Senin, 15 September 2014

Aku Serius

Aku terduduk diam. Bersisian dengannya yang juga terdiam. Ada banyak hal yang ingin kami bicarakan. Aku tahu dari helaan nafas yang ia keluarkan. Sama beratnya denganku.  Masih teringat jelas bagaimana pertengkaran kami semalam. Hanya karena sebuah chatyang berakhir dalam situasi seperti ini. Sangat tidak menyenangkan. Padahal, semalam kami saling berseru rindu. Namun, jarak yang dimunculkan lengan kursi ini terasa lebih jauh dibandingkan kedekatan yang kami rasakan semalam lewat chat. Ada kelabu menggantung dimatanya, juga segumpal sesak didadaku.

Dia mulai berbicara. Lirih. Mengunci mataku. Kebiasaannya agarku tak banyak bertingkah. Aku terlalu banyak menyimpan hormon heboh dan dia yang akan menyeimbangkannya. Mata tenangnya yang akan membekukanku. Dia terlalu mengenalku.

Dia berbicara. Selalu diawali dengan permintaan maaf. Katanya, maaf karena menyakitiku. Selepas satu kalimat itu, semua omelan meluncur lancar dari bibirku. Membuatku lebih ringan dan senyum lembut muncul dibibirnya. Dia selalu begitu.

Kami saling mengungkapkan desakan perasaan di hati kami. Sekaligus memperbaiki dan memperkuat hubungan ini. Setelahku dengan meledak-ledak berbicara dan dia dengan tenang juga tegas meluruskan, permasalahan semalam seakan tak pernah ada. Kami, sekali lagi, meneriakkan rindu yang masih mengganjal. Selalu secepat ini kami bertengkar dan selalu secepat ini pula jantung kami kembali berdebar.


Di penghujung malam, dia berkata “Aku menjalani ini dengan serius. Kamu mau kan?”

1 komentar: