“Nay, memang benar yaa bahwa cinta itu bisa
berhenti suatu saat nanti?”
Aku memandang temanku, Kia, dengan kening berkerut sebelum
tertawa terbahak-bahak. Melihatku yang tertawa, Kia langsung memasang aksi
ngambeknya.
“Dari semua ekspresi yang ada didunia ini,
kenapa kamu memilih tertawa?” tanyanya sebal sambil melemparku dengan boneka
minions yang ada didekatnya.
“Bukan,” aku berusaha menghentikan tawaku untuk
menjawab pertanyaan Kia. “Aku bukan menertawakan kamu. Tapi menertawakan
kebetulan yang terjadi.”
Mendengar jawabanku Kia berbalik mengerutkan keningnya.
“Aku sedang membaca sebuah cerita.” Ujarku
sambil menunjukkan HP yang aku pegang. “Dalam cerita itu, kedua tokoh utama
adalah orang yang berusaha merasionalkan cinta. Lalu berhenti pada sebuah
kesepakatan bahwa pernikahan tidak butuh cinta. Karena setelah beberapa lama
cinta sudah tidak perlu lagi.”
Kia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Itu kenapa aku tertawa waktu kamu bertanya
seperti itu. Kamu sendiri kenapa bertanya begitu?”
Kia terdiam sejenak. Memandangku dengan mata
menyipit. Hal yang dia lakukan saat mempertimbangkan sesuatu.
“Enggak tiba-tiba saja aku ingin bertanya
seperti itu. Ragu gak sih kamu saat kamu memilih untuk menikah padahal kamu
tahu bahwa cinta mungkin saja berhenti.” Jawab Kia yang aku jawab dengan
anggukan.
Aku terdiam. Memikirkan kemungkinan yang
terjadi dari hal itu.
“Entahlah. Bagaimana bisa kita membicarakan
sesuatu yang tidak pernah kita jalani atau pahami sih, Ki?” jawabku dengan
memberikan sebuah pertanyaan balik pada Kia.
“Apakah itu karena mereka sebenarnya bukan
jodoh? Banyak orang bilang bahwa kadang kita menikah dengan orang yang bukan
jodoh kita.”
Pernyataan Kia barusan semakin membuatku
terdiam dan berpikir.
“Mari kita diskusikan cinta itu, Ki. Jika yang
kamu harapkan adalah jawaban yang bisa memuaskan keresahanmu.” Jawabku sambil
tersenyum. “Tapi mari kita pahami cinta jika yang kamu butuhkan adalah
kepenuhan hatimu.”
Kia terlihat tertarik dengan jawabanku barusan.
Ia memposisikan dirinya dengan lebih nyaman dihadapanku. Sepertinya ini akan
menjadi pembicaraan yang panjang.
“Kata orang, jodoh itu adalah konsepsi yang
dibuat manusia, bukan? Kamu sendiri yang bilang saat kamu putus cinta dari
Adma. Walau Tuhan sudah menyiapkan seseorang menjadi jodohmu, tapi ada sebuah
kisah yang harus kalian usahakan berdua. Dan menurutmu itulah jodoh. Saat
kalian sama-sama saling mengusahakan agar saling menemukan, bertemu dan
merangkai kisah yang sama.”
“Yap itu benar! Dan aku masih merasa itu hal
yang benar sampai sekarang.”
“Ya itu dia, Ki. Bahkan saat kamu sedang berada
dalam kisah yang sama dan mengusahakan kisah itu untuk terus ada, apa tiba-tiba
kamu ingin berhenti? Kecuali ternyata kedua orang itu tidak merangkai kisah
yang sama, hanya sekedar jadi cameo.”
“Bener sih Nay.” Ucap Kia lirih. Setengah tidak
yakin. “Itulah kenapa aku percaya bahwa ada kisah yang pasti diusahakan. Tapi
misalnya saat dalam masalah besar. Aku jadi takut bahwa cinta bisa benar-benar
habis dan berhenti.”
“Jadi menurutmu cinta bisa berhenti?”
“Mungkin saja, Nayaaaaa!”
Aku mengangguk-anggukan kepalaku. “Kalo kita
berbicara dalam term, sudah saling
menemukan dan merangkai kisah yang sama ya, Ki. Aku rasa cinta tak bisa
berhenti. Teman aku pernah cerita, kerap kali kita menyalahartikan rasa yang
berbeda setelah kita menikah. Pada stage
tertentu cinta kita pada seseorang akan sampai pada titik paling maksimal yang
bisa dibuat berdua. Kadang juga titik maksimal itu membuat kebiasaan sedikit
berubah, membuat rasa menjadi seakan hambar atau hilang. Disitulah kadang kita
mengartikan bahwa cinta itu berhenti. Padahal, rasa cintanya gak berubah, Ki.
Cuma bermetamorfosa agar lebih sesuai dan bisa bertahan. Ada lima Bahasa dalam
cinta menurut Gary Chapman. Mungkin aja supaya lebih sesuai dengan kehidupan
berdua, dari berbahasa cinta melalui kata-kata berubah jadi perbuatan atau
hadiah kan?”
“Kamu tau gak gaya pacaran Mama-Papa kamu dulu?
Dan mereka pasti pernah berantem atau melalui masalah besar bersama kan?”
Tanyaku lagi.
“Tau banget! Kamu kan ngerti sendiri betapa
mesranya Mama-Papa aku. Sampe semua anaknya tau semua kisah cinta mereka. Dan
sampai sekarang, Papa aku masih memperlakukan Mama aku kaya pacarnya. Nama
panggilan jaman pacaran aja masih suka dipake. Ya mana ada rumah tangga, hidup
dengan dua kepala atau lebih tidak pernah menghadapi masalah sih, Nay.”
“Ayah dan Bunda aku tidak begitu, Ki. Bunda
berasal dari keluarga Jawa yang sangat saklek.
Memperlihatkan afeksi secara verbal ataupun tindakan didepan banyak orang
adalah hal tabu. Tapi aku masih melihat pancaran rasa hormat dan sayang yang
besar saat Bunda melihat Ayah. Begitu pun dengan cara Ayah memperlakukan Bunda
dengan sangat halus dan lembut. Keluarga Bunda pun sering berusaha
mengintervensi keputusan mereka berdua yang akhirnya jadi konflik diantara
mereka.
“Lalu, apa kamu rasa cinta kedua orang tua kita
berhenti? Karena Mama-Papamu tetap pada kebiasaannya dan Bunda aku menjadi
lebih berani memberitahu perasaannya pada Ayah?” Kia langung menggelengkan
kepalanya. “I think we are in the same
page here. Kedua orang tua kita dengan gaya yang berbeda, meletup-letup
atau pun dalam diam sama-sama tidak kehilangan cintanya. Benar kan? Jadi, tidak
semua orang merasa cintanya itu berhenti.”
“Kalau cinta memang tidak bisa berhenti, kenapa
kedua tokoh cerita yang kamu baca itu memilih menikah tanpa cinta, yang secara
tidak langsung tidak percaya jodoh?”
“Ki, seriuskah kita akan melanjutkan
pembicaraan ini? Kamu sudah menikmati sensasinya memfilsafatkan sesuatu?”
tanyaku dengan setengah gemas.
“Oh, Naya. Ayolah, aku belajar memahami cinta
sama seperti katamu agar aku merasakan rasa penuh itu. Kamu tahu kan? Cinta itu
subjek yang surreal. Sedang kita
selalu dituntut untuk hidup dengan sesuatu yang real. Lalu bagaimana aku bisa yakin bahwa aku dan seseorang diluar
sana sedang saling berusaha dan mampu hidup berdua selamanya?”
“Cinta bukan koperasi dengan asas sukarela, Ki.
Tapi badan usaha, dimana semua orang didalamnya harus saling bekerjasama.”
Jawabku mencoba berseloroh. “Kalo memang cinta gak bisa jadi sesuatu yang real, buatlah aspek didalamnya menjadi
sesuatu yang real. Mungkin dengan
kasih bunga, ngajak nonton, ngurusin waktu sakit.”
Aku berhenti sejenak. Memberi jeda waktu sekaligus
menarik nafas panjang.
“Kalo soal kedua tokoh itu, masih banyak bagian
dari cerita mereka yang belum selesai aku baca.” Aku buru-buru melanjutkan
penjelasanku. “Mungkin karena mereka belum menemukan the one, pernah tersakiti seseorang yang kita anggap the one atau bisa jadi ternyata mereka
hanya cameo di hidup masing-masing.
Kita gak pernah tau akhir cerita yang tidak kita jalani, kan?”
“Bisa jadi, kedua tokoh cerita itu bilang gitu karena
mereka menutup hati dan tidak saling mengusahakan. Jangan-jangan kesepakatan
mereka itu manifestasi dari rasa takut. Karena mereka belum yakin dan masih
terlalu resah. Juga karena mereka tidak mengerti bahwa cinta bisa berubah
bentuk dengan rasa yang sama.” tandas Kia dengan nada setengah menggumam.
“Mungkin pada satu titik kita harus siap bahwa
cinta kita berubah rupa, Ki. Berubah menjadi kepekaan, kepedulian, keberanian,
tanggung jawab atau saling mengusahakan. Tidak lagi dengan bunga, kado atau
panggilan sayang.”
“Kedua tokoh itu sama seperti banyak orang
disekitar kita yaa? Takut bahwa cinta mereka berupa bunga, kado atau panggilan
sayang akan berhenti suatu saat nanti. Padahal itu hanya sebuah fase untuk
menyesuaikan kisah mereka.”
“Mungkin saja. Tapi siapa yang siap bukan, jika
orang yang kita sayang membuat kebiasaan baru? Bisa jadi kita terlalu ketakutan
sampai merasa bahwa pasangan kita ingin menghentikan kisahnya. Bisa saja, apa
yang kita bicarakan sejauh ini hanya soal sebuah ketakutan dan rasa tidak aman,
padahal subjek surreal yang kita bicarakan
ternyata sebuah kepastian namun tidak bisa kita lihat wujudnya.”
Seru sekaliii obrolan Naya dan Kia ini yaaaa.. rasanya ingin ikut nimbrung obrolan mereka berdua hihihihi
BalasHapusAku pun rasanya ingin ikutan ngobrol. Mungkin obrolan Naya dan Kia harus dibuat part selanjutnyaaa hihi
HapusIyaa dan cerita yang dibaca Naya itu aku juga jadi penasaran btw~ hahahaha
Hapus