Senin, 24 Oktober 2016

Cinta Dalam Dekap Kematian

Suara gemericik air, batu-batu sungai yang besar, semilir angin yang berhembus ringan dan kicauan burung di kejauhan adalah hal pertama yang aku dapatkan begitu aku membuka mata. Jelas ini bukanlah isi dari kamarku. Baju yang aku gunakan juga bukanlah baju yang terakhir kali aku gunakan. Aku tidak sedang dikamarnya, tidak mengenakan baju tidur yang terakhir kali kupakai juga tidak terbangun di atas tempat tidurku. Kepanikan meningkat dengan sadar seiring dengan kesadaranku. Aku buru-buru mengolah pernafasanku, menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Caraku untuk menghadapi situasi yang tidak aku mengerti.
Aku berusaha untuk menikmati pemandangan indah yang tersaji. Menunggu dengan tenang sampai sebuah adegan inti yang membawaku menuju tempat ini muncul dihadapannya. Padma pun melepas sepatu yang ia gunakan, berjalan menuju sebuah batu besar, duduk diatasnya. Aliran air sungai yang jernih dibawah kakinya seperti berteriak meminta Padma untuk merendam telapak kakinya dan merasakan nikmatnya air yang mengalir tenang. Saat sedang asyik bermain air, tanpa sadar, sepasang kaki juga ikut berendam di sebelahnya.
Aku menoleh. Mendapati seorang gadis muda tengah menerawang menatap semak-semak dan rimbun pepohonan yang ada didepan mereka. Aku memandang heran gadis yang terduduk tenang disebelahku ini. Rambut panjangnya yang melebihi bahu ia kepang dan ia biarkan menjuntai ke depan. Dia mengenakan baju dengan bahan jatuh berwarna putih gading dan rok lipit berwarna coklat tua. Ia mengingatkanku pada foto eyang selagi muda.
Melihat penampilan gadis yang belum juga berhenti menatap menerawang, aku menyadari jarak perbedaan yang sangat mencolok. Sangat jauh berbeda dengan diriku yang mengenakan kaus oblong, celana jeans dan sneakers. Melihat perbedaan ini, aku serasa melihat sebuah film yang menampilkan perbedaan gaya antara masa kini dan tahun 80-an. Terlepas dari itu semua, aku suka gayanya yang manis dan vintage.
“Hai, Padma,” ucapnya lirih tanpa melepaskan pandangannya dari semak dan pepohonan. Sapaan lirih yang keluar dari bibir pucatnya itu membuat keningku berkerut.
“Senang akhirnya bisa bertemu langsung denganmu,” ucap gadis itu lagi. Akhirnya ia menolehkan pandangannya dan menatap kearahku. Berbeda dengan bibirnya yang seakan tidak bernyawa, mata besar yang menatapku itu terlihat bersinar. Matanya jernih dan dalam. Seakan menyimpan beragam cerita. Senyum yang ia berikan kepadaku pun terasa sangat kontras dengan bibirnya. Senyum merekah yang muncul dari sepasang bibir pucat.
“Aku sudah lama memperhatikanmu, Padma,” ujar gadis itu memecah konsentrasiku mengamatinya. “Aku juga sudah berkali-kali berusaha untuk menjangkaumu.”
“Hmmm,” gumaman tidak jelas malah keluar dari bibirku. Tidak tahu harus merespon apa.
Gadis itu pun kembali melempar senyum, seperti memaklumi ketidakpahamanku. Ia lalu kembali melemparkan pandangan pada sekitarnya.
“Kamu tidak mengenali tempat ini?” tanyanya yang otomatis membuat keningku berkerut. Aku pun mengedarkan pandanganku, berusaha mencari petunjuk dan mengenali sekitarku.
Kita tinggal di satu tempat yang sama.” Ucap gadis itu sambil menatapku. “Tentu saja di waktu yang berbeda.”
“Jadi ini adalah daerah tempat tinggalku? Desa yang aku tinggali sekarang?” Akhirnya aku mampu menyuarakan kebingunganku.
Ia menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaanku. “Tapi sudah banyak hal yang berubah.”
Hening lalu mengisi kosongnya percakapan diantara dua gadis itu. Membiarkan gemersik daun yang tersapu angin dan kicauan burung di kejauhan mengisi kekosongan.
“Hmmm,” aku berusaha untuk mengisi kealpaan percakapan. “Lalu ada hal lain yang ingin mbak ceritakan?”
“Tentu saja, itulah kenapa aku menemuimu, Padma.” Jawabnya sambil lagi-lagi tersenyum. Senyumnya adalah hal paling menawan yang aku temukan dalam diri gadis disampingku ini.
“Di tempat ini, tempat yang sama-sama kita tinggali ini. Pada saat berusia sama sepertimu, aku mengenal seorang pria. Ia adalah tetanggaku. Lama kelamaan kedekatan kami berhasil menambat hatiku.” Ucapnya memulai cerita. “Sebagai seorang gadis muda pada masa itu, tentu saja pernikahan adalah tujuan dari semua kedekatan antara pria dan wanita. Kami sudah sering membicarakan hal itu.”
“Apa Mbak bermaksud bertanya apakah aku mengenali atau mencari lelaki itu?” tanyaku yang membuat gadis disampingku ini menggeleng.
“Tidak. Bukan itu alasan aku menemuimu.”
Jawaban dari gadis yang tidak aku ketahui namanya itu membuat aku bingung sekaligus cemas. Aku belum siap jika aku harus menanyakan pertanyaan yang sejak tadi menghantui pikiranku.
“Sejauh yang mampu aku ingat. Waktu itu, di sore hari, kami bertemu di tempat ini. tempat ini adalah tempat yang sering kami kunjungi berdua. Kami bercakap-cakap sambil merendam kaki kami. Mendengar burung-burung berkicau atau sayup-sayup teriakan anak-anak bermain di tengah desa.” Senyum kecil tidak henti muncul dari bibir pucatnya. Seakan-akan kenangan ini adalah kenangan paling berarti yang berhasil ia simpan. “Untuk pertama kalinya juga, ia memelukku. Mendekapku dalam dadanya yang bidang. Sama-sama merasakan bagaimana jantung kami berdebar tidak karuan karena pelukan yang kami lakukan.”
Ia kembali melemparkan pandangan pada semak dan pepohonan yang ada dihadapan kami. Senyumnya pun perlahan menghilang. Bibirnya terkatup.
“Lalu, hanya hal itulah yang mampu aku ingat. Tidak ada lagi yang bisa aku ingat sejak sore itu. Selama apapun aku disini dan menunggunya, tidak ada kenangan baru yang bisa aku ingat.” Gadis itu menatapku sebentar lalu menundukkan kepala. Menggoyangkan kakinya hingga menimbulkan bunyi kecipak air. “Itulah kenapa aku menemuimu, Padma.”
Penjelasan panjangnya membuat aku berdeham. Berusaha menghilangkan sesuatu yang mengganjal ditenggorokanku.
“Apa Mbak ingin aku mencari.....” Aku kesulitan menjelaskan hal yang ingin aku tanyakannya kepadanya. “Mencari diri Mbak?”
“Tidak juga. Aku bahkan tidak berpikir itu sama sekali.” Mata hitamnya menatapku hangat. Membuatku merasa sangat nyaman dan seperti mengenalnya sejak lama. “Aku hanya ingin kamu membantuku mencari tahu kenapa ia melakukan hal ini padaku.
Aku terdiam. Kebingungan harus menjawab apa.
“Kamu harus tahu bahwa aku tidak menyesali apa yang terjadi padaku. Aku juga tidak berharap aku menemukan tubuhku lagi dan ditempatkan di rumah yang layak. Aku hanya ingin tahu kenapa ia melakukan ini padaku.”
Senyumnya yang sudah sendu kini semakin bertambah sendu. Ia mengangkat pandangannya dan kembali menatapku.
“Kamu tahu, bahwa rasanya sampai sekarang tidak juga hilang.” Ia menghela nafas panjang. Seakan bagian ini adalah bagian yang paling menyakitinya. “Aku masih mencintainya. Bahkan setelah apa yang ia lakukan kepadaku. Hanya saja, rasanya tidak nyaman terikat dalam ingatan yang tidak bisa kamu lengkapi.”
Aku hanya mampu terdiam. Sedikit menghindar dengan memainkan kakiku yang terendam didalam air. Sengaja memberikan jeda yang cukup panjang.
“Maaf sekali, Mbak. Aku tidak bisa membantu Mbak. Aku belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya dan aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan.  Aku hanya bisa berdoa untuk, Mbak.” Jawabku pelan. Sepelan mungkin. Berusaha menjelaskan kepadanya. Berharap ia tidak marah dan melakukan hal yang tidak mampu aku tangani.
Ia tersenyum mendengar jawabanku. “Tidak apa-apa. Aku sudah cukup senang kamu mau mendengarkan aku.”
Jawabannya membuatku menghela nafas yang tanpa sadar aku tahan sedari tadi. Dan senyumnya meyakinkanku bahwa jawabanku tidak membuatnya marah. Kami lalu berbagi senyum tulus yang sama.
“Baiklah, sudah saatnya aku pulang. Tidak baik menahan kamu terlalu lama disini,” ujarnya berpamitan. Perlahan ia mengangkat kakinya. Berdiri dari batu besar yang ia duduki dan melangkah menuju jalan setapak, berjalan perlahan menjauhiku dengan kaki telanjangnya. Hingga diujung jalan yang menikung, ia berbalik, melemparkan senyumnya dan melambaikan tangan.
Mata besarnya yang jernih dan dalam masih teringat dengan jelas dikepalaku. Dari beragam cerita yang tersimpan didalamnya. Satu kenangan yang selalu terlihat dengan jelas adalah kenangan yang selalu mengikat dan menawannya. Kenangan yang diambil oleh semesta yang menjadikannya abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar