Selasa, 22 Januari 2013

MeWah, jangan sampai jadi Mengenang saWah..


Aku inget banget..
Kehidupan sekolahku itu sangat mewah! Super mewah and all about mewah..
Mewah yang artinya kelas bling bling itu? Yang fasilitas menggunung itu?
Bukan! Dengan sangat kecewa, aku harus menjelaskan bahwa mewah disini adalah Mepet Sawah!
Dulu waktu TK-SD aku sekolah di sekolah yang sangat dekeeeeet sama rumah. Dan sekolahku itu di kelilingi sawah. Bahkan aku inget banget, zaman jadi anak SD nakal banyak temenku yang biasa loncat jendela buat ambil cemilan timun yang matang :D
Naek ke SMP, maaf yaa sedikit bangga, aku masuk sekolah yang.. Yaaa lumayan punya nama dan grade yang tinggi sih. Konon katanya, waktu itu punya fasilitas yang cukup memadai. Tapiiii, tiap olahraga atau pramuka tetep aja jalan-jalannya menyusuri sawah!
Naaahh, jadi anak SMA nih meenn akuu. Sekarang, jadi anak SMA dengan judul sekolah yaitu SMA di Kota Yogyakarta. Bangga? Iyaa sih! Cuma sayangnya, udah menyebrangi 2kabupaten-1 kota madya tetep aja sekolahnya gak jauh-jauh dari sawah.
Entah aku harus bangga atau sedih masalah ini,hahaha

Kita memang dikenal sebagai negara agraris yang kehidupan negaranya disokong dari hasil pertanian. Makanan pokok kita juga dari sawah, nasi. Dan kita pasti inget, waktu zaman SD buku Bahasa Indonesia kita gak akan jauh dari puisi tentang indahnya tanah hijau dan suburnya negara kita juga Pak Tani yang baik hati menyediakan nasi untuk kita dimeja makan.
Tapi, masih banggakah kita saat ini dengan status negara agraris? Nahh, aku sendiri juga sedang dalam posisi abu-abu dengan masalah ini.
Zaman SD sih aku merasa Pak Tani juga seorang pahlawan, tapi saat ini aku merasa bahwa Pak Tani juga manusia biasa. Seperti kita. Mereka juga butuh diselamatkan. Diselamatkan dari gempuran impor hasil pertanian. Kita pasti sudah sering mendengar, bahwa Indonesia impor beras dari mana, Indonesia impor cabe dari sini,  Indonesia impor kedelai dari situ bahkan Indonesia juga impor garam.
Lalu kalau boleh bertanya? Dibagian manakah kontribusi status negara agraris itu bagi para petani? Apa yang bisa “negara agraris” berikan untuk pahlawan yang menyelamatkan perut kita semua itu? Karena selain impor-impor itu, kita juga tau kalo petani Indonesia ada pada titik ekonomi yang rendah.

Ya ya ya, kita tidak bisa menyalahkan satu pihak.
Kita tidak bisa hanya sekedar menodong pemerintah tidak memperhatikan petani. Kita tidak bisa hanya sekedar berteriak bahwa pemerintah tidak menyelamatkan petani Indonesia. Karena nih ya, kalo setiap mulut di Indonesia pengen makan nasi jelas aja hasil gabah yang dihasilkan enggak cukup. Mungkin itu sebabnya Indonesia impor beras, untuk memenuhi kebutuhan mulut-mulut kelaparan kita. Yaa, entah lah, aku tidak begitu tau masalah apa yang sebenernya terjadi. Mungkin ada yang lebih tau?
Daaaann helloooooww? Kita juga gak bisa memungkiri. Bahwa, perut dan mulut kita udah agak keminggris atau kelondoan nih. Saat kita belanja ke supermarket, kita pasti akan lebih memilih sayur-sayur yang ada label “impor”-nya. Entah dengan alesan, kualitas yang lebih baik, hasil yang lebih sempurna, pilihan lebih variatif, atau harga yang lebih murah.
Noh, kalo gitu bukan sekedar masalah perjanjian antarnegara aja yang buat petani kita tidak selamat. Kalo mau bersemedi saat di supermarket, mungkin kita akan menemukan jawaban bahwa kita juga yang perlahan mematikan kehidupan petani kita. Iya gak?
Di satu sisi, munculnya sayuran-sayuran dan beras impor itu juga karena kebutuhan kita yang banyaaaakk banget! Jadi, perut kita juga diselamatkan oleh keputusan negara yang memilih impor. Tapi, saat kita mendengar alesan kaya gini gimana, “Impor itu untuk memenuhi kebutuhan kita yang tidak bisa terpenuhi oleh petani lokal. Karena sawah-sawah kita tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kita”? Ehmm, itu artinya sawah kita kurang banyak yaa?
Iya bukan sih? Kalo gitu, harusnya kita lebih memaksimalkan sawah yang ada, mengefektifkan hasil sawah kita, pake bibit yang unggul, variasi bibit, memberantas hama, dan hal-hal lain yang sebangsa itu. Cuma nih yaa Cuma, merhatiin gak sih kita selama ini? Ditengah gembar-gembor variasi bibit unggul, pupuk yang baik, irigasi yang diperbaiki kita enggak sadar kalo sawah-sawah itu sudah berubah.
Kaya deket rumahku nih yaa. Ada banyak sawah atau lahan produktif mulai beralih fungsi.
Sawah yang dulu berbuah tomat itu, kini berbuah bunga bank. Gak percaya? Sumpah deh! Sekarang sawah itu jadi BPR. BPR dengan gedung mewah dan bagus yang waktu peresmiannya didatangi oleh bupati.
Sawah yang dulu rimbun dengan pohon-pohon tebu yang sekilas berasa bisa dipake buat bikin video klip itu kini juga ikut berubah. Berubah menjadi ruko. Rimbun pohon tebu yang akan bernyanyi saat disentuh angin itu, berubah menjadi bangunan kokoh dengan kesibukan jual-belinya.

Ini menjadi keironisan tersendiri gaes.
Ditengah berbagai inovasi dan penemuan dalam bidang pertanian kita, kita gak sadar bahwa lahan produktif kita sudah berubah.
Mungkin salah kalo ada yang bilang hama tumbuh subur, untuk saat ini mungkin bangunan kokoh yang berdiri diatas sawah lebih tumbuh subur. Mengalahkan kemampuan hama untuk berkembang biak. Atau nih yaa, mungkin ini lebih tepat. Hama tidak bisa tumbuh subur karena lahan mereka sudah dicaplok sama semen dan batako.
Ironis, karena kita merasa petani kita tidak diselamatkan karena impor, tapi kita malah memilih sayuran impor saat belanja.
Ironis, karena kita merasa Indonesia butuh lebih banyak lahan produktif, tapi kita juga melihat ada banyak bangunan kokoh mulai menggantikan posisi padi dan teman-temannya.

Yaahh, saat ini aku bersyukur karena aku sempat punya banyak memori dengan sawah-sawah. Tapi, sedih juga kalo besok anakku gak bisa dapet memori dengan sawah. Sedih kalo mereka tidak punya memori heroik tentang petani tetapi hanya memori keprihatinan kehidupan petani.
Dan aku suka banget pemandangan ini. Pemandangan matahari terbenam yang bersinergi dengan tanaman dari sawah-sawah dibelakang rumah.
Ini indah dan aku harap masih ada banyak orang yang bisa melihatnya J
Taken by my lil bro J
uv


Tidak ada komentar:

Posting Komentar