani atau pahami sih, Ki?” jawabku dengan memberikan sebuah pertanyaan balik pada Kia.
“Apakah itu karena mereka sebenarnya bukan jodoh? Banyak orang bilang bahwa kadang kita menikah dengan orang yang bukan jodoh kita.”
Pernyataan Kia barusan semakin membuatku terdiam dan berpikir.
“Mari kita diskusikan cinta itu, Ki. Jika yang kamu harapkan adalah jawaban yang bisa memuaskan keresahanmu.” Jawabku sambil tersenyum. “Tapi mari kita pahami cinta jika yang kamu butuhkan adalah kepenuhan hatimu.”
Kia terlihat tertarik dengan jawabanku barusan. Ia memposisikan dirinya dengan lebih nyaman dihadapanku. Sepertinya ini akan menjadi pembicaraan yang panjang.
“Kata orang, jodoh itu adalah konsepsi yang dibuat manusia, bukan? Kamu sendiri yang bilang saat kamu putus cinta dari Adma. Walau Tuhan sudah menyiapkan seseorang menjadi jodohmu, tapi ada sebuah kisah yang harus kalian usahakan berdua. Dan menurutmu itulah jodoh. Saat kalian sama-sama saling mengusahakan agar saling menemukan, bertemu dan merangkai kisah yang sama.”
“Yap itu benar! Dan aku masih merasa itu hal yang benar sampai sekarang.”
“Ya itu dia, Ki. Bahkan saat kamu sedang berada dalam kisah yang sama dan mengusahakan kisah itu untuk terus ada, apa tiba-tiba kamu ingin berhenti? Kecuali ternyata kedua orang itu tidak merangkai kisah yang sama, hanya sekedar jadi cameo.”
“Bener sih Nay.” Ucap Kia lirih. Setengah tidak yakin. “Itulah kenapa aku percaya bahwa ada kisah yang pasti diusahakan. Tapi misalnya saat dalam masalah besar. Aku jadi takut bahwa cinta bisa benar-benar habis dan berhenti.”
“Jadi menurutmu cinta bisa berhenti?”
“Mungkin saja, Nayaaaaa!”
Aku mengangguk-anggukan kepalaku. “Kalo kita berbicara dalam term, sudah saling menemukan dan merangkai kisah yang sama ya, Ki. Aku rasa cinta tak bisa berhenti. Teman aku pernah cerita, kerap kali kita menyalahartikan rasa yang berbeda setelah kita menikah. Pada stage tertentu cinta kita pada seseorang akan sampai pada titik paling maksimal yang bisa dibuat berdua. Kadang juga titik maksimal itu membuat kebiasaan sedikit berubah, membuat rasa menjadi seakan hambar atau hilang. Disitulah kadang kita mengartikan bahwa cinta itu berhenti. Padahal, rasa cintanya gak berubah, Ki. Cuma bermetamorfosa agar lebih sesuai dan bisa bertahan. Ada lima Bahasa dalam cinta menurut Gary Chapman. Mungkin aja supaya lebih sesuai dengan kehidupan berdua, dari berbahasa cinta melalui kata-kata berubah jadi perbuatan atau hadiah kan?”
“Kamu tau gak gaya pacaran Mama-Papa kamu dulu? Dan mereka pasti pernah berantem atau melalui masalah besar bersama kan?” Tanyaku lagi.
“Tau banget! Kamu kan ngerti sendiri betapa mesranya Mama-Papa aku. Sampe semua anaknya tau semua kisah cinta mereka. Dan sampai sekarang, Papa aku masih memperlakukan Mama aku kaya pacarnya. Nama panggilan jaman pacaran aja masih suka dipake. Ya mana ada rumah tangga, hidup dengan dua kepala atau lebih tidak pernah menghadapi masalah sih, Nay.”
“Ayah dan Bunda aku tidak begitu, Ki. Bunda berasal dari keluarga Jawa yang sangat saklek. Memperlihatkan afeksi secara verbal ataupun tindakan didepan banyak orang adalah hal tabu. Tapi aku masih melihat pancaran rasa hormat dan sayang yang besar saat Bunda melihat Ayah. Begitu pun dengan cara Ayah memperlakukan Bunda dengan sangat halus dan lembut. Keluarga Bunda pun sering berusaha mengintervensi keputusan mereka berdua yang akhirnya jadi konflik diantara mereka.
“Lalu, apa kamu rasa cinta kedua orang tua kita berhenti? Karena Mama-Papamu tetap pada kebiasaannya dan Bunda aku menjadi lebih berani memberitahu perasaannya pada Ayah?” Kia langung menggelengkan kepalanya. “I think we are in the same page here. Kedua orang tua kita dengan gaya yang berbeda, meletup-letup atau pun dalam diam sama-sama tidak kehilangan cintanya. Benar kan? Jadi, tidak semua orang merasa cintanya itu berhenti.”
“Kalau cinta memang tidak bisa berhenti, kenapa kedua tokoh cerita yang kamu baca itu memilih menikah tanpa cinta, yang secara tidak langsung tidak percaya jodoh?”
“Ki, seriuskah kita akan melanjutkan pembicaraan ini? Kamu sudah menikmati sensasinya memfilsafatkan sesuatu?” tanyaku dengan setengah gemas.
“Oh, Naya. Ayolah, aku belajar memahami cinta sama seperti katamu agar aku merasakan rasa penuh itu. Kamu tahu kan? Cinta itu subjek yang surreal. Sedang kita selalu dituntut untuk hidup dengan sesuatu yang real. Lalu bagaimana aku bisa yakin bahwa aku dan seseorang diluar sana sedang saling berusaha dan mampu hidup berdua selamanya?”
“Cinta bukan koperasi dengan asas sukarela, Ki. Tapi badan usaha, dimana semua orang didalamnya harus saling bekerjasama.” Jawabku mencoba berseloroh. “Kalo memang cinta gak bisa jadi sesuatu yang real, buatlah aspek didalamnya menjadi sesuatu yang real. Mungkin dengan kasih bunga, ngajak nonton, ngurusin waktu sakit.”
Aku berhenti sejenak. Memberi jeda waktu sekaligus menarik nafas panjang.
“Kalo soal kedua tokoh itu, masih banyak bagian dari cerita mereka yang belum selesai aku baca.” Aku buru-buru melanjutkan penjelasanku. “Mungkin karena mereka belum menemukan the one, pernah tersakiti seseorang yang kita anggap the one atau bisa jadi ternyata mereka hanya cameo di hidup masing-masing. Kita gak pernah tau akhir cerita yang tidak kita jalani, kan?”
“Bisa jadi, kedua tokoh cerita itu bilang gitu karena mereka menutup hati dan tidak saling mengusahakan. Jangan-jangan kesepakatan mereka itu manifestasi dari rasa takut. Karena mereka belum yakin dan masih terlalu resah. Juga karena mereka tidak mengerti bahwa cinta bisa berubah bentuk dengan rasa yang sama.” tandas Kia dengan nada setengah menggumam.
“Mungkin pada satu titik kita harus siap bahwa cinta kita berubah rupa, Ki. Berubah menjadi kepekaan, kepedulian, keberanian, tanggung jawab atau saling mengusahakan. Tidak lagi dengan bunga, kado atau panggilan sayang.”
“Kedua tokoh itu sama seperti banyak orang disekitar kita yaa? Takut bahwa cinta mereka berupa bunga, kado atau panggilan sayang akan berhenti suatu saat nanti. Padahal itu hanya sebuah fase untuk menyesuaikan kisah mereka.”

“Mungkin saja. Tapi siapa yang siap bukan, jika orang yang kita sayang membuat kebiasaan baru? Bisa jadi kita terlalu ketakutan sampai merasa bahwa pasangan kita ingin menghentikan kisahnya. Bisa saja, apa yang kita bicarakan sejauh ini hanya soal sebuah ketakutan dan rasa tidak aman, padahal subjek surreal yang kita bicarakan ternyata sebuah kepastian namun tidak bisa kita lihat wujudnya.”