Rabu, 20 April 2016

Pukul Lima

Dari 24 jam waktu yang berputar di dunia ini, waktu manakah yang paling kamu suka? Ada banyak orang di muka bumi ini yang secara tidak langsung membentuk kesepakatan tentang waktu yang paling disuka.
Pendaki gunung mungkin akan menyatakan saat matahari terbit adalah waktu yang paling indah. Melihat kemegahan matahari yang terbangun dan memunculkan keindahan luas tanpa batas bersamaan dengan awan yang berarak. Pedagang pasar memulai harinya pada pukul 3 pagi, waktu dimana kehidupan dimulai. Mencari nafkah, keluar dari gelungan selimut dan berbaur dengan hangatnya suara tawar menawar. Pecinta pantai akan berlari, berlomba mengejar momentum matahari terbenam di dasar samudra. Membawa bias warna laut dan deburan ombak melebur menjadi warna gelap yang pekat. Tidak ada waktu yang paling tepat dan romantis selain malam hari bagi para pecinta kembang api. Membiarkan letupan kembang api membuat jejak lukisan cahaya di langit. Penggiat konser akan merasa pukul 8 adalah waktu yang paling pas untuk mengeluarkan bintang utama. Waktu yang cukup malam namun masih panjang untuk bernyanyi dan berteriak bersama.
Tapi, seorang Kanaya Nareswari, merasa pukul lima sore adalah waktu yang paling romantis. Tidak gelap namun juga tidak terang. Matahari pada pukul lima menatapnya teduh. Pukul lima mengingatkan ia untuk 'pulang'. Waktu itu seakan membuatnya berhenti di tempat persinggahannya. Memikirkan sebuah tempat yang ia sebut rumah.
Sama seperti hari ini. Walau kini ia tidak berada di titik paling jauh dari hiruk pikuk kota, pukul lima selalu membuatnya rindu. Untuk itulah ia duduk disini. Di sebuah beranda café kesukaannya. Naya akan datang pukul setengah lima dan beranjak saat jam tangannya sudah menunjukkan pukul setengah enam. Ia akan selalu duduk di kursi untuk dua orang, disudut paling jauh di lantai dua café ini. Ditemani secangkir coklat hangat yang akan ia isi lagi saat habis. Ia hanya akan diam, menikmati setiap detik yang ia lalui bersama pukul limanya.

Entah sejak kapan, Gana memperhatikan pelanggan café-nya itu. Menginjak pukul lima, Café akan sepi pengunjung. Membuatnya bisa rehat sejenak dari balik coffee maker-nya dan memperhatikan satu persatu pelanggan yang datang. Saat itulah ia melihat seorang perempuan yang datang ke café, langsung memilih ke lantai dua dan memesan secangkir coklat hangat. Lalu ia akan beranjak pergi pada pukul setengah enam. Setelah memesan dua sampai tiga cangkir coklat panas. Pelanggan yang tanpa sadar selalu ia perhatikan selama dua bulan ini, di saat ia tidak lagi bersembunyi dibalik coffee maker.
Pukul setengah lima. Gana melepaskan apron hitam yang ia gunakan dengan sebuah ornament kecil di saku depan yang memperlihatkan logo café-nya. Ia menunggu perempuan itu. Setiap terdengar bunyi lonceng, Gana selalu awas. Memperhatikan siapa pun pelanggan yang mendorong pintu masuk café, menciptakan denting kecil dari sebuah lonceng yang ia pasang diatas pintu. Sudah lima hari perempuan itu tidak datang. Sudah lima hari tanpa sadar ia mendesah kecewa saat pukul setengah enam berjalan tanpa membawa perempuan itu datang untuk singgah dan meminum coklat hangat.
Setelah enam kali pada hari itu, ia mengangkat wajahnya saat mendengar denting lonceng yang tidak kunjung berhasil membawa perempuan itu kepadanya, akhirnya pada bunyi ketujuh lonceng itu berbunyi bersama dengan sosok yang sudah lima hari tidak ia lihat. Dari jam yang melingkar di tangannya, perempuan itu datang terlambat. Gana membiarkan seorang waiter, Anya, berjalan menghampiri perempuan itu untuk menuliskan pesanannya. Saat Anya kembali dengan catatan pesanan ditangannya, Gana mengambilnya.
“Biar saya saja yang buatkan pesanan Mbak itu,” ujar Gana sambil menarik kertas kecil yang ada di tangan Anya.
Tanpa memperhatikan reaksi Anya, Gana segera membuatkan secangkir coklat hangat untuk perempuan misterius itu, membuatkan pesanan minuman yang tidak biasanya ia buatkan. Ia juga memilih untuk membawa pesanan itu dengan tangannya sendiri. Dengan tenang, Gana berjalan menuju lantai dua, menemukan perempuan itu duduk di pinggir beranda, di posisi yang paling pojok. Perempuan itu terlihat sedang memperhatikan jalan yang mulai ramai karena jam pulang kerja. Perlahan Gana menaruh cangkir coklat hangat didepan perempuan itu. Suara tatakan cangkir dan meja kayu beradu menciptakan suara yang membuyarkan lamunan perempuan itu. Dan saat itulah, untuk pertama kalinya, Gana melihat wajah perempuan misterius yang selalu datang pada pukul setengah lima ke café-nya dan memesan secangkir coklat hangat.

Suara tatakan cangkir yang beradu dengan meja kayu membuyarkan lamunan Naya. Ia mengalihkan pandangannya dan hendak mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantarkan pesanannya. Alih-alih seorang pelayan dengan pakaian berwarna coklat, Naya malah menemukan seorang pria gagah dengan kemeja putih berdiri di sebelahnya.
“Silahkan, ini pesanan Mbak,” ucap pria itu mengambil alih ucapan terima kasih Naya. “Coklat hangat seperti biasa.”
Naya tersenyum mendengar ucapan pria didepannya itu dan segera mengucapkan terima kasih.
“Boleh saya duduk disini?” tanya pria itu yang dijawab anggukan oleh Naya. Ia memperhatikan pria yang duduk didepannya sambil meminum coklat hangatnya.
“Nama saya Gana,” ucap pria itu lagi sambil mengulurkan tangan yang membuat Naya buru-buru menaruh cangkir ditangannya ke tatakan.
“Saya Naya,” jawab Naya sambil melempar senyum kepada si pemilik tangan.
Setelah berkenalan baik Gana dan Naya sama-sama terdiam. Bingung harus memulai percakapan dari mana. Hal ini memberi kesempatan Naya untuk kembali memperhatikan lalu lintas di bawahnya yang memadat.
“Kamu terlambat hari ini,” ujar Gana tiba-tiba. Membuat Naya mengerutkan keningnya bingung. “Hari ini kamu terlambat. Kamu datang pukul 4.40. Biasanya kamu akan datang pukul 4.30.”
Naya tertawa kecil mendengar penuturan pria didepannya ini. “Iya, pesawat yang saya tumpangi sempat delay. Jadi saya terlambat datang ke tempat ini.”
“Hal itukah yang membuatmu tidak datang ke tempat ini selama beberapa hari?”
Pertanyaan baru Gana membawa Naya menganggukan kepala sebagai jawabannya. “Iya. Karena itu selama beberapa hari saya tidak bisa datang kesini.”
Selama ini Naya selalu tidak suka dengan orang yang tiba-tiba datang dan sok kenal. Namun, Gana membawa suasana lain yang membuat Naya tidak keberatan menjawab semua pertanyaannya.
“Jadi, kemana kamu pergi selama lima hari ini?” tanya Gana lagi.
“Pergi ke tempat….” Jawab Naya tersenyum. Ia menyesap coklat hangatnya setelah itu ia menggegam cangkir ditangannya, merasakan kehangat dari cangkir yang menyelimuti kedua telapak tangannya. Naya lalu menatap dalam mata hitam Gana. “Dimana saya akan rindu untuk pulang.”


Bersambung…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar