Percayalah teman-teman, bahwa apa yang
dilakukan kemarin adalah sebuah bentuk euphoria
yang menyenangkan. Aku pun ikut dalam euphoria
itu, walau tidak berpolitik tapi bermain “provokasi” dengan nyinyir sana-sini. Tidak hanya
teman-teman, media pun mempunyai euphoria-nya
sendiri. Semua media melakukannya, baik media konvensional, media online atau media dalam kotak kecil
canggih yang kalian pegang.
Kerisauan ini berangkat dari beberapa tanggapan
teman-teman terhadap koverasi media dan tanggapan publik yang muncul terhadap
aksi kemarin. Untuk memahami fenomena itu, mari kita berangkat dari titik besar
bernama media massa dan nilai berita. Mondry menjelaskan media massa adalah
media informasi yang terkait dengan masyarakat, digunakan untuk berhubungan
dengan khalayak (masyarakat) secara umum, dikelola secara professional dan
bertujuan mencari keuntungan. Dari penjelasan Mondry ini, dan juga fungsi media
massa yang dijelaskan McQuail yang memiliki 5 fungsi sebagai informasi,
korelasi, kesinambungan, hiburan dan mobilisasi, media tidak hanya berdiri
sebagai institusi penyebar informasi namun juga institusi ekonomi. Sebagai
institusi penyebar informasi dan institusi ekonomi, yang menjadikan media punya
dua perspektif berkebalikan, ideal dan praktis. Hal ini yang secara tidak
langsung menjadikan informasi sebagai barang “jualan” media massa untuk meraih
keuntungan.
Informasi yang menjadi barang “jualan” media
massa ini digabungkan dengan sebuah aktivitas jurnalistik yang menggabungkan
informasi dengan data, reportase lapangan, wawancara atau studi pustaka terhadap
sebuah fenomena yang terjadi, menjadikan hal itu berkualitas dan terpercaya. Hasil
dari aktivitas jurnalistik ini, jika dalam logika media massa, akan menjadi
berita yang kita akses. Saat berbicara berita tentu saja berbicara mengenai
nilai sebuah berita. Nilai berita ini yang menjadi saringan utama yang
menentukan fenomena atau informasi tertentu layak atau tidak untuk
dipublikasikan oleh media. Nilai berita ini menjadi hal yang penting, karena
media tidak hanya berbicara mengenai aku-kamu, Kampus Biru atau Jogja tapi
seluruh Indonesia. Nilai berita ini juga yang secara praktis dan ekonomi
menentukan nilai jual bagi media massa.
Jika boleh jujur, beberapa isu yang diangkat
kemarin adalah sebuah isu internal Kampus Biru. Oke, memang ada common topic yang dirasakan beberapa
universitas di Indonesia, sudah jadi isu bersama sejak lama. Lalu, ada situasi
dimana pembesar kampus membuat itu menjadi sebuah isu eksternal melalui siaran
langsung dan rerun stasiun radio
lokal. Hal ini membawa dua efek, beruntung dan tidak. Beruntungnya, membuat
banyak orang tiba-tiba aware terhadap
aksi yang akan kita lakukan sekaligus mengajak semakin banyak teman kita ikut
serta. Memunculkan isu ini menjadi isu bersama, isu publik. Tidak beruntungnya,
isu internal yang tiba-tiba menjadi isu eksternal ini membuat publik atau
masyarakat menerima informasi yang parsial, setengah-setengah dipahami. Membuat
munculnya komentar-komentar tidak sedap atas aksi kita.
Saat itu menjadi sebuah isu publik, dimana ada
kemungkinan banyak orang merasa dekat dengan isu itu, atau dalam nilai berita
dinamakan Proximity, disinilah media
massa berperan untuk menyebarkan hal ini. Supaya orang dengan kedekatan
geografis dan psikologis, juga masalah yang sama tahu bahwa ia tidak sendiri.
Sekaligus memberi dampak, atau dalam nilai berita disebut Impact, agar sama-sama kita selesaikan dan memberi keberanian pihak
lain dengan masalah yang sama untuk menyelesaikannya. Kegiatan kemarin, dalam
logika media, selain memiliki nilai berita juga akan membawa keuntungan. Ribuan
mahasiswa menyuarakan aspirasinya tentu hal yang menarik dan luar biasa, bukan?
Sesama mahasiswa, aktivis gerakan atau masyarakat luas penasaran dan ingin
mengetahui. Menjadikan kegiatan kita bisa memberi keuntungan bagi media massa.
Sayangnya, sebagai institusi ekonomi dengan perspektif mencari keuntungan
membuat media massa kerap menjadi “nakal”. Memainkan sudut pandang kejadian dan
pengemasan kejadian dengan sesuatu yang lebih memiliki nilai jual atau kami
sering menyebutnya berita bombastis, seperti aksi yang ricuh atau mahasiswa
yang mengeroyok rektornya. Lebih menarik untuk langsung membaca atau mengklik
beritanya bukan?
Sulitnya lagi, situasi yang tiba-tiba
menjadikan ini isu eksternal tidak memberi cukup waktu bagi kita menjelaskan
informasi yang masih setengah-setengah di terima masyarakat. Sehingga, saat
media massa memberikan publikasi atas kegiatan kita, ada syok bagi publik.
Salah satu syok ini juga disebabkan karena tidak mampunya media memberikan
koverasi yang utuh dan merangkai informasi parsial yang ada di masyarakat,
memberi efek yang besar yaitu distraksi informasi. Coba lihat lagi beritanya.
Hanya sekedar mencatut relokasi kantin kesayangan kita, Bonbin. Berapa banyak
yang tahu soal Bonbin juga alasan dari nama itu? Dan berapa banyak yang tahu
bahwa aksi kita soal Bonbin adalah upaya menyelamatkan para pedagang yang
menggantungkan hidupnya dari kantin itu sekaligus mempertahankan kampus
kerakyatan? Tidak banyak. Orang yang mengakses berita adalah publik dengan
informasi yang setengah-setengah. Pantas jika mereka memberikan komentar yang
tidak sedap dan merasa aksi kita berlebihan.
Jahat? Tidak juga. Ada dua dimensi berbeda
untuk menanggapi hal ini. Pertama, soal koverasi media. Framing media yang salah adalah sebuah bentuk praktik media yang
tidak benar. Semua dosen komunikasi, ahli media dan mahasiswanya sangat kecewa
dengan ulah media yang seperti ini. Kami selalu membahas dan berusaha untuk
memperbaiki keadaan ini. Media harus ideal, tuntutan banyak orang tapi kita
tidak bisa memungkiri bahwa media memerlukan banyak biaya untuk produksi. Mau
tidak mau kita harus menyadari, bukan berarti membenarkan praktik media berorientasi
ekonomi, bahwa media massa juga institusi ekonomi. Memunculkan berita langsung
dari Jogja itu perlu biaya. Keuntungan untuk menutup biaya produksi didapatkan
dari rating, click and share atau
jumlah pengaksesnya. Selama ini kita hanya mengecam soal media yang ngawur tapi tidak terbuka dengan
kenyataan ini. Dalam praktiknya logika media tidak bisa seideal teori dan
kenyataannya media “dipaksa” mencari keuntungan.
Kedua, mengenai tanggapan publik yang muncul. Komentar
yang muncul juga tidak bisa kita salahkan begitu saja. Akan aku analogikan ini
sebagai sebuah infotainment. Kalian
pasti pernah mengecam bahwa kelahiran anak Anang-Ashyanti atau pernikahan
Raffi-Gigi yang ditayangkan oleh media adalah hal yang bodoh dan tidak penting.
Alasan kita karena itu adalah hal domestik kehidupan mereka, yang secara ideal
memang benar. Tanggapan akan aksi kita mungkin juga serupa dengan tanggapan
yang publik berikan terhadap infotainment
itu. “Ngapain sih ngurusin kantin? Kurang kerjaan!” atau “Gak sopan banget sih
ngejar-ngejar rektor”, karena mereka tidak tahu dan informasi yang diterima
adalah informasi yang terpotong, dipermukaan hal ini adalah isu domestik. Sekilas
yang mereka tahu adalah soal relokasi yang menjadi isu domestik kita namun
dibalik isu domestik ini, alasan paling kuat adalah aspirasi mahasiswa untuk
melawan ketidakadilan sistem, sebagai mahasiswa yang kritis. Ingat apa yang aku
bilang soal isu internal menjadi isu eksternal? Inilah efek besarnya. Informasi
tumpeng tindih, saling beropini dan berbagi, opini publik yang tidak
terkendali. Menghasilkan masalah besar berupa “tidak semua orang tahu duduk
permasalahan yang sebenarnya namun sudah terdistraksi banyak informasi yang kadung
beredar.” Sialnya kita, kita tidak punya cukup waktu, dari beralihnya isu ini
menjadi isu eksternal, untuk mengkounter informasi yang sesungguhnya agar
masyarakat punya perspektif yang lebih luas atas alasan aksi kita.
Informasi dalam ruang publik adalah kuncinya
dan “mempermainkan” informasi ini penting. Tapi pahami juga konsekuensinya.
Salah langkah, hal kecil yang teman-teman lempar lewat media sosial bisa jadi
hal yang membahayakan. Bermain dengan publik juga bisa membuat publik lebih
paham atau malah memunculkan chaos
yang lainnya. Itu kenapa orang dengan sebuah informasi di tangannya memiliki
tanggung jawab moral yang berat. Jadi, itu kenapa dalam tanggapanku sebelumnya
aku bilang kita harus lebih berhati-hati. Teman-teman bisa memperbaiki dan
mengutuhkan informasi yang ada sekaligus bisa memunculkan permasalahan yang
lainnya.
Masih kecewa? Sebuah tanggapan dari dosenku
mungkin bisa membantu. “Jika sudah ditusuk
dengan main publik, mainkan juga
melalui publik.” Konteksnya, teman-teman lebih tahu apa yang terjadi, informasi
kunci ada pada teman-teman, teman-teman punya data, teman-teman punya lembaga
pers mahasiswa, teman-teman punya media sosial yang aktif diakses, sebarkan
informasi yang utuh dan klarifikasi melalui itu. Perbaiki opini publik dengan
itu. Tuntaskan kekecewaan dengan itu. Minimalisir komentar penuh emosi. Mari
manfaatkan momentum dan selesaikan apa yang harus kita selesaikan. Dengan
bijak. Bijak menanggapi kenapa banyak isu beredar yang tidak benar sekaligus
bijak memahami bahwa ada banyak perspektif yang terjadi dari keadaan ini.
Oh iya, apakah kalian lihat tayangan salah satu
stasiun televisi Jakarta hari ini? Ya, walau pun kami mempermasalahkan stasiun
televisi itu terkait dengan komersialisasinya, tapi mereka melakukan langkah
yang baik. Memilih narasumber yang tepat yang otomatis melakukan background checking. Teman kita yang
berbicara juga sangat bijak dan tepat. Pemilihan kata, menggunakan data.
Efeknya? Masyarakat bisa lebih tahu dengan baik dan kegiatan kita dipandang
dengan lebih apik. Kejadian ini juga bisa menjadi salah satu perbaikan image media massa yang sempat aku
“hancurkan” diatas, bahwa ditangan yang benar dan dengan aktivitas jurnalistik
yang benar, media peduli dengan kita dan kualitas informasi kita kok, atau
mendukung pihak mana yang benar. Ada logika media massa yang tidak benar-benar
kita pahami yang menjadikan kita sering menyalahkan media, namun logika yang
baik akan memperbaiki kualitas media itu. Begitupun media privat dengan suara
besar yang bersinergi dengan jarimu, bisa memperbaiki kualitas informasi banyak
orang.
Selamat menjadi bijak dengan media. Hidup
mahasiswa Indonesia!
Referensi
Abrar, Ana Nadhya.
(2005). Penulisan Berita. Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
McQuail, Dennis.
(2010). Mass Communication Theory 6th.
London: Sage.
Mondry. (2008). Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Kunczik, Michael,
(1995). Concepts of Journalism North and
South. Bonn: Media and Communication Department of Freidrich Ebert
Foundation.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar