Selasa, 03 Mei 2016

(Simulasi) Aksi, Media dan Euphoria

Percayalah teman-teman, bahwa apa yang dilakukan kemarin adalah sebuah bentuk euphoria yang menyenangkan. Aku pun ikut dalam euphoria itu, walau tidak berpolitik tapi bermain “provokasi” dengan nyinyir sana-sini. Tidak hanya teman-teman, media pun mempunyai euphoria-nya sendiri. Semua media melakukannya, baik media konvensional, media online atau media dalam kotak kecil canggih yang kalian pegang.
Kerisauan ini berangkat dari beberapa tanggapan teman-teman terhadap koverasi media dan tanggapan publik yang muncul terhadap aksi kemarin. Untuk memahami fenomena itu, mari kita berangkat dari titik besar bernama media massa dan nilai berita. Mondry menjelaskan media massa adalah media informasi yang terkait dengan masyarakat, digunakan untuk berhubungan dengan khalayak (masyarakat) secara umum, dikelola secara professional dan bertujuan mencari keuntungan. Dari penjelasan Mondry ini, dan juga fungsi media massa yang dijelaskan McQuail yang memiliki 5 fungsi sebagai informasi, korelasi, kesinambungan, hiburan dan mobilisasi, media tidak hanya berdiri sebagai institusi penyebar informasi namun juga institusi ekonomi. Sebagai institusi penyebar informasi dan institusi ekonomi, yang menjadikan media punya dua perspektif berkebalikan, ideal dan praktis. Hal ini yang secara tidak langsung menjadikan informasi sebagai barang “jualan” media massa untuk meraih keuntungan.
Informasi yang menjadi barang “jualan” media massa ini digabungkan dengan sebuah aktivitas jurnalistik yang menggabungkan informasi dengan data, reportase lapangan, wawancara atau studi pustaka terhadap sebuah fenomena yang terjadi, menjadikan hal itu berkualitas dan terpercaya. Hasil dari aktivitas jurnalistik ini, jika dalam logika media massa, akan menjadi berita yang kita akses. Saat berbicara berita tentu saja berbicara mengenai nilai sebuah berita. Nilai berita ini yang menjadi saringan utama yang menentukan fenomena atau informasi tertentu layak atau tidak untuk dipublikasikan oleh media. Nilai berita ini menjadi hal yang penting, karena media tidak hanya berbicara mengenai aku-kamu, Kampus Biru atau Jogja tapi seluruh Indonesia. Nilai berita ini juga yang secara praktis dan ekonomi menentukan nilai jual bagi media massa.

Jika boleh jujur, beberapa isu yang diangkat kemarin adalah sebuah isu internal Kampus Biru. Oke, memang ada common topic yang dirasakan beberapa universitas di Indonesia, sudah jadi isu bersama sejak lama. Lalu, ada situasi dimana pembesar kampus membuat itu menjadi sebuah isu eksternal melalui siaran langsung dan rerun stasiun radio lokal. Hal ini membawa dua efek, beruntung dan tidak. Beruntungnya, membuat banyak orang tiba-tiba aware terhadap aksi yang akan kita lakukan sekaligus mengajak semakin banyak teman kita ikut serta. Memunculkan isu ini menjadi isu bersama, isu publik. Tidak beruntungnya, isu internal yang tiba-tiba menjadi isu eksternal ini membuat publik atau masyarakat menerima informasi yang parsial, setengah-setengah dipahami. Membuat munculnya komentar-komentar tidak sedap atas aksi kita.
Saat itu menjadi sebuah isu publik, dimana ada kemungkinan banyak orang merasa dekat dengan isu itu, atau dalam nilai berita dinamakan Proximity, disinilah media massa berperan untuk menyebarkan hal ini. Supaya orang dengan kedekatan geografis dan psikologis, juga masalah yang sama tahu bahwa ia tidak sendiri. Sekaligus memberi dampak, atau dalam nilai berita disebut Impact, agar sama-sama kita selesaikan dan memberi keberanian pihak lain dengan masalah yang sama untuk menyelesaikannya. Kegiatan kemarin, dalam logika media, selain memiliki nilai berita juga akan membawa keuntungan. Ribuan mahasiswa menyuarakan aspirasinya tentu hal yang menarik dan luar biasa, bukan? Sesama mahasiswa, aktivis gerakan atau masyarakat luas penasaran dan ingin mengetahui. Menjadikan kegiatan kita bisa memberi keuntungan bagi media massa. Sayangnya, sebagai institusi ekonomi dengan perspektif mencari keuntungan membuat media massa kerap menjadi “nakal”. Memainkan sudut pandang kejadian dan pengemasan kejadian dengan sesuatu yang lebih memiliki nilai jual atau kami sering menyebutnya berita bombastis, seperti aksi yang ricuh atau mahasiswa yang mengeroyok rektornya. Lebih menarik untuk langsung membaca atau mengklik beritanya bukan?
Sulitnya lagi, situasi yang tiba-tiba menjadikan ini isu eksternal tidak memberi cukup waktu bagi kita menjelaskan informasi yang masih setengah-setengah di terima masyarakat. Sehingga, saat media massa memberikan publikasi atas kegiatan kita, ada syok bagi publik. Salah satu syok ini juga disebabkan karena tidak mampunya media memberikan koverasi yang utuh dan merangkai informasi parsial yang ada di masyarakat, memberi efek yang besar yaitu distraksi informasi. Coba lihat lagi beritanya. Hanya sekedar mencatut relokasi kantin kesayangan kita, Bonbin. Berapa banyak yang tahu soal Bonbin juga alasan dari nama itu? Dan berapa banyak yang tahu bahwa aksi kita soal Bonbin adalah upaya menyelamatkan para pedagang yang menggantungkan hidupnya dari kantin itu sekaligus mempertahankan kampus kerakyatan? Tidak banyak. Orang yang mengakses berita adalah publik dengan informasi yang setengah-setengah. Pantas jika mereka memberikan komentar yang tidak sedap dan merasa aksi kita berlebihan.

Jahat? Tidak juga. Ada dua dimensi berbeda untuk menanggapi hal ini. Pertama, soal koverasi media. Framing media yang salah adalah sebuah bentuk praktik media yang tidak benar. Semua dosen komunikasi, ahli media dan mahasiswanya sangat kecewa dengan ulah media yang seperti ini. Kami selalu membahas dan berusaha untuk memperbaiki keadaan ini. Media harus ideal, tuntutan banyak orang tapi kita tidak bisa memungkiri bahwa media memerlukan banyak biaya untuk produksi. Mau tidak mau kita harus menyadari, bukan berarti membenarkan praktik media berorientasi ekonomi, bahwa media massa juga institusi ekonomi. Memunculkan berita langsung dari Jogja itu perlu biaya. Keuntungan untuk menutup biaya produksi didapatkan dari rating, click and share atau jumlah pengaksesnya. Selama ini kita hanya mengecam soal media yang ngawur tapi tidak terbuka dengan kenyataan ini. Dalam praktiknya logika media tidak bisa seideal teori dan kenyataannya media “dipaksa” mencari keuntungan.
Kedua, mengenai tanggapan publik yang muncul. Komentar yang muncul juga tidak bisa kita salahkan begitu saja. Akan aku analogikan ini sebagai sebuah infotainment. Kalian pasti pernah mengecam bahwa kelahiran anak Anang-Ashyanti atau pernikahan Raffi-Gigi yang ditayangkan oleh media adalah hal yang bodoh dan tidak penting. Alasan kita karena itu adalah hal domestik kehidupan mereka, yang secara ideal memang benar. Tanggapan akan aksi kita mungkin juga serupa dengan tanggapan yang publik berikan terhadap infotainment itu. “Ngapain sih ngurusin kantin? Kurang kerjaan!” atau “Gak sopan banget sih ngejar-ngejar rektor”, karena mereka tidak tahu dan informasi yang diterima adalah informasi yang terpotong, dipermukaan hal ini adalah isu domestik. Sekilas yang mereka tahu adalah soal relokasi yang menjadi isu domestik kita namun dibalik isu domestik ini, alasan paling kuat adalah aspirasi mahasiswa untuk melawan ketidakadilan sistem, sebagai mahasiswa yang kritis. Ingat apa yang aku bilang soal isu internal menjadi isu eksternal? Inilah efek besarnya. Informasi tumpeng tindih, saling beropini dan berbagi, opini publik yang tidak terkendali. Menghasilkan masalah besar berupa “tidak semua orang tahu duduk permasalahan yang sebenarnya namun sudah terdistraksi banyak informasi yang kadung beredar.” Sialnya kita, kita tidak punya cukup waktu, dari beralihnya isu ini menjadi isu eksternal, untuk mengkounter informasi yang sesungguhnya agar masyarakat punya perspektif yang lebih luas atas alasan aksi kita.
Informasi dalam ruang publik adalah kuncinya dan “mempermainkan” informasi ini penting. Tapi pahami juga konsekuensinya. Salah langkah, hal kecil yang teman-teman lempar lewat media sosial bisa jadi hal yang membahayakan. Bermain dengan publik juga bisa membuat publik lebih paham atau malah memunculkan chaos yang lainnya. Itu kenapa orang dengan sebuah informasi di tangannya memiliki tanggung jawab moral yang berat. Jadi, itu kenapa dalam tanggapanku sebelumnya aku bilang kita harus lebih berhati-hati. Teman-teman bisa memperbaiki dan mengutuhkan informasi yang ada sekaligus bisa memunculkan permasalahan yang lainnya.
Masih kecewa? Sebuah tanggapan dari dosenku mungkin bisa membantu. “Jika sudah ditusuk dengan main publik, mainkan juga melalui publik.” Konteksnya, teman-teman lebih tahu apa yang terjadi, informasi kunci ada pada teman-teman, teman-teman punya data, teman-teman punya lembaga pers mahasiswa, teman-teman punya media sosial yang aktif diakses, sebarkan informasi yang utuh dan klarifikasi melalui itu. Perbaiki opini publik dengan itu. Tuntaskan kekecewaan dengan itu. Minimalisir komentar penuh emosi. Mari manfaatkan momentum dan selesaikan apa yang harus kita selesaikan. Dengan bijak. Bijak menanggapi kenapa banyak isu beredar yang tidak benar sekaligus bijak memahami bahwa ada banyak perspektif yang terjadi dari keadaan ini.

Oh iya, apakah kalian lihat tayangan salah satu stasiun televisi Jakarta hari ini? Ya, walau pun kami mempermasalahkan stasiun televisi itu terkait dengan komersialisasinya, tapi mereka melakukan langkah yang baik. Memilih narasumber yang tepat yang otomatis melakukan background checking. Teman kita yang berbicara juga sangat bijak dan tepat. Pemilihan kata, menggunakan data. Efeknya? Masyarakat bisa lebih tahu dengan baik dan kegiatan kita dipandang dengan lebih apik. Kejadian ini juga bisa menjadi salah satu perbaikan image media massa yang sempat aku “hancurkan” diatas, bahwa ditangan yang benar dan dengan aktivitas jurnalistik yang benar, media peduli dengan kita dan kualitas informasi kita kok, atau mendukung pihak mana yang benar. Ada logika media massa yang tidak benar-benar kita pahami yang menjadikan kita sering menyalahkan media, namun logika yang baik akan memperbaiki kualitas media itu. Begitupun media privat dengan suara besar yang bersinergi dengan jarimu, bisa memperbaiki kualitas informasi banyak orang.
Selamat menjadi bijak dengan media. Hidup mahasiswa Indonesia!



Referensi
Abrar, Ana Nadhya. (2005). Penulisan Berita. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
McQuail, Dennis. (2010). Mass Communication Theory 6th. London: Sage.
Mondry. (2008). Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik. Bogor: Ghalia Indonesia.

Kunczik, Michael, (1995). Concepts of Journalism North and South. Bonn: Media and Communication Department of Freidrich Ebert Foundation.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar