Aku pernah merasa
sangat terlambat….
Lagi-lagi menyesali
keterlambatan yang fatal.
Akhir-akhir ini aku sangat risau. Risau yang
membuatku malah tidak bisa memutar cerita selama dua bulan yang aku jalani.
Semua media sosialku dipenuhi teman-temanku
yang berbagi cerita mereka, pada ‘tempat pelarian’ mereka. Entah kemana ceritaku
selama 60 hari itu. Apakah mungkin aku tidak bisa membuat cerita seindah dan
seapik teman-temanku? Atau aku yang terlalu dingin menjalani 60 hariku itu?
Semakin lama aku berpikir sambil melihat
kiriman teman-temanku itu, semakin sesak rasanya dadaku.
Sejujurnya, aku kehilangan separuh hatiku
pada kepolosan anak-anak Lereng Merapi bagian barat. Waktu itu, aku menjalani
sebuah program penanggulangan resiko bencana berbasis sekolah di daerah
Magelang. Selepas melewati program itu, aku tidak henti merindukan mereka. Aku selalu
teringat antusiasme dan semangat mereka. Aku selalu mengingat mereka. Aku jatuh
cinta pada anak-anaknya, juga mulai jatuh cinta pada kebencanaan.
Sedikit kehilangan hati, lalu dengan ‘egois’
aku memilih untuk menjalaninya lagi. Memilih tema pelarian yang sama,
kebencanaan. Saat itu, aku datang dengan hati yang sedikit kosong. Mampukah aku
menjalani hari-hariku disini? Dengan bayang-bayang wajah polos itu?
Aku sempat berucap. Aku tidak ingin terlalu dekat dengan anak-anak disini. Aku tidak ingin
jatuh cinta lagi dengan mereka. Aku akan menjaga jarak. Aku akan berusaha untuk
menjaga hatiku.
Tapi apalah daya, Tuhan menginginkan aku
jatuh cinta lagi.
Tuhan ingin aku membuat cerita yang lebih
banyak lagi di Lereng Merapi. Tanpa sadar, anak-anak nakal yang biasa tidak mau
diatur itu, mulai melunak. Mereka semakin senang menempel dan memberikan
tebakan-tebakan lucu. Mereka bahkan dengan antusias mengikuti kegiatan. Mereka
bersorak saat bosan, namun mengerjakan banyak tugas dengan tekun.
Sampai suatu ketika, mereka benar-benar
mencuri hatiku bersamaan dengan 60 hari yang mendekati ujungnya.
Kenapa
anak-anak itu baru menurut sekarang? Saat kita sudah akan selesai program? Besok
kita harus kesini lagi ya, ujar temanku.
Tapi
kapan, kalian habis ini pada sibuk semua,
sahut temanku yang lain.
Aku
akan kesini. Aku akan kesini lagi. Aku tidak ingin terlambat lagi. Karena aku
sudah tahu apa rasanya terlambat,
jawabku tegas.
Aku tau rasanya terlambat. Benar-benar
terlambat.
Aku pernah menangis tanpa henti suatu malam.
Saat aku menyadari bahwa aku sudah terlalu jatuh cinta pada Lereng Merapi
tempat aku berpijak saat itu, namun tetap merindu pada sisi Lereng Merapi yang
lain. Aku menangis sesenggukkan karena mengingat sudah dua tahun berlalu dari
kegiatan itu. Bahwa sudah dua tahun berlalu, dengan rindu yang selalu
menghimpit namun tidak kunjung disembuhkan. Aku ingat bahwa dua tahun waktu
yang cukup untuk membuat anak-anak polos itu lulus dari SD. Lalu dimanakah
mereka bersekolah saat ini? Kemana aku bisa mencari mereka lagi? Dimana?
Pertanyaan-pertanyaan dan rindu itu yang
hingga kini membuatku resah.
Inginku bukan lagi sekedar ingin datang ke
tempat itu dan membuat cerita yang sama menyenangkannya. Inginku hanya satu,
jangan sampai aku terlambat lagi. Jangan sampai aku terlambat menyembuhkan
lukaku dan menyadari bahwa waktu sudah berjalan cukup lama. Jangan sampai aku
terlambat menyadari, bahwa waktu sudah membuat beberapa hal berubah dan
membuatmu kesulitan untuk menyembuhkan rindumu.
Salam sayang untukmu, anak-anak polos penuh kehangatan di
Lereng Merapi. Aku merindukan kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar