“Pokoknya Mbak yang traktir. Kan wisuda. Kan udah
kerja juga.”
“Kalo semua fase dalam hidup hanya kita rayakan dengan
traktiran, kapan kita ada waktu menikmati semua tahapan itu?”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kosong.
Entah sudah berapa lama aku merasakan rasa
kosong ini. Entah kapan dimulainya dan entah kapan sampai pada puncaknya.
Tiba-tiba aku hanya tersentak setelah tirai mengakhiri closing sebuah teater malam itu terus membayangi. Setelahnya selama
berhari-hari aku merasa gamang. Sampai dua hari kemarin sebuah percakapan
memunculkan pertanyaan. Yang membawaku mengingat-ingat rangkaian hari yang aku
lalui sambil lalu.
Kurang lebih seminggu yang lalu aku wisuda. Apa
yang aku ingat? Hanya aku yang terbangun jam 3 pagi, memasak sebuah mie instan
lalu setelahnya semua berjalan dengan kabur. Terburu-buru. Sehari itu
kehidupanku hanya seperti sebuah rangkaian kegiatan. Jam 6 hingga 11 wisuda
universitas, setelah itu hingga pukul 1 siang wisuda fakultas lalu berburu
waktu melalui macet agar memenuhi waktu reservasi foto studio dan diakhiri
dengan makan bersama. Seharian itu yang aku pikirkan hanya bagaimana mengejar
hal-hal yang sudah tersusun tanpa terlambat sedikit pun. Sudah.
Aku tidak bisa mengulang perasaan saat
dipanggil maju ke depan dengan predikat sesuai selempang kuning yang aku pakai.
Senyum Pak Dekan yang memanggil namaku dan mengucapkan selamat pun tidak jelas
aku ingat. Hanya panggilan Nduk dari
kakak angkatan yang sudah lama tidak aku temui, sebuah frame dengan uang 10.000 dan cengiran dari Mas Girindra, Dian dan
Vincent yang menyerahkan sebuket bunga dengan Hydrangea lesu yang berhasil aku
ulang dengan jelas. Selebihnya? Tidak tahu. Entah bagaimana aku melalui hari
itu.
Tiga hari setelah itu, aku melihat Vincent
pentas, bukan peran besar namun cukup menjadi titik tolak untuk kegamangan ini.
My little brother not so little anymore.
Dari jarak belasan meter dari tempat aku duduk, aku melihat sosok paling tinggi
itu menari atau berbicara di atas panggung memainkan peran kecil. Dari jarak
belasan meter itu, berbagai adegan, dialog, selipan puisi, rekayasa cahaya dan
tata panggung, teriakan atau tepuk tangan bergema. Hari itu, sejauh yang mampu
aku ingat, adalah hari terbaik yang pernah aku alami. Aku melakukan sesuatu,
menghidupinya dan merasakan emosinya. Setelah itu? Aku kembali kebingungan
sambil memutar ulang hangatnya perasaan yang aku alami sabtu malam itu.
Percakapan candaan mengenai traktiran karena
aku sudah lulus kuliah membuka semuanya. Aku tahu kata-kata itu hanyalah
kebiasaan atau ungkapan bahagia yang tidak bisa terucapkan dengan tepat. Sama seperti
saat kamu berhasil menyatakan cinta atau ulang tahun. Tapi pertanyaan yang aku
lontarkan setelah itu adalah jawaban yang aku cari akhir-akhir ini. “Kalo semua
fase dalam hidup hanya kita rayakan dengan traktiran, kapan kita ada waktu
menikmati semua tahapan itu?”
Kapan kita ada waktu untuk menikmati?
Bagian demi bagian pun bermain dalam otakku. Terutama
salah satu kerisauanku bersama Inggrith, temanku yang kebetulan wisuda hari
itu. Bersama-sama kami masih mencari nyawa dari selebrasi kelulusan itu. Jika
tanpa foto. Jika tanpa kebaya baru untuk sekeluarga. Tanpa makan bersama di
rumah makan.
Aku senang hari itu. Aku senang segala proses
panjang yang aku lalui membuahkan hasil. Aku senang karena selesai melalui
malam-malam panjang tanpa tidur nyenyak. Aku senang bisa memberikan sebuah
penghargaan untuk kedua orang tuaku. Aku senang bisa menjadi contoh untuk kedua
adikku. Aku senang karena ada hal baru yang menantiku. Tapi bahagia? Entahlah. Aku
tidak merasakan perasaan yang cukup besar dan dalam hingga aku bisa menyebutnya
bahagia. Aku menikmati semua prosesnya tapi tidak mampu mencari konsep
merayakan dan menikmati perayaan yang sebenarnya. Aku hanya kehilangan nyawa dari tanggal 17 Mei itu.
Dan tirai
yang menutup diakhir teater itu memberi nyawa yang sedikit mengisi.
Hangat
yang mengisi dan kekosongan itu berkejaran seminggu ini….
Sampai akhirnya aku baru menyadari kenapa
teater anak SMA itu malah jauh lebih membekas daripada wisuda kelulusan
perguruan tinggi. Aku menikmati sajian yang dihadirkan didepan mataku. Dengan
sederhana. Aku menikmati emosi yang disampaikan. Aku membaca olah tubuh yang
dilakukan. Aku mendengar setiap dialog dengan seksama. Di satu tempat yang
sama, on that very moment, everyone laugh
dan clap together. On that very moment, everyone enjoy life to the fullest.
Di waktu dan tempat itu aku bahagia. Aku merasakan hangat dan cerahnya suasana
ditemaramnya ruangan bersama dengan interaksi diatas panggung atau teriakan dan
tawa disekelilingku. Karena diwaktu itu aku menikmati semua prosesnya pada
setiap momentum yang kulalui. Karena diwaktu itu tidak ada waktu yang harus
kuburu. Tidak ada reservasi foto dan makan bersama seharga ratusan ribu. Karena
di momen itu menikmati kebersamaan tanpa campur tangan kebendaan ternyata
sangat melegakan. Karena berada pada satu tempat untuk menikmati hal yang sama
dengan tulus dan atmosfer hangat yang kuat cukup menjadi selebrasi yang
melengkapi.
Lalu dari mana kosong itu datang? Karena aku
masih terus mencari definisi bahagia
itu. Saat harus ditabrakkan dengan beragam keinginan dan beragam definisi
bahagia yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar