Senin, 07 September 2015

Terlambat

Aku pernah merasa sangat terlambat….
Lagi-lagi menyesali keterlambatan yang fatal.

Akhir-akhir ini aku sangat risau. Risau yang membuatku malah tidak bisa memutar cerita selama dua bulan yang aku jalani.
Semua media sosialku dipenuhi teman-temanku yang berbagi cerita mereka, pada ‘tempat pelarian’ mereka. Entah kemana ceritaku selama 60 hari itu. Apakah mungkin aku tidak bisa membuat cerita seindah dan seapik teman-temanku? Atau aku yang terlalu dingin menjalani 60 hariku itu?
Semakin lama aku berpikir sambil melihat kiriman teman-temanku itu, semakin sesak rasanya dadaku.

Sejujurnya, aku kehilangan separuh hatiku pada kepolosan anak-anak Lereng Merapi bagian barat. Waktu itu, aku menjalani sebuah program penanggulangan resiko bencana berbasis sekolah di daerah Magelang. Selepas melewati program itu, aku tidak henti merindukan mereka. Aku selalu teringat antusiasme dan semangat mereka. Aku selalu mengingat mereka. Aku jatuh cinta pada anak-anaknya, juga mulai jatuh cinta pada kebencanaan.

Sedikit kehilangan hati, lalu dengan ‘egois’ aku memilih untuk menjalaninya lagi. Memilih tema pelarian yang sama, kebencanaan. Saat itu, aku datang dengan hati yang sedikit kosong. Mampukah aku menjalani hari-hariku disini? Dengan bayang-bayang wajah polos itu?
Aku sempat berucap. Aku tidak ingin terlalu dekat dengan anak-anak disini. Aku tidak ingin jatuh cinta lagi dengan mereka. Aku akan menjaga jarak. Aku akan berusaha untuk menjaga hatiku.

Tapi apalah daya, Tuhan menginginkan aku jatuh cinta lagi.
Tuhan ingin aku membuat cerita yang lebih banyak lagi di Lereng Merapi. Tanpa sadar, anak-anak nakal yang biasa tidak mau diatur itu, mulai melunak. Mereka semakin senang menempel dan memberikan tebakan-tebakan lucu. Mereka bahkan dengan antusias mengikuti kegiatan. Mereka bersorak saat bosan, namun mengerjakan banyak tugas dengan tekun.
Sampai suatu ketika, mereka benar-benar mencuri hatiku bersamaan dengan 60 hari yang mendekati ujungnya.

Kenapa anak-anak itu baru menurut sekarang? Saat kita sudah akan selesai program? Besok kita harus kesini lagi ya, ujar temanku.
Tapi kapan, kalian habis ini pada sibuk semua, sahut temanku yang lain.
Aku akan kesini. Aku akan kesini lagi. Aku tidak ingin terlambat lagi. Karena aku sudah tahu apa rasanya terlambat, jawabku tegas.

Aku tau rasanya terlambat. Benar-benar terlambat.
Aku pernah menangis tanpa henti suatu malam. Saat aku menyadari bahwa aku sudah terlalu jatuh cinta pada Lereng Merapi tempat aku berpijak saat itu, namun tetap merindu pada sisi Lereng Merapi yang lain. Aku menangis sesenggukkan karena mengingat sudah dua tahun berlalu dari kegiatan itu. Bahwa sudah dua tahun berlalu, dengan rindu yang selalu menghimpit namun tidak kunjung disembuhkan. Aku ingat bahwa dua tahun waktu yang cukup untuk membuat anak-anak polos itu lulus dari SD. Lalu dimanakah mereka bersekolah saat ini? Kemana aku bisa mencari mereka lagi? Dimana?
Pertanyaan-pertanyaan dan rindu itu yang hingga kini membuatku resah.

Inginku bukan lagi sekedar ingin datang ke tempat itu dan membuat cerita yang sama menyenangkannya. Inginku hanya satu, jangan sampai aku terlambat lagi. Jangan sampai aku terlambat menyembuhkan lukaku dan menyadari bahwa waktu sudah berjalan cukup lama. Jangan sampai aku terlambat menyadari, bahwa waktu sudah membuat beberapa hal berubah dan membuatmu kesulitan untuk menyembuhkan rindumu.


Salam sayang untukmu, anak-anak polos penuh kehangatan di Lereng Merapi. Aku merindukan kalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar