Dari 24 jam waktu yang berputar di dunia ini,
waktu manakah yang paling kamu suka? Ada banyak orang di muka bumi ini yang secara tidak langsung membentuk kesepakatan tentang waktu yang paling disuka.
Pendaki gunung mungkin akan menyatakan saat
matahari terbit adalah waktu yang paling indah. Melihat kemegahan matahari yang
terbangun dan memunculkan keindahan luas tanpa batas bersamaan dengan awan yang
berarak. Pedagang pasar memulai harinya pada pukul 3 pagi, waktu dimana
kehidupan dimulai. Mencari nafkah, keluar dari gelungan selimut dan berbaur
dengan hangatnya suara tawar menawar. Pecinta pantai akan berlari, berlomba
mengejar momentum matahari terbenam di dasar samudra. Membawa bias warna laut
dan deburan ombak melebur menjadi warna gelap yang pekat. Tidak ada waktu yang
paling tepat dan romantis selain malam hari bagi para pecinta kembang api. Membiarkan
letupan kembang api membuat jejak lukisan cahaya di langit. Penggiat konser
akan merasa pukul 8 adalah waktu yang paling pas untuk mengeluarkan bintang
utama. Waktu yang cukup malam namun masih panjang untuk bernyanyi dan berteriak
bersama.
Tapi, seorang Kanaya Nareswari, merasa pukul
lima sore adalah waktu yang paling romantis. Tidak gelap namun juga tidak
terang. Matahari pada pukul lima menatapnya teduh. Pukul lima mengingatkan ia
untuk 'pulang'. Waktu itu seakan membuatnya berhenti di tempat persinggahannya.
Memikirkan sebuah tempat yang ia sebut rumah.
Sama seperti hari ini. Walau kini ia tidak
berada di titik paling jauh dari hiruk pikuk kota, pukul lima selalu membuatnya
rindu. Untuk itulah ia duduk disini. Di sebuah beranda café kesukaannya. Naya
akan datang pukul setengah lima dan beranjak saat jam tangannya sudah
menunjukkan pukul setengah enam. Ia akan selalu duduk di kursi untuk dua orang,
disudut paling jauh di lantai dua café ini. Ditemani secangkir coklat hangat
yang akan ia isi lagi saat habis. Ia hanya akan diam, menikmati setiap detik
yang ia lalui bersama pukul limanya.
Entah sejak kapan, Gana memperhatikan pelanggan
café-nya itu. Menginjak pukul lima, Café akan sepi pengunjung. Membuatnya bisa
rehat sejenak dari balik coffee maker-nya
dan memperhatikan satu persatu pelanggan yang datang. Saat itulah ia melihat
seorang perempuan yang datang ke café, langsung memilih ke lantai dua dan
memesan secangkir coklat hangat. Lalu ia akan beranjak pergi pada pukul
setengah enam. Setelah memesan dua sampai tiga cangkir coklat panas. Pelanggan
yang tanpa sadar selalu ia perhatikan selama dua bulan ini, di saat ia tidak
lagi bersembunyi dibalik coffee maker.
Pukul setengah lima. Gana melepaskan apron
hitam yang ia gunakan dengan sebuah ornament kecil di saku depan yang
memperlihatkan logo café-nya. Ia menunggu perempuan itu. Setiap terdengar bunyi
lonceng, Gana selalu awas. Memperhatikan siapa pun pelanggan yang mendorong
pintu masuk café, menciptakan denting kecil dari sebuah lonceng yang ia pasang
diatas pintu. Sudah lima hari perempuan itu tidak datang. Sudah lima hari tanpa
sadar ia mendesah kecewa saat pukul setengah enam berjalan tanpa membawa
perempuan itu datang untuk singgah dan meminum coklat hangat.
Setelah enam kali pada hari itu, ia mengangkat
wajahnya saat mendengar denting lonceng yang tidak kunjung berhasil membawa
perempuan itu kepadanya, akhirnya pada bunyi ketujuh lonceng itu berbunyi
bersama dengan sosok yang sudah lima hari tidak ia lihat. Dari jam yang
melingkar di tangannya, perempuan itu datang terlambat. Gana membiarkan seorang
waiter, Anya, berjalan menghampiri
perempuan itu untuk menuliskan pesanannya. Saat Anya kembali dengan catatan
pesanan ditangannya, Gana mengambilnya.
“Biar saya saja yang buatkan pesanan Mbak itu,”
ujar Gana sambil menarik kertas kecil yang ada di tangan Anya.
Tanpa memperhatikan reaksi Anya, Gana segera
membuatkan secangkir coklat hangat untuk perempuan misterius itu, membuatkan
pesanan minuman yang tidak biasanya ia buatkan. Ia juga memilih untuk membawa
pesanan itu dengan tangannya sendiri. Dengan tenang, Gana berjalan menuju
lantai dua, menemukan perempuan itu duduk di pinggir beranda, di posisi yang
paling pojok. Perempuan itu terlihat sedang memperhatikan jalan yang mulai
ramai karena jam pulang kerja. Perlahan Gana menaruh cangkir coklat hangat
didepan perempuan itu. Suara tatakan cangkir dan meja kayu beradu menciptakan
suara yang membuyarkan lamunan perempuan itu. Dan saat itulah, untuk pertama
kalinya, Gana melihat wajah perempuan misterius yang selalu datang pada pukul
setengah lima ke café-nya dan memesan secangkir coklat hangat.
Suara tatakan cangkir yang beradu dengan meja
kayu membuyarkan lamunan Naya. Ia mengalihkan pandangannya dan hendak
mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantarkan pesanannya. Alih-alih
seorang pelayan dengan pakaian berwarna coklat, Naya malah menemukan seorang
pria gagah dengan kemeja putih berdiri di sebelahnya.
“Silahkan, ini pesanan Mbak,” ucap pria itu
mengambil alih ucapan terima kasih Naya. “Coklat hangat seperti biasa.”
Naya tersenyum mendengar ucapan pria didepannya
itu dan segera mengucapkan terima kasih.
“Boleh saya duduk disini?” tanya pria itu yang
dijawab anggukan oleh Naya. Ia memperhatikan pria yang duduk didepannya sambil
meminum coklat hangatnya.
“Nama saya Gana,” ucap pria itu lagi sambil
mengulurkan tangan yang membuat Naya buru-buru menaruh cangkir ditangannya ke
tatakan.
“Saya Naya,” jawab Naya sambil melempar senyum
kepada si pemilik tangan.
Setelah berkenalan baik Gana dan Naya sama-sama
terdiam. Bingung harus memulai percakapan dari mana. Hal ini memberi kesempatan
Naya untuk kembali memperhatikan lalu lintas di bawahnya yang memadat.
“Kamu terlambat hari ini,” ujar Gana tiba-tiba.
Membuat Naya mengerutkan keningnya bingung. “Hari ini kamu terlambat. Kamu datang
pukul 4.40. Biasanya kamu akan datang pukul 4.30.”
Naya tertawa kecil mendengar penuturan pria
didepannya ini. “Iya, pesawat yang saya tumpangi sempat delay. Jadi saya terlambat datang ke tempat ini.”
“Hal itukah yang membuatmu tidak datang ke
tempat ini selama beberapa hari?”
Pertanyaan baru Gana membawa Naya menganggukan
kepala sebagai jawabannya. “Iya. Karena itu selama beberapa hari saya tidak
bisa datang kesini.”
Selama ini Naya selalu tidak suka dengan orang
yang tiba-tiba datang dan sok kenal. Namun, Gana membawa suasana lain yang
membuat Naya tidak keberatan menjawab semua pertanyaannya.
“Jadi, kemana kamu pergi selama lima hari ini?”
tanya Gana lagi.
“Pergi ke tempat….” Jawab Naya tersenyum. Ia menyesap
coklat hangatnya setelah itu ia menggegam cangkir ditangannya, merasakan
kehangat dari cangkir yang menyelimuti kedua telapak tangannya. Naya lalu
menatap dalam mata hitam Gana. “Dimana saya akan rindu untuk pulang.”
Bersambung…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar